Nyai Ontosoroh, Kartini, dan Melupakan Feminisme

Oleh : Ithak

Sepertinya sekarang wanita-wanita muda Indonesia mesti belajar dari Nyai Ontosoroh tokoh dari Bumi Manusia karya Pram. Tentu bukan untuk menjadi gundik, melainkan belajar menjadi pribadi cerdas dan mandiri, paham bahwa seorang wanita tidak perlu berkalang lelaki namun bukan berarti tidak membutuhkan cinta seorang pria.
Sekarang ini dimana-mana yang saya temukan hanya seorang wanita yang mimpinya soal bagaimana pernikahannya, warna gaunnya, dan lebih cepat siapa diantara ia dan temannya. Sungguh wanita-wanita ini bagi saya perlu membaca Bumi Manusia dan belajar pada sosok Nyai Ontosoroh. Kalau malas untuk membaca bisa menonton filmnya, tapi saya tidak menjamin akan memilki kualitas yang sama dengan apa yang ditulis Pram.
Kalau kemudian mereka beralasan bahwa itu merupakan ibadah, maka menjadi relawan juga masuk kategori ibadah, menjadi pengajar di perbatasan juga ibadah. Jangan hanya mengatasnamakan ibadah. Atau apa saja, seperti; Saya ini cuma buruh kalau tidak menikah apa yang saya akan lakukan.” Anda memang tidak akan melakukan apa-apa karena tidak pernah berpikir apa-apa.
Dengan begini maka saya berpikir untuk yang terburuk bahwa 10 tahun mendatang mungkin pemerintahan akan kembali hanya diisi oleh lelaki. Percuma perjuangan kaum feminis dulu yang terus mengikis budaya patriarki dan sebagainya kalau perempuan muda sekarang hanya mikir menikah. Tidak mau berpikir lebih jauh atau pembaruan pada hal-hal umum. Sebelumnya saya sampaikan sedikit soal feminisme.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Feminisme ialah gerakan wanita yang menuntut persamaan hak sepenuhnya antara laki-laki dan perempuan. Perempuan pertama yang menulis tentang hak-hak dan kewajiban seksualnya adalah Cristine de Pisan (1364-1430). Ide tentang feminisme ini kemudian berlanjut sampai abad ke-17 M, ditandai dengan gerakan protes sekuler yang dilancarkan oleh kalangan feminis melalui tulisan-tulisan dengan nama samaran.
Perkembangan pemikiran filsafat sangat mempengaruhi gagasan feminis awal, terutama filsafat Cartesian yang beranggapan bahwa semua manusia diberi akal, karena itu pengetahuan yang benar pada prinsipnya dapat dicapai oleh semua orang.

Tokoh feminis yang paling berpengaruh pada abad ke-18 M ialah Mary Wollstonecraft. Menurut Mary perempuan dan laki-laki mempunyai nalar yang sama, karena itu harus dididik dengan cara yang sama pula. Selain itu ia juga menuntut agar perempuan memperoleh pekerjaan, tanah (kekayaan), dan perlindungan hukum. Pada abad ke-19 M ide tentang feminisme tidak hanya muncul dari kalangan perempuan, tetapi juga banyak disuarakan oleh kaum laki-laki, diantaranya Jhon Stuart Mill, dikutip dari sejarah feminisme.

Ketika lebih banyak lagi wanita muda yang pikirannya cuma nikah, budaya patriarki akan kembali pada masyarakat kita. Mengingat budaya itu, Kartini akan sangat geram terhadap kaum perempuan sekarang saya pikir. Dan lebih mengherankan ketika bahkan gadis-gadis SMA pun omongan mereka hanya nikah.
Saya bukan mengatakan bahwa seorang wanita tidak perlu menikah. Tapi perlu kembali memikirkan ulang kebermanfaatan menikah muda, karena masih banyak hal-hal yang bisa dipikirkan selama umur masih muda. Sekarang ini sepertinya menjadi tren untuk nikah muda, kajian-kajian juga banyak yang membahas menikah muda. Ini memang tidak salah dengan dalih ketimbang zina. Kalau mau menjauhi zina, ya jauhi dengan benar. Jangan terburu-buru memutuskan nikah muda sebagai solusinya. Faktor lain yang mengimbangi kajian soal nikah muda adalah adanya stigma wanita yang berumur lebih dari 25 tahun dan belum menikah itu tidak pantas. Mereka memikirkan mau umur berapa memiliki anak dan lain sebagainya.
Sebenarnya yang makin membuat saya jenuh adalah ketika tidak ada percakapan lain antar wanita kecuali menikah, bagaimana model undangan, foto pre-wedding, dan baju-baju pengantin. Ah, ini percakapan apa, bikin saya menguap saja!
Tren nikah muda memang mulai masif sejak beberapa tahun terakhir. Orang-orang suka sekali memberitahu bahwa mereka dicintai dan dalam arti lain diakui.
Sepertinya semakin lama tulisan saya ini semakin subjektif soal kegusaran saya pada nikah muda atau lebih tepatnya pada kondisi kaum wanita muda yang cuma berpikir soal nikah. Pola pikir mereka sepertinya terbentuk dari gengsi dan harga diri, bahwa siapapun yang nikah belakangan adalah mereka yang tidak dianggap cantik dan lain sebagainya.
Semakin jarang kita temui wanita muda yang ambisius pada karier atau memaknai kehidupan. Tinggal satu dua orang saja wanita muda yang mau berlayar menjadi tenaga pendidik, membela HAM, dan atau melakukan hal lainnya. Sisanya lebih memilih menunggu cincin kawin. Menunggu lamaran dari pria yang akan membuat hidupnya lebih berkualiatas.
Tentu saja sejauh ini hanya pendapat saya dan alangkah berbahagianya saya jika kemudian apa yang saya tulis bukanlah kebenarannya. Salam

0 Responses

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *