Jika kemarin-kemarin sempat booming tulisan Afi Nihaya berjudul Warisan di akun facebooknya, kali ini saya juga menulis hal yang sama tentang warisan tapi bukan masalah sosial politik maupun agama, melainkan urusan perut. Berkulit cokelat seperti sisik ular, jika dikupas ternyata kulitnya tajam, apalagi kalo bukan salak, buah asli Indonesia. Salak yang bernama ilmiah Salaca zalacca ini dapat tumbuh di tanah subur, gembur, dan lembab pada ketinggian 100 sampai 500 m dpi. Indonesia yang terdiri dari cukup banyaknya dataran tinggi, memiliki potensi tumbuhnya buah salak. Dilansir dari laman metrotv.com ternyata Indonesia masuk peringkat ke lima megara produsen salak terbesar untuk wilayah Asia Tenggara dan Asia Selatan. Sebuah prestasi bukan? Tetapi buat apa prestasi diluar, jika di dalam saja masih kurang mendapat apresiasi. Seperti kampus saya yang hanya haus pencitraan saja, eh
Disini saya akan memperkenalkan salah satu tokoh penting yang berjasa memberi nutrisi bagi tubuh, yaitu Pak Kamidi petani salak asal Turi Sleman Yogyakarta. Mungkin beberapa dari kalian sudah mengenal dekat dengan petani salak yang ampuh dan canggih soal tanam menanam salak. Tapi saya disini hanya ingin mengapresiasi petani salak melalui tulisan (red-karena hanya ini yang bisa saya lakukan) dan memberikan sedikit bukti bahwa salak merupakan salah satu buah yang masih digemari masyarakat melalui pengalaman dari Pak Kamidi.
Cerita dimulai sewaktu Pak Kamidi masih kecil, ayahnya hanya menanam 25 pohon salak dibelakang rumah yang luasnya kurang lebih 1500 meter. Pohon salak ini seperti pohon kelapa yang terus berbuah dalam jangka umur relatif lama kurang lebih sekitar 30 tahun. Setelah umur 30 tahun lebih, biasanya pohon akan tumbang. Saat itulah akan muncul tunas baru dan dapat berbuah lagi. Jangka waktu tumbuh tunas sampai benar-benar menghasilkan salak berkualitas biasanya 2 sampai 3 tahun. Pak Kamidi mempelajari cara merawat pohon salak secara otodidak. Hanya lewat membantu ayahnya bertani salak. Setelah ayahnya tidak dapat merawat pohon salak, pekerjaan ayahnya digantikan oleh Pak Kamidi dan saudara-saudaranya.
Sampai saat ini Pak Kamidi telah memiliki 3 area kebun salak dengan luas masing-masing lokasi kurang lebih 1000 meter. Dalam satu area yang berukuran 1000 meter standarnya hanya ditanami salak 250 batang dengan jarak 1 meter. Kini Pak Kamidi tidak menerapkan standar tersebut, karena semakin banyak tunas yang tumbuh dan luas area yang sama. Namun, hal tersebut tidak mengurangi kualitas buah, hanya saja pohon terlihat semakin berdesak-desakan dan cahaya matahari menjadi sedikit yang masuk.
Cara perawatan pohon salak ini cukup dibilang mudah, yaitu pangkasi dan bungai. Pangkas yakni memangkas pelepah pohon yang jelek dan lebih dari satu jengkal, sedangkan bungai ialah proses penyerbukan, mengambil bunga dari pohon pejantan kemudian diletakkan pada bunga pohon betina. Walaupun didalam bunga sendiri sudah terdiri dari pejantan dan betina, seringkali proses penyerbukan secara alami kurang maksimal. Sehingga perlu adanya penyerbukan buatan untuk membantu agar buah yang dihasilkan dapat lebih bagus. Selama melakukan perawatan pohon salak, Pak Pak Kamidi tidak memerlukan biaya perawatan. Maklum saja, karena ia hanya seorang diri merawat kebun salaknya. Pupuk pun jarang dipakai selama 15 tahun yang lalu, baru tiga tahun belakangan ini Pak Kamidi memberikan pupuk kambing hasil pemberian orang untuk kebunnya. Karena semakin banyak pohon salak dan area yang tidak bertambah. Jadi dirasa perlu nutrisi tambahan bagi pohon salaknya.
Dari berbagai macam jenis salak di nusantara ini, Pak Kamidi memilih salak super sebagai pengisi kebunya. Untuk membandingkan dengan jenis salak lain, dikebun Pak Kamidi sendiri ditanam beberapa jenis salak seperti Salak Madu, Pondo, dan Lumut. Saat panen ternyata Salak Super jauh lebih bagus buahnya, selain itu mudah juga dalam perawatannya. “Pohon salak madu sangat lemah, rapuh dan tidak kokoh. Berbuahnya tidak seperti salak yang lain, dalam satu tahun hanya berbuah 2 kali,” ujar Kamidi menerangkan. Setiap harinya Pak Kamidi dapat memanen salak hingga 50 kilogram, dan membutuhkan waktu panen sekitar tiga sampai empat jam. Hasilnya dijual ke tengkulak dengan harga empat sampai lima ribu perkilonya. Salak-salak itu nantinya akan didistribusikan ke beberapa kota seperti Solo, Sragen, Surabaya dan terjauh di China.
Olahan buah salak pun kini makin beraneka ragam, mulai dari manisan, dodol, sampai dengan keripik. Namun, Pak Kamidi tetap memilih menjadi petani saja karena merasa belum mampu untuk mengolah dan masih khawatir dalam pendistribusiannya. Lepas dari itu, Pak Kamidi juga pernah mengalami pasang surut. Menurutnya, sebelum era reformasi hidup sebagai petani salak dapat dikatakan sejahtera. Seiring berjalannya waktu, harga kebutuhan pokok terus membuncit, harga buah salak pun masih stagnan. Maka dapat dikatakan bahwa hidupnya kini pas-pasan. Kendala yang lain, jika musim hujan datang, susah untuk bermobilitas melakukan perawatan karena jalan menjadi licin. Pernah terjadi juga, tanah disekitar pohon salak diserang oleh hama uret yang susah sekali dibasmi.
Menurutnya, perhatian dari pemerintah terhadap petani salak dulu sering ada. Seperti penyuluhan terkait perawatan kebun salak, pengolahan buah salak, dan yang kini masih berjalan hanya subsidi pupuk.
Harapan dari Pak Kamidi yaitu, ingin menjadikan buah salaknya organik, karena sempat ada yang menawari kerjasama untuk menjadi supplier tetap di rumah makan dengan syarat harus seratus persen organik. Namun hal tersebut menjadi tantangan baginya. Menurut Pak Kamidi, walaupun dulu tidak pernah diberi pupuk baik kimia maupun kompos, kandungan air yang menggenang disekitar kebun salak itu sudah tercemar bahan kimia hasil limbah rumah tangga. Sehingga salaknya tidak dapat dikatakan organik, karena pernah ada penelitian bahwa air yang menggenang tersebut menggandung zat kimia.
Saya tidak bercerita tentang manfaat salak bagi tubuh jika kita sering mengkonsumsinya, kalian bisa mencari di google saja, sudah banyak artikel yang membahasnya. Disini saya hanya memaparkan kehidupan petani dikawasan lereng Gunung Merapi yang dianugrahi tanah subur, sehingga dapat menanam berbagai macam kebutuhan pangan dan menghidupi banyak orang. Bagi sebagian umat menganggap apapun dapat dimiliki asalkan punya uang, tapi lama-kelamaan jika profesi petani mulai berkurang dan lahan mulai menipis, uang yang dimiliki semakin tak berarti.