Sumber Gambar: Pexels
Dunia bergulir, begitupun layar dalam genggaman. Masalah kegalauan mau makan apa, main di mana, bahkan mau jadi apa bisa ditemukan sembari rebahan manja. Kisah-kisah inspiratif yang ditampilkan di sosial media bisa tak terhitung jumlahnya. Belum lagi dengan segala tips and trick, life hack, dan segala tetek bengek dunia perambisan yang menjerat kaum pencari jati diri. Saat melihatnya, rasa “aku pasti bisa menaklukan dunia” akan memercik dan berkobar bisa terus diberi bahan bakar. Sedikit berlebihan memang, tapi tak apa. Maklum, masih muda.
Penggunaan media sosial yang telah menjadi makanan sehari-hari memberikan efek adiktif tersendiri bagi penggunanya. Awalnya hanya sebagai penghibur di sela kesibukan yang ada, tapi kenyataannya terus dimainkan hingga lupa waktu. Sugesti-sugesti baru bermunculan dan pikiran yang belum matang ini tentu saja dengan mudah mengiyakan tanpa memikirkan efek lebih lanjutnya.
Beragam postingan yang menggambarkan gaya hidup yang tampak sempurna dan prestasi yang mengesankan tentu ibarat pisau bermata dua. Ada yang dijadikan sebagai motivasi, tapi tak sedikit pula yang membandingkan pencapaian orang lain dengan diri sendiri yang justru, ironisnya, membawa dampak kontraproduktif.
Perbandingan ini seringkali membuat rasa tidak cukup atau merasa tidak berdaya dalam mencapai standar yang mereka anggap harus dicapai. Selain itu, penggunaan berlebihan media sosial dapat membuat pemuda terisolasi secara sosial karena mereka mungkin lebih suka berinteraksi melalui layar daripada lewat tatap muka dengan orang di kehidupan nyata, mengurangi kesempatan untuk menciptakan hubungan sosial yang sehat.
Efek positifnya, rasa termotivasi dan ambisi untuk menjadi lebih baik lagi yang merupakan sebuah insight baru. Ambisius akan masa depan bukanlah dosa besar. Apalagi melihat dongeng dari para inspirator terkait bagaimana mereka belajar hingga bisa sampai sesukses sekarang. Time blocking, membuat study plan, meminimalkan spare time, dan kegiatan lain yang membuat waktu dua puluh empat jam dalam sehari itu terasa kurang. Istilah kerennya, hustle culture.
Hustle culture sendiri merupakan sebuah budaya yang membuat seseorang bekerja, atau dalam konteks ini belajar, melebihi jam normal. Bisa juga dalam bentuk pikiran untuk terus memanfaatkan waktu semaksimal mungkin. Fenomena sosial yang mendorong individu untuk bekerja lebih intensif lagi tersebut kerap kali diromantisasi dalam budaya populer dan media sosial sebagai kunci kesuksesan dan pencapaian impian. Tak salah memang, tapi setiap tindakan akan ada efeknya, bukan?
Jenuh, bosan, dan rasa frustasi sedikit banyak pasti dialami. Suara berisik terus mendengung di kepala, entah itu memang dari luar atau bahkan dari sumber yang tidak diketahui. Bagaimana bisa tenang kalau begitu? Yang ada makin stres dan kontrol diri mulai terasa abu-abu. Mana yang harus didengar dan benar dilakukan di kehidupan nyata. Mana yang harus dihindari agar tak celaka. Agaknya, kehidupan di sosial media, dunia delusi, dan kehidupan nyata hanya dibatasi membran tipis tak kasat mata.
Semakin gonjang-ganjing lagi setelah banyaknya kasus mengiris hati di dunia maya. Paling banyak, kasus tragis mengakhiri nyawa yang merebak layaknya jamur di musim hujan. Semakin dilihat, semakin tak jelas pula pemikiran netizen maha benar terkait kasus yang harusnya diberi banyak perhatian khusus.
“Lebih baik disiksa di neraka daripada disiksa di dunia tapi kita nggak salah apa-apa.”
Tidak tahu dari mana asalnya, tapi pemikiran fana itu kerap kali dilontarkan lewat fitur komentar yang tersedia. Mirisnya lagi, banyak yang mengamini dan merasa sedang berada di posisi yang sama. Kalau sudah sejauh ini, siapa yang bertanggung jawab? Pihak yang menyebarkan konten terindikasi negatif, platform media sosialnya, atau bahkan pengguna yang belum mampu memfilter dan memanfaatkan sosial media sebaik mungkin?
Tidak ada jawaban pasti. Semuanya kembali lagi pada bagaimana diri berpegang dan berpetualang. Apalagi dengan semua kegilaan yang ada, semakin diperlukan lagi perhatian bagi setiap diri pribadi dan lingkungannya. Mudahnya, tidak semua orang memiliki kondisi yang sama.
Sebagai generasi yang digadang-gadang menjadi generasi emas di tahun 2045 kelak, momentum bulan Oktober berupa semangat perjuangan pemuda mari digiatkan lagi. Hal itu terutama dari sikap mentalitas pemuda dan semangat untuk bertahan di era segala gempuran yang ada. Warisan berupa nilai-nilai ketangguhan baiknya terus ditanam di pikiran agar tidak hanya mengikuti arus yang mengalir saja. Kalau tiba-tiba kapalnya tenggelam, apa hanya bisa pasrah saja padahal masih ada kano yang disediakan?
Beda generasi tentu beda teknis realisasinya. Tapi setidaknya, pelajaran sejarah yang didapat sejak bangku sekolah dasar itu masih tetap diingat. Bukan hanya alur dan cara memperjuangkan kemerdekaannya, tapi juga terkait jiwa berprinsip yang tidak mudah terpengaruh segala hal, sekalipun itu terdengar sangat masuk akal.
Satu hal lagi, kepada temanku, pemuda yang berprestasi itu bisa dicari lagi. Tapi kalian, anak yang berarti, cuma ada satu di dunia ini.
Penulis: Isna Septi Wahyuni
Penyunting: Lindu Ariansyah