Malioboro di Mata Pedagang dan Wisatawan

 Oleh : Yusuf Setyoko

Entah sudah berapa kali saya mengunjungi tempat ini, mulai dari study tour sekolah hingga setelah saya diterima di salah satu perguruan tinggi negeri di kota yang melegenda ini. Pesona Malioboro seolah tidak pernah habis, dan kini dengan berbagai pembaruan semakin menambah kemolekannya.
Berlokasi di kota pelajar, Malioboro semakin mempercantik dirinya. Selasa (21/5/2018) saya berkunjung kesana, bersama teman-teman anggota LPMT Fenomena UNY dalam acara pembuatan kartu pers untuk anggota baru.
Malioboro mulai terlihat ramai ketika akan menjelang malam, yakni mulai dari pukul 17.00 WIB. Banyak dari pedagang yang sibuk menggelar lapaknya untuk berjualan. Mulai dari kuliner, pakaian, hingga aksesoris dapat kita jumpai di Malioboro. Wisatawan pun nampaknya juga mulai ramai lalu-lalang.
Banyak cara untuk menikmati sore di Malioboro. Ada wisatawan yang sekedar duduk-duduk di kursi pedestrian Malioboro, ada yang sedang berbelanja oleh-oleh khas Malioboro, ada juga yang sedang asyik melihat musisi jalanan di Malioboro beraksi.
“Fasilitasnya sekarang jadi lebih baik,” ujar Nofi, salah satu wisatawan dari Palangkaraya, Kalimantan Tengah. Ia merasa kini Malioboro semakin cantik, setelah kunjungan pertamanya ditahun 2016 lalu. Kursi-kursi tempat duduk, bola bola silver, air minum gratis hingga patung harimau di pedestrian semakin menambah ke-eksotisan Malioboro.
“Sekarang Malioboro sudah banyak dikenal wisatawan lokal maupun mancanegara,” pungkas Mifta, salah satu wisatawan dari Gunung Kidul.
Kami juga sempat berbincang dengan Rudi, salah satu penjual di Malioboro. Beliau sudah berjualan dijalan penuh kenangan ini sejak 1989. Ia menjadi saksi berbagai perubahan di Malioboro. Baginya Malioboro ini identik dengan Indonesia mini.
“Karena Malioboro itu identik dengan Indonesia mini, banyak latar belakang budaya. Mereka datang dari mana saja, ada yang dari Sumatera, Madura, Jawa Timur, Indonesia Timur, tentunya secara kultural Maliboro lebih beragam.” Ujar Rudi. Namun menurutnya, karena banyaknya pendatang dari berbagai daerah, kini mulai memunculkan persaingan yang tidak sehat.
“Yang lebih terasa lagi adalah dari segi ekonomi, karena mereka lebih ke arah kalkulasi duit. Persaingan yang semakin banyak mungkin mendorong persaingan yang tidak sehat bagi sesama pedagang” Pungkas Rudi. Menurutnya ini lebih ke arah pergeseran nilai.
“Pada saat dulu ketika dagangan itu menutupi dagangan tetangga, ada rasa budaya “ewuh-pekewuh”. Kalau sekarang itu lebih cenderung kalau dagangan tetangga itu nggak ditutupin supaya dia laku sendiri, itu nggak lega kayaknya. Ini hanya masalah pergeseran nilai saja.” Ujar Rudi.
Menurutnya walaupun terjadi persaingan yang tidak sehat namun belum pernah terjadi gejolak antar sesama pedagang. Karena walaupun memiliki latar belakang dan kebudayaan yang berbeda-beda, tapi mereka memiliki satu kesamaan, yaitu sama-sama cari hidup dan cari makan, itu yang membuat mereka tetap bersatu.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *