Oleh Nanang Yuniantoro
Dunia pers mahasiswa kembali diuji dengan adanya kasus ancaman pembredelan LPM Aksara Fakultas Ilmu Keislaman (FIK) Universitas Trunojoyo Madura (UTM) oleh Dewan Perwakilan Mahasiswa (DPM) karena permasalahan caption foto pada salah satu postingan blog LPM Aksara. Sebelumnya ada LPM Pendapa Universitas Tamansiswa (UST) yang diancam dibredel oleh pihak rektorat karena pemberitaan kritik terhadap rektorat, ada juga LPM Ekspresi Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) yang dibredel oleh pihak rektorat karena dianggap menganggu citra kampus dihadapan orang tua mahasiswa baru saat itu.
Segelintir contoh diatas adalah bukti bahwa masih ada pengekangan dalam menyuarakan pendapat, padahal Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) dan UU RI nomor 9 pun sudah mengatur kemerdekaan menyampaikan pendapat di depan umum. Kerja jurnalistik tentu tak lepas dari tulisan, dan sudah pasti sebagai kontrol sosial, kerja jurnalistik tak luput dari yang namanya menyuarakan kritik, namun jika kritik ditanggapi dengan ancaman prembedelan atau pembredelan secara langsung, itu adalah hal yang keliru.
Undang-undang pers nomor 40 tahun 1999 pun telah mengatur yang namanya hak jawab, hak yang dapat digunakan pembaca untuk memberikan tanggapan atau menyanggah terkait dengan pemberitaan yang merugikan mana baiknya. Hak jawab ini adalah solusi untuk mereka yang tidak terima atau ingin memverifikasi terkait pemberitaan. Entah karena kurang tahu, atau kurang paham, atau pura-pura tidak tahu menyebabkan ancaman pembredelan itu mudah sekali keluar dari mulut pembaca perorangan atau kelompok. Jika terus didiamkan ancaman pembredelan akan dengan mudah menjadi budaya laten yang dapat menyebabkan kemunduran demokrasi di Indonesia.
Independensi pers mahasiswa juga harus dijaga, pihak birokrat ataupun ormawa tidak boleh mencampuri urusan keredaksian untuk memberitakan hal-hal yang baik saja. Pers kampus sudah punya kode etik dalam melakukan kerja jurnalistik sehingga sudah memiliki porsi pemberitaan tersendiri. Pers mahasiswa juga harus berhati-hati dalam melakukan kerja jurnalistik, harus benar-benar memperhatikan kode etik yang ada sehingga mempunyai modal ketika diancam oleh pihak-pihak tertentu.
Ancaman yang masih banyak dijumpai oleh pers kampus ialah pemotongan anggaran dana untuk operasional pers kampus, hal ini juga merupakan tindakan yang tidak dapat dibenarkan karena sudah hak pers kampus untuk memperoleh dana tersebut tanpa pemotongan atau pemberhentian dana karena sebuah pemberitaan atau ketidaksukaan terhadap pers kampus karena selalu mengkritik. Pihak birokrat maupun ormawa seharusnya belajar akan kerja jurnalistik, sehingga ketika ada permasalahan dengan pemberitaan tidak asal mengancam melakukan pembredelan atau pemberhentian dana operasional namun dapat diselesaikan dengan cara yang benar.