Irrational Man, Problem Eksistensial dan Ambiguitas Moral

Sumber gambar: Netflix

Identitas Film

Genre                     : Crime/Mystery/Drama

Sutradara               : Woody Allen

Penulis Naskah     : Woody Allen

Produser                : Letty Aronson, Stephen Tenenbaum, Edward Walson.

Pemain      : Emma Stone, Joaquin Phoenix, Jamie Blackley, Parker Posey, dll.

Sinematografi       : Darius Khondji

Editor                     : Alisa Lepselter

Diproduksi oleh   : Gravier Productions dan Perdido Productions

Distributor            : Sony Pictures Classics

Rating IMDB         : 6.6/10

Rilis                        : 17 Juli 2015 (US)

Durasi                    : 95 menit

*

Hidup ini absurd, ya? Kita lahir tanpa kita minta lalu seiring berjalannya waktu, kita menjadi tahu bahwa hidup ini hanya sementara. Hidup ini seperti tidak ada artinya. Kita sekolah, kuliah, kerja, menikah, kemudian menua dan mati. Hidup hanyalah kesia-siaan belaka menanti ajal tiba. Lalu untuk apa semua ini?

Jika Anda pernah atau sedang merasa demikian, sepertinya Anda mengalami hal yang sama dengan Abe Lucas, tokoh dalam film Irrational Man.

Wajah flat, wiski single malt scotch di saku dan gaya mengajar yang cuek menjadi ciri khas Abe Lucas (diperankan oleh Joaquin Phoenix). Profesor Filsafat yang tengah dilanda krisis eksistensial yang membuatnya kehilangan gairah dan semangat hidup. Bahkan filsafat tidak lagi menarik baginya.

Abe menganggap filsafat hanyalah verbal masturbation.

Intelektualitas mumpuni, gaya flamboyan dan semangat pesimisme khas filsuf eksistensialis yang melekat pada diri Abe Lucas membuat kedatangannya untuk mengajar sebagai dosen tamu selama musim panas telah menjadi perbincangan hangat di kalangan civitas akademika Braylin College.

Tak terkecuali dua perempuan cantik menaruh atensi pada Abe. Yakni, Rita Richards (diperankan oleh Parker Posey), dosen kimia dan Jill Pollard, mahasiswinya di kelas Strategi Etika.

Berawal dari pertanyaan seputar keluhan Jill dalam memahami materi selepas kelas usai, Jill dan Abe jadi lebih sering berbincang dan menghabiskan waktu bersama.

Sejak itu, Jill terus membicarakan tentang sosok Abe, baik dengan teman, orang tua bahkan pacarnya, Roy (diperankan oleh Jamie Blackley).

Meski demikian, Abe belum juga mentas dari dunia melankolisnya. Ia tenggelam dalam kebanalan hidup. Ia telah mengalami banyak hal dalam hidupnya. Mulai dari menyaksikan teman sendiri tewas akibat menginjak ranjau di Irak.

Menikah namun istrinya malah selingkuh dengan sahabatnya sendiri. Enam bulan menjadi relawan pangan di Darfur, Sudan namun dirinya sendiri malah terserang meningitis. Menjadi supir taksi, operator lift sampai tukang bangunan pernah dirasakannya.

Abe menganggap apa yang telah dilakukannya selama hidup adalah percuma. Ia bahkan tak segan menarik pelatuk pistol dalam permainan Russian Roulette. Meski kacau, Jill justru semakin tertarik akan sosok Abe. Namun Abe menjaga diri agar tetap menjalin hubungan sebatas teman dengan Jill.

Hingga pada sebuah lunch, Abe dan Jill menguping obrolan seorang ibu yang sedang terancam kehilangan hak asuh anaknya dalam kasus perceraian.

Wanita bernama Carol itu terus mencaci hakim bernama Thomas Spangler dan mengutuknya terkena kanker lalu mati.

Mendengar hal itu, Abe merasa tergugah jiwanya. Ia merasa simpati dengan nasib Carol. Namun Abe merasa bahwa apa yang dilakukan Carol adalah sia-sia.

Jika Carol ingin hakim itu mati maka ia harus merealisasikannya bukan diam berharap dan hanya menunggu keajaiban.

Abe benar-benar dapat merasakan kenikmatan hidup. Ia menjadi lebih ekspresif ketika mengajar dan kini ia menjalin hubungan khusus dengan Jill. Jill pun memutuskan Roy.

Kasus kematian Hakim Spangler rupanya tidak hilang begitu saja dan justru menjadi perbincangan ramai di media. Temuan zat sianida hasil otopsi memunculkan dugaan Hakim Spangler sengaja dibunuh.

Fakta tersebut mendorong Jill untuk mengungkap siapa pelaku sebenarnya. Seolah didukung oleh semesta, Jill perlahan menemukan petunjuk demi petunjuk.

Serangkaian kejadian insidental menuntun Jill membuka tabir kebenaran. Jill semakin yakin bahwa pelaku pembunuh Hakim Spangler adalah Abe.

Film besutan Woody Allen ini benar-benar menarik untuk ditonton. Dinarasikan dua tokoh dan lebih komprehensif dan kaya akan sudut pandang, ditambah para tokoh yang apik dalam peranannya.

Tema yang diangkat relate dengan kehidupan manusia modern serta jalan cerita yang sederhana namun menarik menjadi poin yang patut diperhatikan

Kita diajak untuk menyelami krisis eksistensial yang dirasakan Abe Lucas dan caranya mengatasi problem tersebut.

Ketika merasa life is nothing but the endless suffering, Abe justru menemukan gairah hidupnya lagi dan merasa terlahir kembali. Namun di titik ini pula Abe jadi keblinger.

Ia terlalu mendewakan the meaningful act yang telah menyelamatkannya dari problem kebanalan hidup dan larut dalam eureka-nya sampai melupakan aspek-aspek lainnya.

“Berharap adalah sia-sia tanpa mewujudkan,” kata Abe. Manusia harus mengambil sikap riil sebagai reaksi tegas terhadap permasalahan yang dihadapinya.

Seperti yang pernah diungkapkan oleh Heidegger bahwa manusia bukanlah makhluk pasif yang berjarak dengan dunianya. Bukan hanya sebatas berpikir seperti cogito ergo sum ala Rene Descartes, namun juga terlibat konkret dalam mencapai kebebasan dan menciptakan dunia idealnya.

Dalam kasus ini, ia telah mengambil tindakan konkret yang membuat dirinya merasa telah terlibat aktif dalam memenuhi apa yang dikatakan filsuf Jerman, Martin Heidegger sebagai Das sein atau menjadi ‘ada’ di dunia.

Sebenarnya Abe adalah orang asing bagi Carol namun ia memilih untuk melibatkan diri. Kenapa? Karena Abe memiliki rasa simpati kepada Carol. Sebuah sensasi emosional yang telah lama tidak ia rasakan dalam fase hidupnya yang stagnan.

Namun apa yang telah dilakukannya menimbulkan masalah baru, yakni moralitas.

Sebagaimana dikatakan oleh filsuf Jerman lainnya, Immanuel Kant, bahwa manusia adalah makhluk ganda. Manusia sebagai makhluk rasional memiliki andil dalam membentuk ‘dunianya sendiri’ namun manusia juga merupakan makhluk material yang tunduk pada hukum kausalitas alam semesta.

Kant juga mengatakan bahwa secara alamiah manusia memiliki akal praktis yang dapat membantu memahami tentang mana yang benar dan mana yang salah.

Nah, akal praktis inilah yang menuntun manusia untuk mematuhi hukum moral. Kant sendiri menganggap hukum moral sama universal dan mutlaknya dengan hukum kausalitas.

Kant juga memperkenalkan konsep pemikirannya yang lain yang dikenal dengan ‘etika niat baik’. Di sini Abe telah melakukan konsep tersebut ketika memutuskan untuk menolong Carol.

Film yang rilis pada tahun 2015 ini dinarasikan oleh dua tokoh (Abe dan Jill) secara bergantian. Penonton diajak melihat suatu kasus dari sudut pandang yang lebih komprehensif. Kita dapat memandang dua perspektif yang berbeda dalam satu frame cerita.

Selain diajak menyelami pikiran-pikiran filosofis dan argumen-argumen atraktif dari sudut pandang Abe, kita juga diajak menikmati perjalanan investigasi Jill.

Meskipun akhir cerita yang cukup ‘mengambang’, tidak menjadikan suatu masalah karena kecerdasan Woody Allen sebagai sutradara dalam menyelipkan teri-teori filsafat dalam beberapa percakapan sepanjang film yang menjadikan penonton merasakan kenikmatan dalam berpikir.

Bagaimana? Anda sudah memiliki semangat hidup? Atau, masih sama saja, masih seperti seorang Sisifus?

Hidup ini benar-benar absurd, ya? Bukankah begitu, hai Albert Camus?

Penulis: Lindu

Penyunting: Nia

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *