Sumber gambar: masirul.com
“Pokoknya kalian harus fokus pada karya tulis ilmiah. Kalian juga harus ikut membantu mahasiswa-mahasiswa dalam mengerjakan skripsi. Kalian ini organisasi mahasiswa yang bergerak dalam bidang tulis menulis,” begitu kata salah satu birokrat kampus yang sampai saat ini masih ngotot dengan pendiriannya untuk mengubah fungsi dan peran pers mahasiswa. Kalimat di atas masih menggema jelas dalam ingatan saya, bukan karena sangat bijak, melainkan kalimat tersebut selalu dikatakan setiap saya bertemu dengannya, di manapun, dalam kegiatan apapun. Pernah saya berusaha menjelaskan peran dan fungsi pers kampus, supaya tidak melulu disamakan dengan organisasi yang suka mbarang (berburu piala-red). Namun semuanya mentah, usaha saya untuk memberikan pencerahan dan mengeluarkannya dari pola pikir sesat sama sekali tidak membuahkan hasil.
Ada pepatah mengatakan orang yang paling rugi adalah mereka yang dungu, sedangkan orang yang paling celaka adalah mereka yang sudah dungu ngeyelan pula. Saya pikir birokrat kampus tersebut sudah masuk ke dalam kategori celaka. Karena itu, saya selalu berusaha mencerdaskannya, baik dengan cara-cara halus, sampai dengan cara-cara yang sangat halus. Saya memaklumi, beliau pasti kurang membaca, kalaupun membaca pasti tidak lebih dari proposal karya tulis ilmiah, proposal kegiatan, mentok berita kriminal di media-media bayaran. Wajar, beliau orang sibuk, mana ada waktu untuk sekadar membaca buku, apalagi berburu buku di Shoping, Terban, toko buku bekas, atau pameran di berbagai toko buku lainnya seperti yang sering dilakukan kawan-kawan persma. Kadang saya lelah juga berurusan dengan para jamaah pentol korekiyah seperti mereka, karena digesek sedikit saja langsung terbakar. Tapi karena cinta dan kasih yang tulus kepada mereka membuat jalan jihad ini terasa ringan. Benar kata para pujangga, cinta membuat semua menjadi indah, bahkan hal yang paling kelam sekalipun.
Kembali ke judul, saya rasa sudah cukup panjang prolognya, cukup sudah basa-basinya. Sebenarnya saya tidak mau terlalu peduli dengan lomba atau piala yang tampaknya telah menjadi ideologi beberapa birokrat kampus. Akan tetapi makin ke sini, kesesatan pola pikir tersebut makin parah, terlalu jauh sudah mereka tersesat. Karena itu, saya sebagai “anak” merasa terpanggil untuk membawa kembali orang-orang demikian ke pola pikir yang sehat. Baiklah, saya akui ada sisi positifnya perlombaan-perlombaan yang diikuti kampus, salah satunya adalah untuk mendongkrak nama kampus, kemudian, emmm, saya tidak bisa menyebutkan lagi, ya sudahlah ya.
Saya juga mendukung kampus mengikuti perlombaan-perlombaan di berbagai bidang, asalkan sesuai dengan porsinya. Maksudnya tidak usah terlalu ngoyo, semua mahasiswa harus ikut lomba, semua organisasi mahasiswa harus berorientasi pada piala, Pak, ngono yo ngono, nanging ojo ngono-ngono. Begitu boleh saja, tapi jangan begitu-begitu banget lah. Bukannya Tuhan juga tidak menyukai sesuatu yang berlebihan? Maaf lho, bukan bermaksud menceramahi, dalam urusan agama saya yakin Anda jauh lebih pandai.
Saya pikir apa yang dilakukan birokrat sudah keterlaluan, sangat membatasi mahasiswa untuk berkreasi sesuai dengan bidangnya, memaksa semua untuk seragam. Benar-benar telah melenceng dari trah Ki Hajar, dimana pendidikan haruslah bersifat memanusiakan manusia atau humanisasi, bukan malah dehumanisasi. Begitupun dengan yang diajarkan Paolo Freire. Organisasi mahasiswa memiliki nama yang berbeda-beda karena peran dan fungsi yang berbeda-beda pula. Jika semuanya diseragamkan, lalu untuk apa lagi ada lembaga A, ormawa S, dan UKM U. Sekali lagi Pak, Tuhan itu sengaja menciptakan mahluknya secara berbeda-beda, mengapa? Supaya bisa saling melengkapi satu sama lain. Jika ada orang yang berusaha untuk menyeragamkan semua, itu artinya dia telah makar atas kuasa Tuhan. Na’udzubillah Pak.
Silakan kampanye berbagai bentuk perlombaan, tapi jangan pernah paksa mereka yang tidak berminat untuk berlomba, dan memiliki passion berbeda. Cukup satu lembaga saja yang peran dan fungsi utamanya telah terdistorsi, yang kini lebih dikenal dengan ormawa spesialis lomba daripada ormawa yang melakukan riset dan eksperimen untuk memecahkan berbagai permasalahan di masyarakat. Jangan paksa ormawa yang berorientasi pada keimanan dan ketaqwaan mahasiswa untuk ikut berubah menjadi ormawa pemburu piala. Jangan paksa lembaga yang berorientasi pada peningkatan rasa cinta kepada alam semesta untuk ikut-ikutan mbarang di berbagai ajang kompetisi. Jangan paksa UKM yang berperan sebagai kontrol sosial untuk ikut-ikutan menjadi pabrik piala dan medali. Mereka berdiri bukan untuk mengalahkan siapapun, bukan untuk berlomba dengan siapapun, bukan untuk berada di atas siapapun. Mereka berdiri membawa ideologi dan perannya masing-masing, tidak mencari kemenangan tapi juga pantang untuk kalah. Lawan mereka adalah mereka sendiri, menjadi lebih baik dari kondisi sebelumnya adalah prioritas utama, karena musuh terbesar seseorang sejatinya adalah diri mereka sendiri, begitupun dengan organisasi.
Yang masih mengherankan saya sampai saat ini, sebenarnya apa yang membuat para birokrat itu sangat gila dengan yang namanya lomba? Apakah demi mewujudkan visi kampus yang “Taqwa, Mandiri, Cendekia” itu? Lalu seberapa besar pengaruh lomba-lomba yang sudah diikuti atas ketaqwaan mahasiswa dan semua civitas akademika? Mengapa budaya copy paste masih sangat subur di kalangan mahasiswa meski sudah melanglangbuana melakoni berbagai kompetisi, di mana aspek kemandirian yang dimaksud? Cendekia? Omong kosong jika untuk berpikir saja dibatasi, padahal kemerdekaan yang hakiki mesti berawal dari kemerdekaan berpikir. Namun mengemukakan pendapat yang berbeda sedikit saja sudah dituduh subversif.
Atau untuk mewujudkan cita-cita luhur yang termuat dalam himne UNY, yang ditafsirkan oleh musuh bebuyutan saya sejak maba Edwin Widianto dalam artikel Senda Gurau Lirik Himne. Memang sih, hasil tafsirnya tidak sahih, sebab sanad-nya tidak langsung pada pencipta himne tersebut. Namun saya pikir penafsiran tersebut cukup masuk akal dan dapat dipertanggungjawabkan, sebab telah melewati proses dialektika yang cukup panjang, untuk konteks ini saya sepakat dengan musuh saya tersebut. Sayangnya dalam himne UNY maupun hasil penafsiran tersebut, sama sekali tidak disebutkan kata lomba maupun yang berhubungan dengannya, baik secara tersurat maupun tersirat. Dari kajian sederhana ini saya bisa menyimpulkan, bahwa obsesi terhadap perlombaan tersebut sama sekali tidak ada hubungannya dengan usaha mewujudkan cita-cita yang termuat dalam himne UNY.
Lalu saya mencoba memutar otak, berusaha untuk lebih memahami pola pikir para birokrat kampus tersebut. Ada kemungkinan lain yang saya dapatkan, tapi saya tidak berani menjamin kebenaran dugaan ini. Kemungkinan tersebut adalah adanya usaha menjilat atasan, bagaimanapun birokrat pasti punya atasan yang tidak lepas dari bermacam kepentingan. Menjilat ini bisa karena demi sebuah bonus yang dijanjikan, atau supaya tidak ditendang dari kursi jabatannya. Apapun instruksi atasan pastilah akan dipatuhi, istilah orba-nya “asal bapak senang”. Demi menyenangkan hati atasan, mereka bersedia melacurkan intelektualitas mereka pada kesesatan-kesesatan yang sangat memalukan. Tapi sekali lagi ini hanya sebuah dugaan, saya sendiri tidak berani menjamin kebenarannya, sebab klarifikasi kepada pihak terkait belum sempat saya lakukan.
Saya kira sudah cukup panjang tulisan yang arahnya tidak jelas ini, bukan karena saya pandai berwacana, tapi karena saya selalu menemui masalah untuk menyimpulkan dan mengakhiri sesuatu yang telah saya mulai. Saya tidak akan menyimpulkan apapun dari tulisan ini, karena memang tidak ada yang perlu disimpulkan. Terserah pembaca bagaimana menanggapi tulisan ini, saya sendiri tidak yakin bisa lolos seleksi untuk diterbitkan di wartafeno.com. Intinya saya pribadi tidak menolak berbagai macam kampanye perlombaan, tapi saya juga tidak mendukung. Seperti yang saya katakana di atas, asalkan tahu porsinya saja, karena apapun yang berlebih pasti tidak akan menjadi sebuah kebaikan. Bahkan di mata wanita, terlalu baikpun menjadi sebuah masalah.
Jika ditanya mengapa saya kurang antusias dengan segala bentuk perlombaan, itu karena hidup saya terlalu berharga untuk mengikuti perlombaan-perlombaan materialistis macam itu. Hakikat perlombaan bagi saya adalah menghadapi diri sendiri, karena sesuatu yang paling penting untuk dikalahkan sejatinya terletak dalam diri manusia itu sendiri. Saya tidak mencari kemenangan atas siapapun, tapi juga pantang dengan kekalahan. Tidak usahlah ormawa-ormawa itu dipaksa untuk sejalan semua, biarkan mereka berkembang sesuai dengan ideologi, peran, dan fungsinya masing-masing. Saya yakin kok, mereka tidak akan menyebarkan ajaran yang dapat membangkitkan PKI. Mereka sudah cukup dewasa, sudah berdiri sejak belasan tahun yang lalu. Bukan ormawa karbitan kemarin sore yang tidak ideologis, sehingga gampang disetir oleh berbagai kepentingan. Selama tidak ada tindakan kriminal yang diperbuat, biarlah mereka berkembang menjadi manusia yang seutuhnya.
1 Response
Tulisan yang sangat bagus untuk mengingatkan kembali akan peran kampus sebagai sarana pengembangan dan berekspresi bagi semua bakat dan potensi.