Laut Bercerita Melukis Gejolak Despotik Era Reformasi

Sumber gambar: Dokumen Pribadi Penulis

Judul : Laut Bercerita

Penulis : Leila S. Chudori

Penerbit : PT Gramedia, Jakarta

Tebal Buku : 387 halaman

Cetakan : Pertama, Agustus 2022

*

Laut Bercerita adalah sebuah novel karya penulis Leila S. Chudori. Novel tersebut mengisahkan seorang mahasiswa program studi Sastra Inggris di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Mahasiswa tersebut bernama Biru Laut, dengan panggilan Laut. Novel ini menggunakan latar tahun 1998, masa Reformasi, yang mana saat itu banyak aksi yang dilakukan oleh mahasiswa kepada rezim pemerintah Orde Baru.

Laut merupakan tokoh utama dalam novel ini, dia awalnya hanya laki-laki biasa yang tergabung di organisasi Winatra dan Wirasena. Dalam mengisahkan kepada pembaca, novel ini menggunakan dua sudut pandang, yaitu dari sudut pandang Laut sebagai tokoh utama dan sudut pandang adiknya, yaitu Asmara Jati.

Laut sangat menggemari dunia sastra. Dia memiliki banyak buku sastra, baik sastra asing maupun sastra dalam negeri. Buku-buku karya Pramoedya Ananta Toer merupakan favorit Laut. Dia sangat menggemarinya, tapi sayangnya buku karya Pramoedya saat itu dilarang peredarannya oleh pemerintahan Orde Baru karena dianggap subversif. Ya, seperti kata Max Lane, buku-buku Pram “wajar” dilarang waktu itu karena mengajarkan tentang perlawanan.

Keinginan untuk membaca “buku terlarang” itu membuat Laut nekat untuk memfotokopi buku tersebut agar dahaga susastranya tergenapi. Itu pun bacanya juga harus sembunyi-sembunyi.

Fragmen lain dari novel ini yang sekiranya menarik yaitu kegiatan Laut dalam gerakan aktivisme. Laut dan teman-temannya gencar melakukan sebuah aksi untuk melindungi masyarakat yang dirampas haknya oleh pemerintah. Aksi itu mereka beri nama  aksi “Tanam Jagung di Blangguan”.

Kegiatan lain adalah saat Laut dan teman-temannya mengadakan diskusi. Mereka  sering mengadakan diskusi yang mereka sebut diskusi Kwangju. Diskusi ini juga awal dari sebuah pengkhianatan. Laut mulai mencurigai salah satu temannya, karena saat mereka sedang berdiskusi tiba-tiba datang intel dan menangkap Laut beserta 13 temannya. Namun Laut dan temannya yang lain tidak ada yang mengetahui siapa yang membocorkan diskusi mereka kepada intel. Beberapa anggota organisasi Winatra sudah mulai curiga kepada sosok Naratama, karena pada saat penangkapan dilakukan ia tidak pernah terlihat.

Momen yang cukup penting dalam novel ini adalah seputar aksi tanam jagung. Aksi yang sudah direncanakan oleh para anggota Winatra ini sayangnya harus gagal karena desa yang mereka tuju sudah dijaga ketat oleh aparat. Jika aksi tersebut tetap dilakukan maka akan membahayakan seluruh anggota Winatra dan juga para warga desa setempat.

Akhirnya, mereka semua menyusun strategi bagaimana agar mereka semua warga bisa keluar dari desa tersebut dengan selamat, tanpa ada yang tertangkap seorang pun. Mereka berpisah, ada yang ke Pacet, lalu ada yang ke Yogyakarta. Namun, saat strategi mulai dirasa berjalan mulus, ada sekelompok orang mencurigakan yang mengawasi keberadaan Laut, Alex, dan juga Bram. Benar saja, mereka bertiga pun akhirnya ditangkap, sementara yang lainnya kabur berpencar.

Laut, Alex, dan Bram diangkut ke suatu tempat semacam pangkalan militer. Di tempat itu, mereka bertiga diinterogasi. Mereka tidak hanya diinterogasi, tetapi juga diperlakuan secara tidak manusiawi, seperti disetrum, disiksa, diinjak, ditendang, dipukuli, dan dibiarkan tidur di atas balok es.

Tujuan dari penangkapan mereka bertiga sebenarnya hanya ingin mengetahui siapa dalang di balik organisasi Winatra dan Wirasena dan siapa yang mendalangi aksi yang mereka lakukan. Setelah kurang lebih dua hari mereka ditangkap, penyiksaan itu pun berakhir. Laut, Alex, dan Bram akhirnya dikembalikan ke terminal Bungurasih.

Setelah dikembalikan, mereka bertiga dijemput oleh kakak-kakak Anjani. Mereka menempati sebuah tempat yang aman di Pacet. Di sana mereka bertemu dengan Daniel, Anjani, Kinan, dan teman-teman lain yang sudah menunggu kedatangan mereka.

Singkat cerita, Laut dan teman-temannya disekap lagi oleh sekelompok orang yang tidak dikenal, tepatnya pada tanggal 13 Maret 1998. Sejak dua tahun lalu, anggota organisasi Winatra dan Wirasena sudah ditetapkan menjadi buronan karena dianggap berbahaya bagi pemerintah Indonesia.

Setelah penangkapan tersebut, awalnya hanya Sunu, Narendra, dan Mas Gala yang tiba-tiba menghilang. Kemudian sedikit demi sedikit, Laut dan teman-temannya juga ikut menghilang tanpa jejak. Sampai saat ini pun tidak ada yang tahu keberadaan mereka semua.

Penculikan, penyiksaan, sampai penghilangan yang dilakukan aparat kepada Laut dan kawan-kawan dalam novel ini sejatinya adalah realitas yang terjadi saat peristiwa Reformasi 1998 silam. Buku-buku sejarah yang membahas masa Reformasi sering memunculkan kisah-kisah muram itu, dan novel Laut Bercerita, meskipun fiksi, adalah upaya untuk mengingatkan kita akan sejarah kelam tersebut.

Terlepas dari isi cerita yang menarik, kamu perlu bersabar jika tidak terbiasa membaca novel dengan alur campuran. Saya sih membaca keseluruhan cerita di dalam novel ini perlu konsentrasi biar bisa tetap mengikuti plot ceritanya.

Selain itu, di bagian kedua novel ini, sudut pandang penceritaan berubah menjadi sudut pandang dari Asmara Jati, menggunakan latar tahun 2000, tepat dua tahun setelah Biru Laut dan teman temannya menghilang.

Banyak hal yang menyedihkan di bagian ini. Keluarga Laut yang masih selalu menganggap bahwa Laut masih ada bersama mereka, sang ibu yang masih selalu memasakan hidangan untuk Laut, dan bapak yang selalu menyiapkan peralatan untuk makan malam seperti piring-piring dan sendok. dengan kegetiran yang tertahan di kantung mata setiap malam.

Setiap Asmara berkumpul untuk makan malam, bapaknya  selalu menyediakan satu piring untuk Laut, bapak masih berharap bahwa Laut nantinya akan kembali ke rumah dan bisa makan bersama mereka lagi. Namun, itu semua tidak merubah apapun, Laut tetap hilang dan tidak akan kembali.

Tak tega melihat orang tuanya terus bersedih, Asmara dan teman-temannya pun memutuskan membentuk organisasi khusus untuk mengurus orang-orang yang hilang pada era itu, seperti Biru Laut, kakak Asmara yang tak kunjung pulang.

Kegiatan yang dilakukan kedua orang tua Laut saat makan malam dapat kita tangkap sebagai bentuk duka yang belum usai dari manusia, lebih lagi orang tua yang kehilangan anaknya. Betapa hidup manusia lain bisa begitu dipontang-pantingkan oleh manusia lain yang lebih “berkuasa”.

Begitulah ketika nurani manusia sudah mati.

Pengulas: Shafiqa Zahratun Nisa

Penyunting: Airlangga W.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *