Sebuah Renungan Di Malam 17 Agustus

Oleh : Ithak

 

72 tahun yang lalu malam ini adalah malam sebelum Indonesia merdeka, malam dimana orang-orang membumbungkan harapan dan segala cita pada kemerdekaan. Kita semua memahami sejarah bahwa Indonesia merdeka setelah beratus-ratus tahun dijajah oleh kaum imperialis. Kita tentu juga tahu dengan pasti bagaimana Soekarno membaca teks proklamasi dan dengan itu Indonesia menyatakan diri merdeka.

Saat ini kita mengadakan perkumpulan untuk mengenang 72 tahun Indonesia merdeka. Dan tentunya perkumpulan ini harusnya bukan hanya sekadar formalitas atau kegiatan tahunan, melainkan suatu cara untuk kita semua memperbaharui dan menambah cinta kita pada Indonesia. Terutama sekali untuk anak-anak dan para remaja, rasa cinta tanah air sudah seharusnya ditanamkan, sehinga ketika mereka dewasa mereka akan mengingat bahwa Indonesia adalah rumah mereka, dan semestinya mereka bangun dengan suka cita. Jangan sekali-sekali mengkhianati negera ini, karena kita semua dilahirkan di atas tanah Indonesia, dan sudah semestinya kita tidak boleh sama sekali lupa.

Angin berhembus menyapu wajah kita dan udara dingin malam ini membuat kita ingin masuk rumah dan minum kopi dengan segera. Hei. Kita mengadakan perkumpulan ini setahun sekali, memanjatkan doa untuk para pahlawan, mengenang perjuangan mereka, sehingga hari ini kita makan tiga kali sehari. Hei, kita mengadakan doa ini, renungan ini hanya satu kali dari 365 hari. Dan kau masih saja bergurau dengan teman disampingmu. Kau masih saja berpura-pura lupa dengan memainkan gadgetmu, hei. Kau masih saja menelan makananmu dengan santainya. Dimana rasa cinta tanah airmu? Dimana rasa hormatmu pada malam yang sengaja kita sucikan untuk mendoakan para pendahulu kita, para pemberani yang rela mati demi satu kata. Merdeka!

Saya disini bukan meminta saudara-saudara untuk menangis, bukan meminta saudara-saudara untuk menunduk, tapi kenyataanya saudara-saudara tidur. Saya disini hanya ingin kita semua kembali kepada nurani kita. Kembali pada nasionalisme yang menggelora, karena saat ini kita saksikan banyak sekali orang-orang yang ingin Indonesia hancur, ingin Indonesia saling memusuhi kepada saudaranya. Kita ini Indonesia, dari sabang sampai merauke kita Indonesia. Kita semua Pancasila, dan sudah semestinya menjadi pribadi yang pancasilais.

Ibu pertiwi saat ini diambang kehancuran, dan kau masih berpikir berapa jumlah follower instagrammu, hai anak muda?. Saya tidak tahu mesti tertawa atau menangis. Saat ini ibu pertiwi membutuhkan pemuda untuk melawan kesewenang-wenangan para tirani yang memakan uang rakyat itu. Kita membutuhkan pemuda untuk karyanya agar Indonesia tidak lagi dipandang sebagai negara bodoh yang hanya bisa konsumtif. Kalau kita semua kembali pada apa yang dikatakan Soekarno, pemuda yang sudah berumur 21-22 tahun tetapi sama sekali tidak berjuang, tak bercita-cita, tak bergiat untuk tanah air dan bangsa, pemuda begini pantasnya digunduli saja kepalanya.

Kepada ibu pertiwi seharusnya kita persembahkan segala apa yang terbaik dari kita semua, apapun profesi dan status kita, kita semua wajib untuk membela tanah air. Mencintai tanah air dengan segenap perasaan kita. Mari kembali dan mencintai Indonesia. Kekaguman kita pada tanah Indonesia setiap incinya seharusnya kita wujudkan dengan menjaganya, dengan melestarikan dan membuat pembaruan yang seharusnya, bukan merusak apalagi menghilangkan.

Kembali pada tanah tempat kita lahir, dan bersama-sama memberikan yang terbaik. Saya dan kita semua adalah rakyat Indonesia, warga negara Indonesia, mari menanamkan nasionalisme yang sehat pada anak-anak kita mengajak saudara-saudara kita yang lain untuk mengabdi paada tanah air ini. Sebuah puisi dari Sapardi Djoko Damono, untuk kita mengingat bahwa kita adalah milik Indonesia

Selamat Pagi Indonesia

Selamat pagi Indonesia, seekor burung mungil mengangguk dan bernyanyi buatmu
Aku pun sudah selesai, tinggal mengenakan sepatu dan kemudian pergi
Untuk mewujudkan setiaku padamu dalam kerja yang sederhana
Bibirku tak biasa mengucapkan kata-kata yang sukar
Dan tanganku terlalu kurus untuk mengacu terkepal
Selalu kujumpai kau diwajah anak-anak sekolah, dimata perempuan yang sabar
Ditelapak tangan yang membatu para pekerja jalanan
Kami telah bersahabat dengan kenyataan untuk diam-diam mencintaimu
Pada suatu hari nanti tentu kukerjakan sesuatu
Agar tak sia-sia kau melahirkanku
Seekor ayam jantan menegak dan menjeritkan salam padamu
Kubayangkan sehelai bendera berkibar di sayapnya
Aku pun pergi bekerja, menaklukakan kejemuan, merubuhkan kesangsian
Dan menyusun batu demi batu benteng ketabahan
Benteng kemerdekaanmu pada setiap matahari terbit, o anak jaman yang megah
Biarkan aku memandang ke timur untuk mengenangmu
Wajah-wajah yang penuh anak-anak sekolah berkilat
Para perempuan menyalakan api, dan ditelapak tangan para lelaki yang tabah
Telah hancur kristal-kristal dusta, khianat, dan pura-pura
Selamat padi Indonesia, seekor burung kecil memberi salam kepada si anak kecil; terasa benar, aku tak lain milikmu..

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *