Selayang Pandang Pementasan “Kepang Mawa Tangis”

Adegan ketika Damar (tokoh utama) berkeluh kesah dengan ibunya

Zaman sekarang, perkembangan teknologi informasi semakin canggih, hampir di semua platform bisa mengakses film maupun drama sesuai selera masing-masing. Sehingga pertunjukkan teater yang lumrahnya dilakukan secara langsung di atas panggung dan umumnya dibuat untuk sekali pentas, memunculkan rasa penasaran tersendiri bagi banyak orang.

“Hidup aja sudah banyak drama”, kata Gen Z sekarang yang sudah memasuki era dibantai realita kehidupan. Dunia seni teater tidak sesederhana kita menikmatinya. Ada banyak detail yang harus dipelajari. Mulai dari tata panggung, tata lampu, tata rias, hingga seleksi aktor melalui proses casting, olah rasa, olah raga, dan olah jiwa.

Tugas Akhir Mata Kuliah yang Ditonton Banyak Orang

Adanya pentas pertunjukkan drama di tengah hectic-nya perkuliahan, tentunya sangat menghibur para mahasiswa yang sedang mempersiapkan diri menghadapi ujian akhir semester (UAS). Kabar adanya pentas gratis jadi sasaran empuk mahasiswa yang kurang hiburan dan no life di kos. Bulan Juni adalah bulan-bulan sibuk kuliah sebelum UAS. Tugas akhir semester yang pastinya beragam sesuai kehendak dosen yang tak jarang bikin mahasiswa pusing. Namun tugas akhir mahasiswa Pendidikan Bahasa Daerah FBSB UNY agak berbeda dengan prodi lainnya. Tugas akhir mereka salah satunya adalah mempersiapkan pentas yang dipertontonkan banyak orang. Hari Senin, 3 Juni 2024, telah yang diadakan pentas dengan judul “Kepang Mawa Tangis” oleh Paguyuban Seni Teater Tradisi Basunanda Diwangkara. Naskah yang diangkat berasal dari naskah tulisan Nur Rosyid Hidayat yang merupakan mahasiswa UNY yang berasal dari background teater.

Layaknya tugas akhir semester yang pastinya juga memiliki tingkat kesulitan tersendiri demi mendapat sebuah nilai oleh seorang dosen. Menariknya untuk persiapan pentas “Kepang Mawa Tangis” yang diadakan di Performance Hall FBSB UNY ini menjalani persiapan selama kurang lebih satu bulan, “Latihan kurang lebih satu bulan: dari pembentukan panitia hingga proses latihan hingga gladi resik,” ucap Shafrizal selaku manajer panggung dalam pentas ini. Proses pementasan sebuah naskah dengan persiapan satu bulan cukup terbilang singkat.

Untuk menyiapkan acara pentas “Kepang Mawa Tangis” ini, para mahasiswa Pendidikan Bahasa Daerah kelas B angkatan 2022 ini juga melakukan pendaftaran layaknya open recruitment untuk mahasiswa FBSB yang berminat membantu pentas kali ini. Lakon yang diperankan di sini cukup banyak dan tidak sedikit yang tidak memiliki basic dalam dunia pementasan teater. Karena hal itulah, tidak dipungkiri adanya miskomunikasi dan memang bukan hal mudah menyatukan banyak kepala.

Proses mulai pembentukan panitia, casting, reading, buat properti, hingga cari konsumsi sana-sini. Dalam pementasan kemarin, salah satu kesulitan yang diungkapkan oleh Shafrizal yaitu properti yang sebanyak itu dengan timing yang tepat.

Pembentukan panitia utama berasal dari internal kelas B Pendidikan Bahasa Daerah UNY setelah dirasa membutuhkan bantuan, mereka membuka seperti open recruitment atau meminta tolong kepada mahasiswa lain kelas untuk membantu dalam segala proses penyuksesan pentas “Kepang Mawa Tangis”. Setelah selesai apresiasi kepada para pemain, seluruh komponen pentas tak boleh dilupakan. Banyak yang mendapat selamat dan bingkisan-bingkisan hadiah setelah berhasil sukses mementaskan penampilan yang menarik.

Proses Latihan dan Kendala yang Dilalui Demi Sebuah Pentas

Perjuangan yang melalui proses “persiapan pentas yang berdarah-darah”, ujar Dendi sebagai staf acara dan paraga pada pentas kemarin, rasanya terbayar sudah setelah pentas paripurna. Untuk mempersiapkan pentas ini, Paguyuban Basunanda Diwangakara mengadakan dua sampai empat kali latihan rutin selama sepekan. Latihan biasanya dimulai pukul 4 sore hingga pukul 10 malam. Menjelang hari H, latihan terakhir untuk pematangan persiapan bisa sampai jam 3 dini hari.

Pada acara pentas kemarin, ada kendala mic yang tidak terhubung beberapa saat, sehingga aktor yang berdialog harus berimprovisasi dengan menaikkan volume suaranya agar terdengar oleh penonton—tanpa bantuan mic. Beruntung, para pemain memahami situasi tersebut dan mampu mengendalikan diri dan tetap fokus pada pementasan. Hal ini membuktikan bahwa latihan para lakon “Kepang Mawa Tangis” membuahkan hasil yang positif.

Latihan pentas “Kepang Mawa Tangis” yang dipersembahkan oleh Paguyuban Basunanda Diwangkara kemarin tidak hanya tentang teater. Dalam persiapannya juga ada latihan yang diperuntukkan untuk penari dan karawitan. Awal-awal ketika latihan keteateran seperti olah rasa, olah raga, olah suara, maupun pendalaman karakter masih bisa dilakukan di area kampus. Tetapi ada juga latihan-latihan yang tidak bisa dilakukan di area dekat kampus karena tidak memungkinkan, misalnya karawitan.

Latihan-latihan yang sudah memakai iringan gamelan untuk tim karawitan tidak bisa dilakukan di area dekat kampus. Karawitan sangat penting karena hal yang yang ditonjolkan dalam iringan musik pertunjukkan Teater “Kepang Mawa Tangis”. Para kru Basunanda Diwangkara menempuh latihan dengan tempat yang lumayan jauh dari area UNY, yaitu di daerah Sewon, Bantul di Pendopo Karangkitri untuk latihan menggunakan iringan gamelan.

Potret Damar dengan Jaran Kepangnya

Untuk memenuhi tugas akhir dan memutuskan untuk mempertontonkan teater tentunya tak luput dari tujuan untuk melestarikan dan memperkenalkan kepada penonton tentang tradisi Jawa. Paguyuban yang dibentuk dari mahasiswa Pendidikan Bahasa Daerah UNY ini tentunya tidak menanggalkann identitas tradisi kejawaan.

Di setiap nama pastinya memiliki makna, adapun makna yang dimiliki oleh paguyuban yang kemarin mementaskan naskah judul “Kepang Mawa Tangis” yaitu Paguyuban Basunanda Diwangkara. “Basunanda” artinya akal dan pikiran manusia, dan “Diwangkara” itu berarti penerang atau cahaya. Jadi tujuan penamaan paguyuban ini yaitu harapan agar akal dan pikiran para anggotanya bisa saling bersinergi sehingga menghasilkan cahaya yang terang. Paguyuban Basunanda Diwangkara yang dibuat untuk mempersiapkan pentas ini beranggotakan kurang lebih 160 orang.

Mengangkat kebudayaan Jawa yang sekarang jarang dipelajari oleh orang Jawa itu sendiri adalah upaya melestarikan tradisi. Pementasan ini menghadirkan unsur jaipong dan iringan pentas dengan seperangkat gamelan. Seperangkat gamelan maupun lagu Jawa yang dinyanyikan sinden pun pastinya erat kaitannya dengan kehidupan mahasiswa pendidikan bahasa daerah.

Pentas dengan persiapan satu bulan yang ditampilkan di Performance Hall pada Senin, 3 Juni 2024 ini, sangat menakjubkan. Pesan yang disampaikan pun sangat menyentuh dan bisa dikatakan related dengan problematika generasi sandwich zaman ini.

Adaptasi pertunjukan pentas ini menggunakan dialog bahasa jawa penuh. Hal ini sedikit menghalangi penonton yang tidak begitu fasih berbahasa jawa dalam memahami setiap dialog para aktor di atas panggung. Namun, hal itu tidak membuat penonton lantas meninggalkan tempat duduk dan menyudahi menonton pementasan.

Seorang kawan asal Medan manggut-manggut saja setiap kali saya tanya paham atau tidak dengan dialog pementasan yang kami tonton itu. Ya, mungkin dia harus lebih sering menonton pertunjukkan-pertunjukkan semacam ini biar semakin terbiasa dan mahir memahami dialog dan perbendaharaan bahasa Jawa.

Penulis: Hafsah Khatib

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *