Sumber Gambar: Pexels
Advokasi, sebuah konsep yang berakar dari keinginan untuk membela dan memperjuangkan suatu kepentingan yang telah menjadi elemen penting di berbagai aspek kehidupan. Dalam berbagai konteks, advokasi telah menjadi penggerak perubahan yang kuat, memungkinkan individu, kelompok, atau organisasi untuk menyelesaikan masalah, mengubah arah kebijakan, hingga menciptakan dampak positif dalam masyarakat.
PKKMB di tingkat FT UNY menginisiasi Tim Advokasi sebagai salah satu komponen bukan tanpa alasan melainkan menjadi pembela kebenaran di garda terdepan. Anggota Advokasi sendiri diambil dari delegasi tiap ormawa di lingkup FT hingga terkumpul sejumlah 34 mahasiswa yang tergabung. Terdiri dari tiga bagian yaitu Aspirasi, Kajian Riset, dan Media, seluruh anggota tim mengemban tugas masing-masing yang saling melengkapi satu sama lain.
Sibuk Membela Kebenaran di Tengah Ketidakadilan
Dalam menjalankan tugasnya, salah satu narasumber dari Tim Advokasi yang kami wawancara (17/8) mengaku bahwa terdapat dua permasalahan yang paling banyak dialami maba.
“Yaitu maba yang kedapatan membawa gunting, dan maba yang dianggap telat datang padahal datang tepat waktu,” jelas salah satu narasumber, sebut saja Rizki (bukan nama asli).
Ketika kasus-kasus semacam itu terjadi, maba tidak serta merta disidang oleh Mahkamah. Namun, melalui Tim Advokasi terlebih dahulu di mana penggugat dan yang tergugat akan melewati sesi mediasi untuk mencari jalan tengah. Di situlah tugas Tim Advokasi untuk mengusahakan sebaik mungkin membela hak dari penggugat.
Narasumber lain, sebut saja Satria (bukan nama asli) yang kami wawancara menegaskan, “Kan advokasi terdiri dari 3 bagian, dan setiap bagian juga memiliki tugasnya masing-masing. Tim Advokasi ditugaskan untuk membela sebuah kasus yang dialami oleh mahasiswa baru. Ketika ada penindakan atau mungkin ada hal-hal yang terkait kegiatan PKKMB, kita melakukan pengawasan, bagaimana setiap komponen, seperti OC (Organizing Committee), dari PK (Penindak Kedisiplinan), atau komponen-komponen lain. Tindakan yang kurang berkenan itu bisa jadi bahan kami untuk melakukan pembelaan dan pengawasan.”
Kala Hari-H PKKMB FT telah di depan mata, di sanalah cerita bermula. Rizki mengutarakan keresahannya seputar tata tertib yang dirasa berlebihan.
“Mereka (maba) disambut dengan cara yang kurang baik menurut saya, dengan adanya tata tertib yang menurut saya terlalu memberatkan,” tutur Rizki.
Dari Dosa Membawa Gunting Sampai Saturasi Warna Kerudung
Rizki juga mengaku bahwa ia mengalami kisah menarik ketika mengawal salah satu kasus maba yang dipermasalahkan lantaran membawa gunting.
“Buat maba yang membawa gunting, kita kaji dan kita riset, sebenarnya tidak hanya satu dua aduan, bahkan ada lima belas lebih aduan dengan gugatan serupa. Terus waktu masuk ke Mahkamah, yang mendampingi maba hanya boleh satu (orang) Advokasi. Ternyata kesalahan ada dari panitia, karena alasan mereka (maba) membawa gunting sudah jelas karena mereka perlu alat pemotong untuk membuat co-card. Bahan kertas yang digunakan bukan bahan kertas biasa, tapi kertas yang ada bulunya dan kalau cuma pakai selotip hitam, susah nempel,” jelas Rizki.
Rizki, sebagai awak Advokasi, juga menyayangkan sikap perangkat Penindak Kedisiplinan (PK) yang kurang demokratis karena seakan menutup telinga ketika maba mengutarakan urgensi mereka membawa peralatan yang dinilai melanggar, seperti gunting tadi.
“Maba sendiri juga nggak mau kalau co-card-nya sampai rusak karena itu bisa berpotensi menimbulkan masalah baru lagi nantinya. Namun, PK tidak mau mendengarkan alasan maba, artinya PK menelan mentah-mentah tata tertib yang ada. Dan bahkan, melihat tata tertib dijelaskan bahwa tidak boleh membawa senjata tajam, sedangkan gunting bukan termasuk senjata tajam, tapi itu dipermasalahkan oleh PK,” lanjut Rizki.
Tak berhenti di situ, Rizki meneruskan ceritanya tentang kasus lain yang rentan multitafsir dan memicu polemik.
Rizki melanjutkan, “Yang kedua, saya merasa gagal untuk membela maba (soal kasus warna kerudung). Setiap kerudung itu memiliki bahan yang berbeda-beda; artinya dengan bahan yang berbeda, warna yang dihasilkan pun juga bisa berbeda. Walaupun warna kerudung hitam, tapi kalau misal kena pencahayaan yang berbeda bisa jadi warnanya juga berubah (saturasi warna). Ini yang masih menjadi pertanyaan saya, ‘PK itu menindak sesuai keadilan atau kesetaraan? Tidak semua yang adil itu setara,’ pikir saya.”
“Kan sudah jelas di peraturannya: warna kerudung harus hitam, dan tidak dijelaskan spesifik warna bahannya. Maba yang kita bela juga sudah berusaha menggunakan kerudung warna hitam, namun karena bahannya saja yang berbeda, atau karena memang sudah lama dipakai (jadi warnanya pudar),” sambung Rizki.
Berpikir adalah pekerjaan yang paling sulit; itulah sebabnya begitu sedikit orang yang melakukannya, begitu kata Henry Ford. Melihat masalah dari berbagai sudut pandang adalah bagian dari berpikir. Oleh karena itu, tak banyak orang yang bisa melakukanya.
Tata Tertib Seharusnya Tidak Ambigu!
Perihal apa yang terjadi dalam pengalamannya menjadi bagian dari Tim Advokasi, Satria berpesan agar ambiguitas tentang tata tertib atribut dan semacamnya bisa lebih diperjelas. Spesifik lebih baik daripada memberi poin-poin aturan yang umum tapi menimbulkan huru-hara.
“Yang harus digarisbawahi dari setiap komponen, terutama panitia inti atau OC, itu harus menerapkan tata tertib yang jelas; tata tertib itu tidak ambigu seperti itu. Karena pada pelaksanaannya ada hal-hal yang ambigu, pasti ada perdebatannya dan hal itu bisa merugikan maba itu sendiri sebagai tamu kita. Mungkin ini sebagai bahan evaluasi bersama,” ujar Satria.
Selain itu, Rizki juga menambahkan bahwa, menurutnya, tidak perlu ada kekerasan verbal untuk menindak pelaku yang disinyalir melakukan pelanggaran. Semuanya bisa diobrolkan dengan kepala jernih dan pikiran dingin.
“Kita memang mempunyai tata tertib dan sanksi. Artinya, jika ada orang yang melanggar, kita langsung beri sanksi, kita kasih tahu; Anda tidak melakukan (sesuai peraturan), atau ‘Anda kekurangan (kelengkapan atribut) ini. Berdasarkan tata tertib yang ada, Anda tidak sesuai dan Anda mendapatkan sanksi ini.’ Itu bisa disampaikan, dan langsung ditindak berdasarkan sanksi. Tidak perlu ada “kekerasan verbal” atau dengan bentak-bentak itu,” imbuh Rizki.
Setiap peraturan tentu memiliki konsekuensi. Ini tentang bagaimana kita berani bersuara ketika kita dihakimi saat terbukti tidak menyalahi aturan yang berlaku. Mendengar kisah dari dua anggota Tim Advokasi memberi pembelajaran tersendiri dalam menindaklanjuti adanya ketidakadilan yang masih marak hingga saat ini. Pemahaman dari berbagai sudut pandang yang beragam akan menyelesaikan permasalahan dengan lebih efektif sekaligus adil bagi segala pihak.
Satria berharap, “Jangan sampai ketika kedisiplinan ditegakkan itu malah merugikan salah satu pihak. Jadi (harapannya) semua pihak dapat legawa dan bisa menjalankan (kedisiplinan itu) bersama.”
Penulis : Elshinta Adelia
Penyunting : Lindu Ariansyah