Forum Rektor Indonesia (FRI) tahun ini sudah terselenggara di Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) pada Jumat-Sabtu (2-3/2) lalu dengan tema “Revolusi Mental untuk Memperkokoh Karakter Bangsa”. Tema yang cukup retorik, namun menggelikan karena tak jelas mental siapa yang akan direvolusi. Mental seperti apa yang akan direvolusi dan akan direvolusi seperti apa juga tidak jelas. Apakah yang dimaksud mental mahasiswa yang kini dikenal malas, hedonis, miskin prestasi dan sebagainya? Lantas siapa yang akan merevolusi mental-mental seperti itu dalam diri mahasiswa? Dalam tulisan ini saya akan mencoba menganalisis, siapakah pelaku revousi mental yang tepat di lingkungan kampus, khususnya kampus saya tercinta, UNY.
Pilihan pertama adalah rektor dan jajarannya yang sering anti kritik dan kerap melakukan pengekangan serta tindakan represif. Seperti pembredelan Majalah Lentera di Salatiga, Pembubaran diskusi film di Undip, penendangan Roni dari bangku kuliah karena melakukan aksi oleh rektor UNJ, pembredelan buletin milik LPM Ekspresi oleh rektor UNY dan masih banyak lagi kasus lainnya.
Dari situ dapat disimpulkan bahwa jajaran birokrat kampus tidak dapat dijadikan subyek dalam proyek revolusi mental. Mental birokrat kampus sendiri masih harus direvolusi menjadi mental yang dewasa, terbuka pada kritik dan saran demi terciptanya proses pembelajaran yang lebih baik sehingga potensi mahasiswa dapat dioptimalkan, bukan mental yang main sikat se-enaknya.
Pilihan selanjutnya adalah tenaga pengajar atau dosen, saya sendiri tidak yakin dengan pilihan ini. Masih terlalu banyak dosen yang semau hati dalam mengajar, bukan subyektif, memang banyak keluhan dari mahasiswa terkait kinerja dosen. Ada yang mengeluh tidak cakapnya dosen dengan materi yang diajarkan, sering absennya dosen tanpa alasan yang jelas, seenaknya dalam memberikan tugas, perilaku dosen yang sangat subjektif dalam memberikan nilai, hingga pembungkaman terhadap mahasiswa yang berani berpendapat meski sarat akan kebenaran. Jika sudah seperti ini, tenaga pengajar tidak ada bedanya dengan orang-orang di atasnya, mereka juga tidak bisa dijadikan subjek dalam proyek revolusi mental.
Lantas, siapa lagi yang diharapkan menjadi pelaku revolusi mental di lingkugan kampus? Apakah staf birokrasi yang kinerjanya juga belum mencerminkan pelayanan sekelas kampus berstandar ISO? Banyaknya keluhan mahasiswa terkait lambannya pelayanan membuat staf birokrasipun gugur dalam sayembara menjadi subjek dalam revolusi mental yang digagas petinggi kampus di FRI kemarin. Belum lagi sikap tidak mengenakkan yang dilakukan mereka dalam melayani mahasiswa.
Mahasiswa kini menjadi pilihan terakhir untuk menjadi subjek dalam proyek revolusi mental di lingkungan kampus, kecuali mereka rela mentalnya direvolusi oleh orang-orang yang tidak lebih baik dari mahasiswa. Berbenah dan menata diri merupakan langkah awal yang tepat, sehingga citra buruk yang kini disandang mahasiswa tidak lagi ada. Dengan demikian, mahasiswa bisa memenangkan sayembara pemeran utama dalam proyek revolusi mental di lingkungan kampus.