Oleh : Rani Timur M
Panas terik mentari mulai memantul di atas batu dan baja yang tercecer dipinggiran Malioboro pagi itu, dengan keheningan yang mulai pudar mengisyaratkan bahwa kehidupan mulai kembali bergulir. Diantara lampu kota yang mati, berjajar pula mereka para priyai yang mengais rejeki dengan becak sepeda yang mulai usang atau andong tradisional dengan cat pudar dibeberapa tepi.
Saya dan 3 orang lainnya berniat untuk melakukan reportase sejenak mengenai beberapa perkara yang ada disekitaran Malioboro. Pada saat tiba di tempat, kebimbangan sempat melanda mengenai apa yang hendak kami angkat, pertanyaan apa yang akan diajukan dan siapa narasumber yang menjadi target. Maka bangku kosong menjadi begitu menarik untuk diduduki sembari memikirkan apa – apa yang harus dipersiapakan sebelum kami wawancara.
Sejatinya dari keempat orang itu hanya saya dan seorang teman yang akan melakukan reportase, Vanda namanya. Kami berdua berjalan menyisisr jalan Malioboro berbekal 2 handphone, 2 pena dan 2 lembar kertas bertuliskan pertanyaan random yang kami buat tadi. Sebelum mencari narasumber kami memutuskan dahulu siapa yang akan menjadi sumber utama kami.
Maka target yang pertama adalah kusir andong. Disana Vanda memberi pertanyan sesuai tema yang ia usung sedang saya mempertanyakan tentang perkara yang saya usung tentunya. Dengan 2 sumber yang berbeda.
Pada reportase pagi itu saya mengangkat tema kesenjangan antara trasnportasi tradisional dengan trasnportasi online. Ketika era kian berkembang maka segala yang berkaitan dengan aktivitas manusia melaju bersamanya. Semua coba dipermudah. Termasuk trasnportasi. Lihat saja untuk memesan suatu transportasi kita dapat melakukannya sembari merebahkan diri di ranjang.Mudah.
Disamping kemudahan itu ternyata ada mereka orang – orang yang nelangsa. Mereka yang tidak tahu apa – apa namun menurun upahnya secara berkala. Diantaranya mereka yang mengayuh becak dan menarik andong.Mereka merasa setelah ada transportasi online yang kian menjamur masyarakat lebih memilih untuk berpindah haluan. Padahal mereka mencari makan dan memenuhi kebutuhan dengan mengayuh becak dan menarik andong. “Sebenarnya ndak papa,tapi ya penghasilan berkurang,”Ujar Udin salah satu pengayuh becak disana.
Selain penurunan upah terdapat kesenjangan lain.Yakni mereka merasa pemerintah dan aparat pilih kasih, tak terkecuali masyarakat yang secara tersirat seakan mengesampingkan keberadaan mereka. Meski tidak semua tetap saja memberi pengaruh cukup. Misal saja ketika mereka hendak parkir ditepi jalan ada saja yang menyuruh mereka pergi bahkan ketika mereka hendak berhenti sejenak tetap saja ada pihak yang mengusir, sedang para pengendara transportasi online bisa bebas berhenti tanpa ada yang mengeluh.
Ditambah lagi ongkos yang mereka tawarkan dirasa terlalu mahal dibandingkan transportasi online. Dengan itu tentu saja masyarakat lebih memilih trasnportasi online. Apa lagi dari segi fasilitas dan kenyaman jangan ditanya lagi. Promo – promo yang ditawarkan juga menjadi daya tarik. Boro – boro memberi promo harga mereka sudah ditawar tanpa peri kemanusiaan.
Sudah ada upaya untuk mengatasi masalah ini dari paguyuban yang mereka punya hanya saja tetap ada kendala terhadap pihak atas.”Online yang menguasai putra dalem jadi tidak ada yang berani menghilangkan,”ungkap Mudiyono salah seorang penarik andong yang selama saya wawancarai mengungkapkan semua keluh kesahnya. Ia hanya bisa berharap semoga akan ada penanggulangan terkait masalah ini.