Suara hentakan sepatu kepada anak tangga yang lirih kian menyeru. Lengkap dengan aksesoris ala penghulu, sekerumun hadir lalu duduk sesuai kehendak. Agak lama proses menunggunya, hingga memaksa diam sejenak sambil mengamati satu per satu gelagat sang agitator hadir. Ada yang membaur dengan kelompok yang sudah datang lewat say hei! hingga muka tebal terus duduk.
Mondar-mandir sang kondektur memastikan, sudah berpakaian ala penghulu? lengkap jumlahnya? oke, siap ijab. Pemuka dengan cekatan memulai agenda. Microphone dipegang tangan kanan dan tangan kiri memegang kertas, sesekali mata melirik ke hadirin, dialog satu arah pun dipraktikan.
Tiba saatnya nyanyian agung kebangsaan dan kampus berkumandang. Dirigen ke tempat yang disediakan dan meliuk-liuk tangannya dengan mimik ekspresif sesuai ruh bait. Indonesia Raya memang selalu menggetarkan dada, namun ada perbedaan rasa pada nyanyian berikutnya.
Himne sebagai nyanyian yang ditujukan untuk Tuhan atau Dewa memang selalu terasa khidmat. Baitnya menceritakan harapan ke depan atau keinginan yang diidamkan. Dalam konteks kekristenan, himne merupakan gabungan dari unsur musik, sastra, dan teologi.
Prelude menjadi pengantar. Bait “Karunia yang Maha Kuasa membimbing langkahmu” mengawali dengan nada berat sarat makna. Kerendahan menjadi arti dalam bait tersebut dengan tanda kampus perlu bimbingan dalam melangkah. Maha Kuasa disini bersifat multi arti, selain Sang Khalik, bisa juga diartikan rakyat. Istilah penguasa sejati bukanlah pemimpin, melainkan yang dipimpin yakni rakyat perlu kembali diingat. Mahasiswa jika tercantum dalam tataran struktur organisasi kampus seharusnya memiliki suara yang jadi pertimbangan kebijakan institusi. Berbagai lahan bisa dijadikan praktik seperti budgeting, program kampus, hingga paling mikro yakni kontrak kuliah.
Indah saat dibayangkan memang, apabila sistem tersebut diterapkan di lingkungan kampus, mengingat selama ini sudah jadi cerita kelam yang terkena sinar semu dari pihak luar. Realitanya, program-program yang digulirkan selalu minim minat, fulus puluhan juta mubah dan tidak jelas hasilnya, lha wong bikinnya saja tidak melibatkan mahasiswa (pemikiran-red). Beruntungnya, masih ada tempat untuk mahasiswa bebas bersuara walau diarahkan bukan lagi pada lahan tadi, melainkan fokus mbarang.
Impian “Membangun Indonesia menata dunia” menjadi lantunan bait berikutnya. Pembangunan sejati memang lahir dari pendidikan seperti ranah gerak kampus biru berslogan takwa, mandiri, cendekia. Sempat terbuai karena asyik berdiskusi dengan dosen terkait masalah-masalah Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) di Indonesia, timbul kesadaran dari perspektif lain. “Mengapa tidak melihat permasalahan utama dari banyaknya keluhan yang ada?,” tanyaku dalam benak diri. Semua yang telah dijadikan bahan obrolan kemarin semata-mata baru gejala akibat permasalahan utama. Apabila ujung-ujungnya guru yang menjadi kambing hitam seperti pada diskusi di kelas saya, munculah pikiran-pikiran nakal, terutama mencari sang aktor utama pencetak guru, pahlawan tanpa tanda jasa. Bisa ditebak kan siapa? Ada apa ya sebenarnya? Huehuehue.
Semangat berjuang dengan “Berlandaskan Pancasila budaya mulia” terdengar lirih dan bikin bulu kuduk merinding. Bicara Pancasila, setidaknya untuk mahasiswa dan pegawai sekalipun sudah dipastikan beragama semua, walau yang dikasih tempat ibadah maupun berekspresi semacam “UNY Bersholawat” oleh institusi cuma untuk mayoritas. Musyawarah dalam mengambil mufakat juga sudah terlaksana baik lewat instruksi jajaran pengurus kampus kepada mahasiswa. Perkataan kerabat kemarin bahwa “Mahasiswa itu statistik” ada benarnya juga. Bicara memanusiakan manusia atau tenar dengan kata ngewongke milik Jokowi pas kampanye, banyak indikasi-indikasi yang dapat ditemukan. Paling gampang, lihat saja kamar mandi di setiap sudut kampus, sudah cukup menjadi bukti penerapannya.
Aksen meninggi terdengar pada kalimat “Tuk mencapai tujuan bangsa sehat, cerdas, takwa.” Hal tersebut menunjukan ketegasan dan keseriusan lembaga mewujudkan sehat, cerdas, dan takwa. Bahkan, gambaran kelakuan dari ketiga kata tersebut sudah dikonsep sedemikian rupa oleh raja bersama abdi dalem-nya. Mereka yang menyuarakan kelakuan sesuai konsep akan ditimang-timang bagai anak kesayangan dan untuk yang kebalikannya, dianggap kurang sehat dan dibina lewat cara-cara spesial, seperti pemotongan dana organisasi misalnya. Apresiasi patut diberikan karena kesehatan yang dijamin itu menandakan kecerdasan dan ketakwaan pengurus kampus dalam bertindak. Hebatnya, segelintir mahasiswa kini juga ikut-ikutan bertindak sesuai konsepan raja dan abdi dalem-nya.
Nada kembali melirih saat bait “Mengembang panggilan suci” dinyanyikan peserta ijab. Suci, tidak ternoda, penuh pengorbanan baik materiil maupun non-materiil saat diperjuangkan menjadi landasan pengurus kampus mengemong generasi pendidik belajar berbagai ilmu. Lihat saja pers mahasiswa (persma) yang selalu cari latar belakang KTI-nya seputar isu-isu kampus, seharusnya pengurus patut bersyukur dan jembar atine bukan jadi pentol korek. Bagaimana tidak, mereka mencurahkan waktunya semata demi perbaikan kampus, tidak tanggung-tanggung, bayaran pun rela tidak mereka terima, kok malah dipotong dana belajarnya. Beda sekali dengan yang suka mbarang, manis di depan banyak orang, namun hanya terasa diujung lidah penonton saja. Ilmu yang didapatkan nyaris tak ada yang dibagikan, jadi ya pinter-pinter dewe istilah jawanya. Paling bikin ‘nyeh’, dana belajar mereka malah makin meroket saja. Kesucian macam apa yang diyakini oleh kampus, hingga pengorbanan dilakukan tanpa sadar akan dosa itu?
Setiap kata per kata, tangga nada makin meninggi, kalimat “Dharma baktimu amalkan ilmu” menjadi penuh tanda tanya. Berupaya menyatukan pandangan bahwa prestasi adalah Program Kreativitas Mahasiswa atau juara internasional, masih tetap saja ada yang ngeyelan. Dosen saya pernah berkata, beda itu perlu, supaya pemikiran kita lebih kaya, mungkin dianggap pengurus kampus sebagai negative thinking. Pola pikir melihat perbedaan sebagai positive thinking belum dicapai oleh mereka. Setiap orang memiliki caranya sendiri untuk mengamalkan ilmu, tidak bisa disamakan, lha wong mengajar saja harus mengidentifikasi setiap muridnya seperti yang disampaikan pada kuliah microteaching. Eh, malah suruh persma buat ikut-ikutan mbarang sama percepatan menulis skripsi. Dalam batinku ingin ngandani dengan halus ditelinganya, silahkan ciptakan Unit Kegiatan Mahasiswa Percepatan Skripsi.
Kalimat terakhir yang dinyanyikan adalah “Universitas Negeri Yogyakarta, Semoga tetap berjaya.” Rasanya sudah malas duluan untuk menguliti, karena diprediksi bakal beribu-ribu kata yang bakal tertuang hanya dari enam kata, biar setiap orang saja yang menyimpulkan. Himne dinyanyikan dua kali dan mulut saya tetap tertutup sambil merenung. Terselip doa saat merfleksikan diri, semoga himne yang agung dan suci ini paham diakal lalu masuk ke hati. Semua yang telah dituliskan diatas bisa jadi referensi untuk memahami, tapi ingat, itu buah pemikiran saya sendiri. Selamat bernyanyi dalam senda gurau!
2 Responses
Bisa menjadi pegangan akan sebuah pandangan, himne dibuat, bisa digunakan untuk semangat gerakan, tapi dalam memaknai kadang bisa berbeda,
Oke, hanya sebatas refleksi saja kok dari kalimat yang universal itu. Hehehe