Televisi dan Kekuatan Para Politisi

Apa yang hebat dari jurnalistik, mereka mampu merubah dunia hanya dengan kata-kata, A Fuadi – Negeri 5 Menara.

 

Tahun ini adalah tahun pemilu. Stasisun televisi makin sering menampilkan iklan pencitraan partai politik dan kadidat calon presiden. Bila nanti pemenang pemilu dan presiden adalah pemilik stasiun televisi, lengkap sudah. Siapa berani melawan televisi.

Televisi, kini bisa sangat mainstream akibat media jenis ini mudah diterima dan peluang komunikasi berhasil dilakukan sangat besar. Menurut kelompok pengalaman Edgar Dale, Televisi mampu memberikan keseimbangan antara pengalaman abstrak dan pengalaman langsung. Sehingga, televisi sebagai salah satu kekuatan politisi sebenarnya normal, bila menyimak jurnalistik dan media TV mampu mengubah dunia lewat kata-kata dan visual. Sehingga popularitas seorang figur dapat dikatrol dengan mudah. Apalagi bila figur tersebut masuk dalam kategori media darling.

Fenomena mengakuisisi stasiun televisi kini pun jadi umum, tidak hanya satu tapi lebih. Aburizal Bakrie dikenal memiliki 2 stasiun televisi, TV One dan ANTV, itu belum media lain seperti TV berbayar dan Media Online. Hery Tanoe memiliki RCTI, Global TV, dan MNCTV untuk televisi nasional, sedangkan jaringan televisi lokal, SindoTV memiliki 15 jaringan, lalu TopTV 7 jaringan. Di ikuti Surya Paloh yang muncul dengan media group-nya. Kubu demokrat diwakili TransTV dan Trans7 yang resminya dimiliki oleh Chairul Tanjung.

Sudah diakui bahwa Indonesia adalah negara berkembang. Proses demokrasinya pun sedang berkembang dan sedang mencoba menemukan bentuknya. Indikasinya jarang ada parpol yang memiliki ideologi yang jelas. Misal saja, di tingkat pusat jadi koalisi, namun di daerah menjadi lawan. Afiliasi politiknya pun samar-samar, ini konservatif, marhainis agamis, atau pancasilais. Karena saat ngiklan di TV pun parpol tidak menunjukan secara gamblang ideologi yang diusung.

Jadi kini parpol tidak jualan ideologi, namun figur. Atau bisa dikata, masih menjalankan politik pragmatis. Fenomena publik figur dan artis yang nyaleg, jelas terbaca sebagai jalan instan mendulang suara. Lantaran sudah popular jadi artis, sehingga relatif mudah dikenal. Meski mengorbankan kapasitas sebagai wakil rakyat. Apalagi melihat rendahnya penilaian masyarakat kini terhadap anggota dewan.

Kenapa kapasitas, bahwa PPP sampai menerbitkan buku panduan atau manual book bertajuk “Islam, Negara, dan Kuasa” bagi para kadernya, menyikapi wawancara Angel Lelga dalam acara Mata Najwa, meski diklarifikasi kembali oleh ketua umum PPP Suryadharma Ali, sebagai tindakan yang tidak adil.

Figur sebagai faktor penting terlihat jelas saat SBY menjadi presiden 2004, yang saat itu menjadi media darling. Tag iklan “Apapun partainya, SBY presidennya” sangat membekas. Meski Demokrat hanya memperoleh 7,2 persen suara. SBY mampu melenggang menjadi pemenang dalam pilpres kala itu. Lalu siapa sangka, bila elektabilitas Jokowi kini menjadi yang teratas, atau partai golkar yang masih nangkring di dua besar lewat tagline “suara golkar suara rakyat”

Namun, pencitraan dan iklan tidak selamanya berimplikasi posisif, bila melihat “katakan tidak pada korupsi” kini malah menjadi boomerang bagi partai demokrat, yang elektabilitasnya kini hanya tersisa 5 persen menurut Lingkaran Survei Indonesia (LSI). Nampak, bahwa mengusung selogan pun harus hati-hati mengingat efek, sifat dan sebaran dari siaran televisi. Menarik disimak dinamika pemilu april nanti. Kemudian, apakah televisi akan dipakai untuk menjatuhkan lawan politik, saya tidak tahu. [Farhan]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *