Oleh Nanang Yuniantoro
Kembalinya Republik Mahasiswa (rema) sebagai bentuk keorganisasian mahasiswa Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) menggantikan Keluarga Mahasiswa (KM) pada tahun 2014 memberikan dampak yang besar pada seluruh tatanan organisasi kampus, tak terkecuali pada pemilihan mahasiswa (pemilwa). Menilik tiga tahun ke belakang, pemilwa KM diselenggarakan tanpa menggunakan partai, sebagai kendaraan politik untuk menduduki jabatan eksekutif maupun legislatif. Calon pejabat kampus ini pun harus mengajukan diri secara independen atau perseorangan. Pemilwa dengan bentuk rema mengharuskan partai hadir sebagai kendaraan politik untuk calon pejabat kampus.
Sampai saat ini, UNY masih terasa hampa terkait partai mahasiswa (parma). Belum ada informasi yang pasti mengenai apakah sudah ada partai yang terbentuk atau belum, tentu kondisi ini sangat mengkhawatirkan mengingat pelaksanaan pemilwa tinggal menghitung hari lagi. Meskipun UU Parma sudah selesai disahkan namun tentu bukan hal yang mudah untuk membuat partai dalam waktu yang singkat, mengingat administrasi yang harus dipenuhi, semisalkan anggaran dasar dan anggaran rumah tangga (AD dan ART). Tak hanya disitu saja, ideologi partai pun juga dipertaruhkan untuk mengarahkan partai tersebut, dan merekrut minimal 30 mahasiswa dari 4 fakultas yang berbeda sesuai yang tertera UU Parma pasal 2.
Semenjak pembekuan BEM REMA UNY dan penggantian bentuk keorganisasian menjadi KM tahun 2011, membuat generasi mahasiswa UNY saat ini adalah mahasiswa yang buta akan atmosfer parma dan pemilwa karena tidak secara langsung terlibat ke dalam pelaksanaan. Kenyamanan yang sudah melekat menggunakan bentuk KM harus mulai dilepaskan, dan generasi baru yang harus memulai dan belajar dari nol lagi untuk mempelajari rema.
Memulai adalah langkah yang berat. Sebagai mahasiswa tentu tidak boleh asal melangkah dalam bertindak, jika tidak mempunyai rencana ataupun tujuan, berjalan tanpa tujuan layaknya orang kebingungan, dan mempunyai tujuan tanpa melangkah sama saja omong kosong. Generasi UNY saat ini diambang kebimbangan antara menjalankan amanah UU atau memilih untuk menggunakan produk lama.
Jika pemilwa dipaksa menggunakan parma untuk saat ini sangat dirasa berat meskipun berjalan sesuai UU, selain belum banyak disosialisasikan ke universitas dan fakultas, permasalahan yang muncul ialah belum tentu mahasiswa yang ingin menjadi pejabat kampus mau mengikuti partai, karena beda ideologi, ataupun tidak suka ikut partai. Disini berarti akan mendeskriminasi orang-orang yang berkompeten namun tidak dapat berpartisipasi dalam pemilwa, kesiapan elemen dalam menyiapkan pemilwa rema seperti KPU, DPM, dan BEM dirasa masih kurang, karena harus berfokus pada hal yang lain. Namun, jika pemilwa menggunakan KM secara peraturan perundang-undangan tentu akan menyalahi aturan, sehingga layak untuk dipertanyakan keabsahannya pemilwa.
Tentu hal akan menjadi pertanyaan sekaligus tantangan apakah generasi baru ini akan mampu memulai politik demokrasi mahasiswa?. Pemaksaan bukanlah hal yang bagus untuk mendapatkan sebuah hasil yang baik, namun menyalahi aturan bukanlah sifat mahasiswa yang selayaknya lebih paham akan aturan, meskipun dalam konteks belajar.