Tomprang: Seni Nyenja Cah Ndeso nan Filosofis

Sumber gambar: Pexels

Lain daripada mas-mas kekinian yang gandrung menikmati senja ditemani kopi-gitar-puisi, pemuda desa punya cara nyenja tersendiri, yakni “tomprang”. Kalau kamu adalah seorang penghobi merpati balap (merpati kolong), tentu sudah tidak asing dengan istilah satu ini.

Sederhananya, tomprang adalah aktivitas menerbangkan merpati dari jarak tertentu ─dari ratusan meter sampai puluhan kilometer─ untuk melatih insting, kecepatan, dan kelincahan menukik si merpati ke tempat semula ia diberangkatkan. Merpati yang ditomprangkan ini nanti harus melewati ‘kolong’ tiang atas ketika akan landing.

Kalau kamu masih belum familiar dengan dunia merpati balap, untuk penjelasan lebih detailnya mungkin bisa menyimak video unggahan akun Youtube milik Asumsi berikut ini.

Namun, kata “tomprang” lambat laun bukan saja merujuk pada aktivitas menerbangkan merpati semata, tetapi juga dapat menyatakan posisi seseorang. Jadi, untuk menyebut orang yang sedang berada di kolongan, bisa juga dengan mengatakan bahwa ia sedang tomprang: sedang di kolongan. Lebih sempit lagi, kata “tomprang” malah bisa berarti bermain-main dengan burung merpati.

Tomprang menjadi hiburan tersendiri bagi nomnoman ndeso (pemuda-pemuda desa) untuk melepas penat pada sore hari pasca seharian bekerja. Sayangnya, banyak orang mencibir dan menganggap tomprang ini sebagai aktivitas yang nirfaedah. Kuno, percuma ─nihil makna─, dan buang-buang waktu saja, padahal aktivitas ‘tomprang’ ini menyimpan nilai-nilai filosofis yang jarang disigi orang.

Laku Eksistensial

Problem dasar manusia adalah kesadaran akan ketidakberdayaan menghadapi kesendirian. Keterpisahan dari kehidupan sosial adalah kegelisahan yang mendorong manusia untuk menciptakan rasa aman dan nyaman, salah satunya dengan cara berkelompok.

Dengan berkelompok, individu jadi memiliki ruang untuk menunjukkan eksistensinya. Baik terhadap individu lain dalam kelompok tersebut, maupun terhadap kelompok lain ─sebagai kesatuan dalam bentuk kelompok─, dan adanya aspek kesamaan tertentu turut menjadi faktor pertimbangan manusia perihal memilih atau membentuk kelompok.

Dalam hal ini, bagi para pencinta merpati balap, tomprang merupakan laku eksistensial. Sikap yang memberikan makna khusus bagi para pelakunya.

Ketika mereka berkumpul di kolongan, akan tercipta suatu ekosistem yang mengikat individu satu sama lain. Lalu secara alamiah, iklim keakraban akan tumbuh dan memupuk rasa solidaritas antarindividu serta memberikan persepsi kebermanfaatan sebagai seorang manusia dalam diri masing-masing individu.

Jika satu orang hendak melatih merpati balap peliharaannya, maka yang lain akan membantu men-tomprang-kan sehingga si empunya merpati bisa fokus ngepleki agar si merpati bisa landing on the track secara paripurna.

Selain tomprang dan ngepleki, bisa juga duduk-duduk mengobrol dengan kawan lain. Nah, di sesi inilah laju pertukaran informasi terjadi. Dari mulai update info lomba terdekat, spot bibit-bibit merpati unggul, sampai curhat masalah personal.

Memang tidak selamanya solutif, tetapi keterbukaan yang ada ini menandakan kedekatan yang terjalin dan membentuk suatu ikatan persahabatan. Tak jarang pula mereka saling membantu ketika ditempa masalah tertentu, khususnya urusan finansial. Maka jangan heran jika antarmereka kerap terjadi pinjam-meminjam uang.

Hal ini wajar karena tempat kolongan bukan hanya didatangi oleh warga yang berdomisili sekitar lokasi kolongan saja, tetapi ada juga warga dari lain desa bahkan kecamatan. Oleh karenanya, menjadi semacam solusi kalau malu mengutang ke tetangga dekat rumah dan toh, cara identifikasi kalau si pengutang ghosting juga gampang. Tinggal lihat intensitas kehadirannya di kolongan.

Begitu elastis sekaligus akomodatif peran tomprang dalam kehidupan dan eksistensi para pelakunya. Tanpa tomprang, hidup mereka mungkin akan terasa hampa. Jika boleh meminjam diktum khas filsuf rasionalisme asal Prancis itu, barangkali moto hidup mereka adalah “aku tomprang maka aku ada”.

Seni Berbahagia

Dulu, awalnya saya heran kalau lihat orang tomprang. Ngapain, sih, main burung tiap hari? Apa enggak bosan? Iya kalau menang lomba, kalau enggak? Buang-buang waktu aja.

Pikiran sinis tersebut kini perlahan sirna. Saya jadi merefleksi diri dan berkesimpulan bahwa itulah hakikat hobi. Terkadang, hobi hanya rasional bagi sesama yang menggemarinya saja dan justru itulah seni berbahagianya.

Saya ingat dalam salah satu kajian, K.H. Ahmad Bahauddin Nursalim alias Gus Baha pernah berkata bahwa untuk berbahagia itu sebetulnya mudah dan kunci kebahagiaan itu cuma satu, yakni tidak “melihat” kenikmatan orang lain.

Nasihat tersebut maksudnya bukan merupakan larangan saklek bahwa kita tidak diperkenankan menyaksikan nikmat yang dilimpahkan kepada orang lain, tetapi lebih kepada upaya preventif agar lebih memfokuskan kebahagiaan pada apa yang ada dalam diri sendiri. Sebab, ketika kita melihat kenikmatan orang lain, ─sadar atau tidak─ kita cenderung akan melakukan pembandingan dengan diri sendiri dan imbasnya, jadi tidak mudah bersyukur.

Hal ini juga berhubungan dengan prinsip “dikotomi kendali” khas kaum Stoik. Kamu yang sudah baca buku Filosofi Teras karya Henry Manampiring pasti akrab dengan frasa ini. Bahwa ada hal-hal yang berada di luar kontrol diri dan sebaiknya kita tidak menggantungkan kebahagiaan kita di sana, termasuk kepada pendapat orang lain.

Bayangkan, betapa menyengsarakannya jika “orang-orang kolongan” tadi terprovokasi dengan hujatan yang diarahkan padanya. Niat hati melepas sumpek dari rutinitas kerja, eh masih ditambah dongkol karena menghiraukan sindiran orang lain. Lunglai, Bos.

Determinisme Kahlil Gibran

Meksipun terlatih, tidak ada jaminan merpati yang kita tomprangkan akan pasti pulang. Kadang, burung tersebut menclok dulu ke mana. Yang paling sial, ya bisa hilang. Atau ditemu orang, lalu dijual diam-diam. Apalagi kalau burung yang hilang itu harganya mahal, lebih-lebih kalau merpati kesayangan. Duh, nelangsanya.

Walaupun sudah tahu potensi kehilangan setiap kali tomprang itu selalu ada ─dan malah kerap terjadi─, faktanya, hal tersebut tak lantas membuat para pencinta merpati balap ini kapok. Mereka justru semakin terbiasa menghadapi kehilangan. Terbiasa untuk bersikap rela. Sikap mereka ini, sebetulnya, termasuk implementasi dari perspektif Kahlil Gibran tentang hakikat cinta sejati.

Penyair asal Lebanon itu pernah berpesan bahwa jika kamu mencintai seseorang maka biarkanlah ia pergi. Jika ia kembali maka ia akan selalu jadi milikmu. Jika tidak, maka ia memang bukan untukmu.

Memang, sekilas terkesan fatalis. Namun, coba renungkan lagi. Berapa banyak orang yang pacaran bertahun-tahun, tetapi ujungnya ditinggal nikah sama orang lain? Dan berapa banyak orang yang akhirnya sadar kalau cinta sejatinya itu ternyata sahabatnya sendiri?

“Kasih sayang paling tinggi adalah merelakan,” ujar salah seorang kawan ketika kami mengobrol pada suatu dini hari. Kini, ─melalui interpretasi tentang tomprang ini─ saya akhirnya paham apa maksud kalimat tersebut.

Ah, jangan-jangan benar. Rasanya, hidup ini memang benar-benar permainan dan senda gurau, ya?

Penyunting: Fais H.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *