Inilah yang terjadi dan sering dijumpai bahwa menjadi siswa dan mahasiswa tidak jauh berbeda. Atau tempat perkuliahan yang tak jauh beda dengan SMA atau sederajat. Belajar penuh tekanan, presensi yang dibatasi, dan pendidik atau dosen yang lebih banyak bicara menerangkan ketimbang mahasiswa yang harusnya lebih aktif. Budaya menyontek atau plagiat yang masih berjalan atau parahnya titip absen ke teman jika lagi malas mengikuti pembelajaran di kelas.
Kondisi yang sama terlihat pula di Teknik UNY. Mahasiswa sepertinya kurang sadar akan arti pentingnya menuntut ilmu dan belum bisa menempatkan dirinya sebagai seorang mahasiswa yang sejatinya memikul beban besar menjadi generasi penerus bangsa. Beberapa mahasiswa hanya ingin memenuhi presensi 75 persen kehadirannya agar dapat mengikuti ujian dan berharap mendapatkan IPK serta nilai yang baik saat ujian tanpa bersusah payah belajar.
Realita semacam itu seharusnya menuntut dosen untuk jeli dalam menegakkan peraturan yang telah disepakati bersama secara ketat dan bijaksana, seperti kontrak belajar 75 persen kehadiran untuk mengikuti ujian. Sehingga hal tersebut harusnya dilaksanakan dengan baik. Mengupayakan tidak ada mahasiswa yang dapat berbuat curang memalsukan presensi atau diistilahkan titip absen. Tetapi hal ini harusnya ada timbal balik, dosen pun tidak seharusnya melakukan penggandaan presensi jika tidak mengadakan pertemuan.
Begitu pun pada saat UAS, jika peraturan ujian mewajibkan mahasiswa untuk membawa Kartu Hasil Studi (KRS) sebaiknya aturan benar dilaksanakan supaya tidak terkesan berhenti dan cuma label peraturan saja, tetapi memang ada penerapannya agar UAS dapat berjalan efektif dan tidak terkesan semrawut.
Selain itu, sering kali beberapa mahasiswa memilih untuk menunggu di luar kelas sekedar ingin tahu dosen penjaga di ruang tersebut, jika dosennya killer maka mahasiswa memutuskan untuk pindah ruang. Karena ruangan tidak diplot khusus dengan memisahkan nomor peserta ujian, mahasiswa bebas memilih ruangan jika yang tersedia. Kebanyakan dari mereka yang mengecek pengawas terlebih dahulu, mungkin merasa takut nantinya tidak dapat menyontek ataupun meniru pekerjaan teman jika dosen penjaganya killer dan memilih ruangan lain tanpa pengawasan ketat. Hal tersebut tidak layak dilakukan oleh seorang mahasiswa, apalagi mahasiswa kependidikan, calon guru. Terkesan tidak lucu bahwa calon guru membudayakan aktivitas menyontek.
Berbicara mengenai hasil, yang kerap menjadi pertanyaan beberapa mahasiswa sebenarnya kapan hasil UAS keluar? Lantas bagaimana jika terjadi keterlambatan pengumpulan nilai. Katanya pengumpulan nilai dibatasi kurang lebih dua minggu setelah ujian, lantas bagaimana jika dosen terlambat mengumpulkan nilai ke jurusan? Apakah Surat Keputusan (SK) rektor yang berisi jika ada dosen yang tidak memberikan nilai sesuai dengan batas waktu yang ditentukan maka jurusan berhak memberikan nilai B+ kepada mahasiswa, dapat berlaku?
Menurut saya sungguh tidak efektif, tidak ada pembeda antara si rajin dengan si malas ataupun si pintar dengan si kurang pintar. Kasihan terhadap mereka yang pintar, yang layak mendapatkan hak lebih. Semisal jika dengan hasil ujiannya dia bisa mendapatkan nilai A, karena dosen terlambat memberi nilai ia hanya mendapatkan nilai B+ sesuai SK yang telah ditetapkan.
oleh Nurus Sarofa