Hikayat Sopir Sarjana: Memarkir Renjana dalam Kelana

Bapakku kerja sebagai sopir truk. Ibuku jualan es kelapa muda dan kuliner sambal khas Lamongan. Kata ibu, mereka berdua dulu bertemu ketika bapak mampir ke warung ibu. Mereka dipertemukan oleh jalanan. Dengan kata lain, aku ada karena cinta yang tumbuh di jalan.

Aku adalah mahasiswa yang mana saat mahasiswa lain mengeluhkan kuliah daring, aku malah merasa nyaman dengan itu. Sederhana saja, bagi anak rantau sepertiku, kuliah dari rumah memberiku kesempatan untuk membantu orang tua mengais rupiah ketimbang menghabiskannya di perantauan.

Ketika di rumah, aku kerap diajak bapak untuk ikut dengannya menyopir. Entah sekedar menjadi kernet di bangku sebelah kiri, atau duduk di bangku sebelah kanan sembari diajarinya aku menyetir kala hari sudah gulita.

Membawa truk sebesar itu, awalnya aku ragu. Namun setelah beberapa malam, aku malah nyaman. Keraguan itu hadir karena bisa saja aku membunuh banyak orang dengan truk yang bayarnya paling mahal ketika naik jalan tol itu.

Ketimbang belajar materi perkuliahan ─yang entah nanti berguna apa tidak─, aku lebih suka belajar dari jalanan. Khususnya, sepanjang jalur Pantura (Jakarta-Surabaya). Orang-orang yang kutemui di jalanan memberikan pelajaran berarti. Baik dalam kehidupan maupun penghidupan, selalu ada hal menarik di sana.

Pernah, ketika aku ikut bapak pertama kali mengirim muatan dengan ekpedisi terjauhnya dari Jakarta ke Probolinggo, aku dikenalkan dengan teman sopirnya yang lulusan S-1.

Aku ingat, itu adalah suatu Sabtu di awal Oktober. Waktu itu, kami sedang dalam perjalanan pulang. Aku duduk di sisi kiri dan bapak memegang kemudi. Sementara teman bapak tadi melaju di depan, memandu dan membuka jalan. Dia begitu ugal-ugalan meski sudah berkepala empat. Mau tidak mau, bapak juga ikut ugal-ugalan agar tetap bisa mengekornya. Bah, rasanya seperti sedang konvoi truk saja.

Di sela-sela laju yang menegangkan itu, bapak masih bisa menyempatkan bercerita.

Bapak bilang, “Sopir depan itu, Pak Har, namanya. Dia sarjana. Pernah kuliah Teknik Sipil di Jakarta namun dia memilih menjadi pengendara.”

Sebetulnya, aku tidak mendengarkannya dengan pasti karena sibuk melihat spion kiri sambil melambai-lambai tangan keluar jendela agar sepeda motor di samping tidak buta kalau di dekatnya ada banyak roda. Aku takut mereka terbunuh oleh dua truk sepanjang 18 meter yang seolah-olah sedang asyik balapan ini.

Bagaimana tidak, bus dari lawan arah saja memilih menghabiskan ruas kiri jalan ketika berpapasan dengan kami. Bahkan mobil PJR polisi hanya mengedipkan lampu saja ketika kami salip, padahal roda kanan kami terus-terusan memakan lajur kanan jalan. Ah, mungkin dia salah satu polisi baik.

Kebetulan, Teknik Sipil juga jurusan kuliahku saat ini. Sehingga ketika bapak mengatakan itu, aku langsung tahu maksudnya. Seakan-akan bapak seperti mau memberi peringatan: “Kamu jangan jadi sopir, Nak!” Brengsek memang, padahal aku mulai nyaman dengan jalanan.

Aku penasaran dengan sosok Pak Har ini. Ingin kucoba pastikan nanti ketika istirahat.

Setelah beberapa jam menembus kota Pasuruan, Sidoarjo, Surabaya, Gresik, dan Lamongan, akhirnya sopir depan mengesein kiri untuk istirahat makan ketika memasuki Kabupaten Tuban. Ini adalah perjalanan yang sangat panjang, apalagi ditempuh dengan perut lapar. Terakhir aku makan, pukul tujuh pagi tadi sewaktu bongkar barang di gudang.

Sebagai informasi saja, truk yang kami bawa ini adalah truk distributor penjualan kendaraan bermotor. Truk beroda 14 ini mampu mengangkut 68 buah sepeda motor sekali jalan. Jumlah itu merupakan penurunan, sebetulnya. Sebelumnya, kami bahkan berani menggotong hingga seratus buah kendaraan bermotor sekali berangkat. Razia ODOL-lah yang membuat kuantitas muatan truk kami dekaden.

Dan sekarang sudah pukul sembilan malam. Layaknya di kos-kosan, saat di jalan aku juga hanya makan dua kali sehari. Anggap saja, laku prihatin.

Kami berhenti di sebuah warung makan khas Lamongan. Setelah turun, aku dan Pak Har langsung masuk warung. Sedangkan bapak sibuk mengelilingi truk untuk mengecek tekanan angin ban truk kami.

Begitu memasuki warung, aku terkejut. Sial, Pak Har tahu saja tempat makan mana yang penjualnya masih muda dan cantik jelita. Bahkan sekelas warung makan khas Lamongan sekalipun, dia mafhum betul. Bajingan, siapa sebenarnya orang ini?

Hanya dalam sejumput detik saja, aku langsung terpana memandang juita satu ini. Pikiranku meliar ke mana-mana. Salah satunya, akankah aku bernasib sama sebagaimana sejarah orang tuaku dulu? Bertemu jodoh, seperti bapak yang berjumpa ibu ketika mampir di warung jualannya.

Ah, tidak mungkin. Ini kenormalan, sebetulnya. Aku hanya seperti laki-laki pada umumnya, yang ketika melihat perempuan cantik, langsung suka menatapnya.

Baca juga: Malam di Guyangan, Ketika Tubuh yang Lelah Membutuhkan Cumbuan yang Basah

Perlahan, Pak Har mendekati perempuan itu untuk bertanya lauk apa saja yang ada. Pak Har memesan ayam, namun aku hanya duduk menunggu bapak. Seorang kernet mana berani memesan terlebih dahulu sebelum sopirnya pesan. Kira-kira begitulah adab makan sopir-kernet di jalan. Meski sopir itu adalah bapakku sendiri, adab itu selalu kuterapkan.

Selain itu, ada juga adab yang lain. Saat pesan makanan, kernet pun tidak boleh memesan makanan lebih enak atau lebih mahal daripada sopirnya, maksimal sama. Oleh karena itu saat bapak pesan ayam, aku pesan lele.

Sembari menunggu pesanan, waktu kuhabiskan untuk diam-diam mengamati polah Pak Har. Dilihat dari tampangnya, dia seperti sopir pada umumnya. Tidak mencerminkan pria berpendidikan sama sekali, ya seperti aku.

Dari kerut kulit di ujung mata, kutaksir Pak Har seumuran dengan bapak. Rambutnya pendek tapi kucirnya panjang lancip hingga menyentuh kerah. Kulitnya gelap sawo matang seperti orang Jawa pada umumnya. Namun tangan kanannya lebih gelap sedikit daripada tangan kirinya. Ini pertanda saat menyopir dia sering mengeluarkan tangan kanannya di jendela sembari memegangi rokok. Tangan kanan, rokok. Tangan kiri, perseneling. Seperti ciri khas sopir pada umumnya.

Kulihat di kelingking kanannya tersemat selingkar cincin. Sepertinya, dulu cincin itu melingkari jari manisnya. Cukup kentara kontras warna kulitnya. Namun karena jarinya mulai membesar dan kapalan, cincinnya dipindahkan ke kelingking.  Aku ragu kalau itu adalah cincin biasa hanya untuk gaya-gayaan saja. Cincin itu pasti cincin pernikahannya.

Fisik mungkin tidak mencerminkan, namun tutur katanya itu meyakinkan. Dilihat dari dialektikanya saat berkomunikasi dengan orang lain dan saat mengomentari tayangan berita di Facebook, kini aku yakin benar apa kata bapak tadi: dia sarjana.

Saat makanan tiba, kami lantas mulai makan bersama-sama. Di sela-sela itulah dia bertanya padaku, “Sampai mana kuliahmu?”

Aku terkejut, dia tahu kalau aku kuliah, padahal ini kali pertama aku bertemu dengannya. Mungkin bapak telah cerita pada banyak temannya kalau aku kuliah. Aku paham, bagi seorang bapak yang hanya lulusan SD dan bekerja sebagai sopir truk, dapat menyekolahkan putranya hingga jenjang perguruan tinggi adalah suatu kebanggaan tersendiri, tak heran jika teman-temannya tahu. Namun itu sangat berat bagiku yang merasa kuliah tidak mendapatkan apa-apa selain jatuh cinta pada perempuan namun tak berani bilang.

“Semester 7,” jawabku.

“Berarti sudah dapat kuliah tentang mekanika dan struktur beton, dong?” tanyanya lagi.

Sial, ini adalah pertanyaan pancingan. Habis ini, pasti dia hendak menguji kemampuan payahku tentang apa yang sudah aku pelajari selama tiga setengah tahun kuliah ini. Jangankan materi kuliah, dapat nilai apa saja aku pun sudah lupa. Mengingat huruf saja aku tak bisa, apalagi seabrek rangkaian kalimat teoritis mata kuliah di dalamnya.

Toh, kata seorang kawanku, kuliah itu cuma seni menghafal dosen, sebetulnya. Mahasiswa didesain agar memiliki pola pikir pragmatis. Kampus menyuruh mahasiswanya agar rajin kuliah biar cepat lulus. Aih, aku tahu, dengan begitu mereka bisa menambah lebih banyak kuota daya tampung dan membuka prodi-prodi kontemporer cum best seller agar bisa mengeruk lebih banyak lagi kantong untuk mempersolek lebih banyak lagi bangunan-bangunan fotogenik nan lancut lainnya.

“Sudah, Pak. Sudah lama itu, sampai lupa dapat di semester berapa,” kataku berusaha untuk bersikap sesantun mungkin.

Daripada dia yang banyak tanya padaku, aku malah ingin yang lebih banyak tanya padanya. Khususnya, soal mengapa seorang Sarjana Teknik Sipil seperti dia malah memilih menyusuri jalan menjadi sopir truk. Singkatnya, aku sedang mencari preseden bagi diriku sendiri.

Seusai makan, pucuk dicinta ulam pun tiba. Sebelum aku bertanya, ia sudah bercerita sendiri dan menjadi jawaban atas pertanyaanku yang belum sampai terucapkan itu. Dia bilang, dia memilih menjadi sopir karena biar bisa jauh dari istrinya di rumah. Bukan karena benci melainkan karena ingin merindu.

“Supaya jauh biar bisa merindu, dan ketika pulang biar tambah sayang.”

Jancuk!

Kurasa bapak ini sudah terlalu tua untuk membahas soal rindu. Mungkin dia sedang bergurau. Namun sesaat setelah melihat dia menyalakan rokok, menghisapnya dengan panjang lalu menghembuskannya dengan pelan, kupikir dia berkata jujur. Di sisi lain, bapakku yang duduk di samping Pak Har, pura-pura tidak dengar, mungkin malu karena ada aku.

“Tapi mengapa, Pak?” tanyaku singkat.

“Ya, daripada menidurinya, aku lebih suka merinduinya,” jawabnya sembari terus asyik mengepulkan asap ke langit malam.

Jawaban menyebalkan! Biar begitu, aku hanya bisa memakluminya karena memang dia sudah tua. Coba saja dia ini orang yang baru nikah muda, jawaban tadi itu pasti segera kubantah mentah-mentah. Lagi pula, orang-orang muda zaman sekarang lebih suka meniduri daripada merindui. Bahkan meskipun dalam keadaan belum menikah.

Namun saat melihat mata Pak Har mulai berkaca karena membahas rindu, mungkin alasan merindui istrinya itu benar, walapun misal saat ini dia masih muda.

Bagaimana tidak rindu, sudah sekian hari dia tidak pulang. Hari-harinya selalu habis dengan bergelut di garasi, pabrik, dan gudang. Di antara itu, dia selalu di jalan. Ditambah, melihat cara dia menghembuskan asap rokok, aku merasa perasaan dia tak asing bagiku yang memang kerap merasakan rindu pada seseorang ketika di jalan.

Bagaimana dia meyakinkan istrinya untuk dapat menerima keputusan saat dia memilih menjadi sopir adalah pertanyaan besar bagiku. Aku paham betul, hidup di jalan tidaklah mudah. Bahkan banyak orang bilang kalau sopir itu “makan seperti raja, tidur seperti anjing”. Untuk urusan makan, sopir dapat memilih makan di mana saja dengan menu apa saja, dengan pertimbangan kadar ketebalan kantong tentunya. Namun untuk urusan tidur, itu sedikit lebih sulit karena kami kerap bingung mau tidur di mana.

Aku akhirnya mendapatkan jawabannya. Ternyata, dulu istrinya tidak sepakat dengannya. Istrinya mengira cintanya telah dikebiri oleh suaminya sendiri yang katanya malah ingin jauh darinya. Istrinya tidak rela jika dia jadi sopir truk. Ia tak ingin hanya sekejap dengan suaminya. Diperparah lagi, penghasilan sopir yang tak seberapa membuat alasan “untuk merindu” itu tak bisa diterima oleh seorang ibu rumah tangga.

Namun, lain dengan Pak Har sendiri. Walau sekejap bertemu, ia merasa cinta istrinya telah memenuhi hatinya kembali sebelum ia beranjak pergi ke jalan lagi. Tidak ada yang dapat menggoyahkan niat Pak Har bahkan kalaupun itu dari istrinya sendiri. Dasar, pria keras kepala.

Walaupun begitu, aku pikir pasti ada alasan lain di balik dalihnya menjadi sopir untuk merindu. Soal rindu dan cinta, kurasa itu persoalan kedua. Selalu ada alasan yang mengiring Pak Har memilih roda, aspal, dan debu jalanan sebagai jalan hidupnya. Beda dengan bapakku yang hanya lulusan SD, meroda adalah nasib. Dia pasti punya pilihan dan pertimbangan.

Kupikir lagi, Jakarta, kota metropolitan, tempat ia tinggal itu, pasti juga banyak proyek. Mencari kerja minimal sebagai kepala proyek saja sangat mudah bagi dirinya yang seorang Sarjana Teknik.

Aku coba memikirkan kemungkinan alasan lain di benakku. Setelah dipikir-pikir, mungkin saja dia muak dengan lingkungan proyek yang penuh dengan hal-hal menjijikan seperti senioritas, deal di bawah meja dan korupsi anggaran bahan. Atau mungkin, dia benci dengan pembangunan yang mendesak masyarakat lokal ke pinggiran kota dan program-program pembangunan yang hanya diperuntukkan untuk masyarakat kelas menengah ke atas seperti pembangunan mal, jalan tol, atau bahkan pembangunan ibu kota baru di Kalimantan sana.

Ya, selama ini, pembangunan jalan tol, misalnya, memang hanya menguntungkan pemilik modal dan keuntungan itu akan terus beranak pinak hingga kiamat. Mayoritas penikmat akses jalan tol juga dari kalangan orang-orang berpunya, yang enggan sekedar melintasi jalanan umum yang riuh dan macet, atau bisa juga anti menggunakan angkutan umum. Di sisi lain, orang-orang tak berpunya hanya bisa memandang megahnya tol sembari terus berjalan memungut botol dan rongsok sejenisnya di sepanjang got dan selokan.

Dugaanku, bisa jadi iya. Aku hanya mengira-ngira tanpa berani bertanya. Namun setelah kuingat-ingat, kemungkinan besar memang benar faktanya demikian.

Tadi, ketika masih di gudang di Probolinggo, ketika bapakku mengajak Pak Har naik jalan tol Probolinggo-Gempol supaya lebih cepat, dia menolak. Dia ingin lewat jalur bawah saja. Dan ketika dia ugal-ugalan di jalan, dia pasti punya maksud dan tujuan. Dia ingin membuktikan pada bapak bahwa naik tol atau lewat jalur bawah itu sama cepatnya. Apapun alasan Pak Har memilih menjadi sopir, entah alasan merindu atau alasan lain yang mungkin dia pendam, aku tetap salut padanya.

Berbincang dengan Pak Har membuatku ingat bahwa banyak orang yang selama ini memandang buta sopir truk dengan memberikan stereotip negatif seperti bahwa sopir itu bukanlah pria setia, suka jajan malam di jalan, cintanya gampang banting setir, dan setia (setiap tikungan ada). Dari mendengar kisah Pak Har, kurasa stigma itu sangat biadab. Jika bisa, ingin kusumpal mulut-mulut itu dengan kunci roda.

Setelah makan dan bercengkrama, kusadari bahwa malam kian larut dan kini hampir tengah malam ternyata. Kami sepakat untuk melanjutkan perjalanan. Sekarang adalah jatahku duduk di bangku kanan dan mengendalikan Mitsubishi Fuso berkepala oranye ini. Aku dan bapak pulang ke Batang. Sedangkan Pak Har terus melaju membelah malam.

“Rindu itu tak bisa sembuh, bisanya terobati.”

Ungkapan Pak Har itu akan senantiasa ia bawa hingga ia berjumpa dengan istrinya, di Jakarta sana.

Di Jakarta sana.

Penyunting : Lindu A.

Baca juga: Sukarta Post (I), Sukarta Post (II), dan cerpen menarik lainnya di Cerpen.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *