Ngaji Posonan Gagrag Kaliopak

Sumber gambar: Instagram

Setelah berjejalan kendaraan sepanjang Ringroad Barat, saya sampai juga di Pesantren Kaliopak yang beralamatkan di Dusun Klenggotan, Desa Srimulyo, Kecamatan Piyungan, Kabupaten Bantul, jelang kumandang magrib pada Senin (11/4).

Doel─entah Doel Rohman atau Doel Rohim, santri kembar generasi awal Pesantren Kaliopak─menyambut saya dan mempersilakan untuk langsung saja bergabung di kajian sore Ngaji Posonan Pesantren Kaliopak bertema “Menulis Sebagai Catatan Etnografi: Proses Penulisan Buku Ki Slamet Gundono” oleh Yusuf Efendi, penulis buku Bocah Cilik Nggambar Jagad: Catatan Etnografi Biografi Ki Slamet Gundono.

Para santri Ngaji Posonan sedang khusyuk menyimak Yusuf Efendi menjelaskan cara merapalkan mantra. Mantra di sini bukanlah ungkapan-ungkapan bernada sihir, tetapi bermaksud sebagaimana doa─berasal dari frasa “japa-mantra” yang merupakan tembung saroja dalam bahasa Jawa, yang memiliki kemiripan makna dengan kata donga, sidikara, aji-aji, dan juga rapal.

“Dadi, nek lemahmu pengen obah manahe kudu resik. Kalau manahe resik Gusti Allah e pasti obah. Manah, lemah, Gusti Allah,” papar Yusuf Efendi yang berarti ‘Jadi, kalau kamu mau tanahmu gerak (sesmesta merestui) maka hatimu harus bersih. Jika hati bersih, Gusti Allah pasti juga tergerak (merestui). Hati, tanah, Gusti Allah,’ memungkasi kajian sore karena adzan Maghrib sudah berkumandang.

Ngaji Posonan Pesantren Kaliopak kali ini telah memasuki edisi keempat sejak pertama kali diadakan pada bulan Ramadhan tahun 2019 lalu. Ngaji Posonan merupakan program khusus bulan Ramadhan. Pada edisi kali ini, Ngaji Posonan dilaksanakan selama 17 hari (6 April-22 April) dan akan ditutup dengan Malam Selikuran Ramadhan yang biasa diperingati untuk menyambut turunnya Lailatul Qadar.

Istilah “ngaji posonan” sendiri memang sudah umum di kalangan pesantren di Jawa. Seperti sudah menjadi kewajiban bagi pondok pesantren untuk menghelat sesi khusus Ngaji Posonan tiap bulan Ramadhan tiba. Para alumni atau santri kalong yang tidak menetap di pondok memanfaatkan momentum ini untuk mengikuti kajian kitab tertentu yang sedianya akan dikhatamkan selama bulan Ramadhan.

Ada juga pondok pesantren yang mengadakan ijazah tirakat seperti di Pondok Pesantren Budaya Bumi Wangi, Jekulo, Kudus, yang Ramadhan tahun lalu mengadakan ijazah shalawat Dalailul Khairat. Pengamalan shalawat Dalailul Khairat biasanya disertai dengan tirakat puasa sepanjang tahun selama tiga tahun kecuali pada Hari Tasyrik.

Namun, Ngaji Posonan ala Pesantren Kaliopak sedikit berbeda. Alih-alih mengkaji kitab-kitab kuning secara esoteris, fokus kajiannya justru kebanyakan bertema seni dan kebudayaan sebagaimana yang menjadi nafas pesantren ini hidup.

Peserta Ngaji Posonan sendiri tidak terbatas pada internal dari santri-santri Kaliopak saja, melainkan datang dari berbagai daerah, mulai dari Magelang, Pati, Kuningan, Gresik, Bandung, Bekasi, sampai Maluku, serta mayoritas berasal dari kalangan mahasiswa.

Rasanya baru sebentar saya menimbrung dalam obrolan, Isya sudah mendengung. Saya mengikuti shalat isya berjamaah di langgar dilanjutkan tarawih dan witir telu likuran khas warga Nahdliyin yang jarang saya temui di belantara Jogja yang mayoritas beraliran sewelasan.

Membaca Relasi Manusia dengan Tanah

Pasca menunaikan tarawih, jamaah lantas berkumpul di pendopo guna mengikuti kajian “Sejarah Agraria di Nusantara: Membaca Relasi Manusia dengan Tanah” yang akan diisi oleh Ahmad Nashih Luthfi, dosen Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional (STPN).

Haris (23), moderator acara mengawali acara dengan berkisah tentang cerita masa kecilnya dulu di kampung halamannya: Maluku Utara.

“Dulu, waktu saya masih kecil di kampung, saya pernah menyaksikan langsung ada satu nenek yang memarahi cucunya karena membuang air panas ke tanah. Kemudian, si nenek meminta cucunya itu untuk ambil air di sumur untuk disiram ke tanah yang tadi disiram air panas. ‘Kamu jangan menyirami air panas di atas tanah! Itu tanah, dia punya nyawa dan dia juga bisa merasakan sakit,’ kata sang nenek menasihati cucunya kemudian. Artinya, ada satu relasi manusia dengan tanah yang itu sifatnya saling menghargai dan menyayangi, bukan malah mengeksploitasi dan menyakiti,” ungkap Haris.

Permasalahan-permasalahan seputar agraria timbul diakibatkan oleh perubahan paradigma dalam melihat tanah, dan terdapat impak dari kolonialisme di masa silam. Dalam kacamata hukum perdata, tanah bahkan hanya dilihat sebagai benda bergerak dan benda tidak bergerak semata. Tidak lagi sebagai warisan leluhur yang suci dan harus dijaga sebagaimana mestinya.

“Manusia dengan makhluk-makhluk lain ini sama di hadapan Allah. Jadi, sama-sama makhluk; sama-sama sosok yang diciptakan; atau sama-sama objek. Oleh karena kesamaan tersebut, tidak pantas bagi manusia untuk mengeksploitasi tanah secara seenaknya,” jelas Ahmad Nashih Luthfi.

Lebih lanjut, Ahmad Nashih Luthfi menerangkan bahwa yang dimaksud dengan land (tanah) adalah segenap hubungan yang terbangun di atasnya, termasuk hubungan hukum, kebudayaan, bahkan spiritual.

“Kita mengenal istilah ‘ibu bumi’ atau motherland, di hampir semua kebudayaan. Hal ini untuk merepresentasikan betapa tanah itu layaknya seorang ibu yang harus senantiasa kita hormati. Durhaka kepada tanah sama buruknya dengan durhaka kepada seorang ibu,” imbuh alumnus UGM tersebut.

Jika melihat sekilas jejak sejarah Nusantara, gerakan pertama yang menyingkirkan manusia dari tanah adalah gerakan kapital kolonial yang mengubah paradigma dalam memandang tanah. Relasi manusia dengan tanah─yang secara lebih kompleks juga bersangkut paut dengan relasi hukum, kebudayaan, dan spiritual─digerus oleh paham kapitalisme para kolonial yang menempatkan tanah sebagai materi dengan nilai ekonomi belaka. Tanah ditempatkan sebagai alat produksi sehingga dieksploitasi besar-besaran untuk menghasilkan komoditas-komoditas andalan kolonial seperti kopi, nila, lalu di era berikutnya tebu.

Ketika banyak tanah Vorstenlanden (tanah kerajaan) disewakan, relasi orang  dengan tanah tercerabut karena tanah hanya dikelola oleh oligarki perusahaan-perusahaan perkebunan. Orang yang sebelumnya mengolah tanah keraton, kemudian tersingkir ketika tanah keraton disewakan kepada pengusaha-pengusaha Eropa dan diganti dengan sistem perusahaan perkebunan yang murni relasinya perburuhan semata.

Banyak kasus atau situasi secara sosial dan ekonomi yang menjadikan kegeraman dan kegelisahan zaman itu, yang turut menjadi penyebab pecahnya Perang Diponegoro pada tahun 1825.

Perang yang lebih cocok disebut sebagai Perang Jawa itu, demikian masif dan melibatkan berbagai lapisan masyarakat. Mulai dari kalangan elite dari golongan para bangsawan keraton dan priyayi yang tidak puas dengan kebijakan zaman itu; kalangan masyarakat awam yang kian tersungkur kehidupannya; hingga golongan ulama seperti Kiai Madja dan Sentot Ali Basyah.

Demikian masifnya imbas kolonialisme yang melahirkan desakralisasi tanah, yang mana diperparah oleh pemerintah kolonial Belanda yang mencanangkan program Cultuurstelsel pasca perang Diponegoro, disusul persewaan tanah besar-besaran setelah era 1870-an.

Separuh bungkus kretek saya tak terasa tandas menjelang diskusi usai pada pukul setengah satu dini hari. Malam masih panjang di Kaliopak. Saya tak beranjak dari pendopo sampai waktu subuh tiba karena mata yang sulit untuk dipejamkan. Sebagian santri memilih untuk kembali ke kamar menjemput mimpi, sebagian lainnya asyik bercengkrama di Kalimasadacafe, kedai kopi milik Pesantren Kaliopak.

Seusai sahur, asap dupa mengepul di bawah tangga langgar mengiringi pembacaan Basyairul Khoirot karangan Syekh Abdul Qadir Jaelani. Aroma asap dupa dan tabuhan kendang jawa yang menjadi iringan nadam Aqidatul Awam pagi itu menciptakan nuansa magis tersendiri bagi saya.

Saya beranjak pulang ketika pagi sudah menjelang dengan menahan rasa kantuk yang benar-benar menyebalkan. Meninggalkan pesantren asuhan Kiai Muhammad Jadul Maula ini untuk kembali ke indekos di Wates, Kulonprogo dan mengikuti kelas kuliah pukul sembilan nanti.



Penyunting: Lindu A.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *