Oleh : Latifa Dwike Ambarawati
Hari ini (21/4/16) R.A Kartini genap berusia 137 tahun. Kalau beliau masih hidup tentunya. Banyak orang beranggapan, walaupun Kartini hidup pada zaman lampau, jejak perjuangannya masih tetap ada sampai saat ini. Memang tidak salah, bekas perjuangan itu memang ada. Di perpustakaan, atau di toko buku, yang jelas dalam tumpukan buku sejarah. Dapat dihitung berapa orang yang memegang buku Kartini. Apalagi membacanya. Pada peringatan Kartini, orang beramai-ramai mengenakan busana adat, berarakan keliling kota dengan bangga, tanpa mengetahui siapa dan apa alasan mereka. Itu yang terjadi di masa sekarang.
Namun di masa lampau? Sungguh jauh berbeda. Tidak ada perayaan, tidak ada peringatan, namun mereka, terutama para wanita penggerak ditahun 20-an berbondong-bondong menyerbu buku Door Duisternis Tot Licht, alias DDTL yang merupakan buku kumpulan surat-surat Kartini. Masyarakat Indonesia kemudian mengenalnya dengan judul “Habis Gelap Terbitlah Terang”. Door Duisternis Tot Licht pertama diterbitkan tahun 1911, atau tujuh tahun setelah meninggalnya Kartini, oleh Mr.J.H. Abendanon, yang merupakan Menteri Kebudayaan, Agama, dan Kerajinan Hindia Belanda. Buku tersebut langsung menarik perhatian dunia Internasional. Bagaimana tidak, melalui buku itulah orang mendapatkan penggambaran dengan jelas bagaimana kehidupan wanita feodal pribumi, serta perjuangannya meneriakkan hak-hak rakyatnya. Dalam kurun waktu singkat, DDTL laris manis dipasaran dan diterjemahkan ke berbagai bahasa. Walaupun yang disayangkan ialah penerbitan yang beralasan politik. Saat itu Belanda sengaja menunjukkan kepada dunia bagaimana pola pikir wanita daerah jajahannya yang dapat dikatakan sudah sangat maju (padahal hanya Kartini saja), pun untuk mengadakan persaingan terhadap Inggris yang mana memiliki Pandita Ramabai dari India. Propaganda murah, singkatnya.
Memang dalam hidupnya Kartini banyak menulis surat kepada Nyonya dan Tuan Abendanon. Selain mereka, Kartini juga rajin berkirim surat kepada teman-teman Ayahnya yang memiliki kedudukan dipemerintahan, serta sahabat-sahabatnya di Holland. Kepada mereka, Kartini mampu menumpahkan segala pemikirannya tanpa kemunafikkan sedikitpun, walaupun ia sendiri belum pernah bertatap muka langsung dengan beberapa sahabat tersebut. Maklum saja, sangat sedikit orang yang bergaul dengannya, terutama karena beberapa tahun hidup Kartini dihabiskan dalam masa pingitan. Perintah adat, mereka bilang.
Kartini hanya berteman dengan buku bacaan, Koran-koran, serta majalah yang didapat dari ayahnya. Saat mulai memasuki masa pingitan dan harus meninggalkan bangku sekolah, tepatnya diusia 12,5 tahun, ia berontak. Karena memiliki intelegensi yang tajam , Kartini telah mampu berfikir tentang masalah-masalah yang menimpa dirinya, terlebih rakyatnya. Ia jadikan bacaan-bacaan sebagai teman dan gurunya. Dari sanalah ia mempelajari masalah dan solusi apa yang bisa ditawarkan kepada rakyatnya. Kartini pernah bercita-cita menjadi dokter, juru rawat, hingga guru, sampai akhirnya pilihannya jatuh pada dunia sastra. Pena dianggapnya sebagai alat perjuangan paling pas. Hal tersebut tidak lain karena sastra memiliki daerah juang lebih luas. Bisa saja Kartini mengabdikan dirinya sebagai guru atau juru rawat, namun itu hanya dalam lingkungan yang terbatas. Sebuah surat yang ia tulis kepada Estella Zeehandelaar (sahabat di Holland) tahun 1901 mengungkapkan keinginannya,”Sebaga pengarang, aku akan bekerja secara besar-besaran untuk mewujudkan cita-citaku, serta bekerja untuk menaikkan derajat dan peradaban Rakyat kami”. Satu tahun sebelumnya, dengan orang yang sama ia pernah bercerita,”Aku sendiripun menggambar dan melukis, tapi pena menarikku lebih kuat daripada pensil. Jadi tahukah kau sekarang mengapa begitu besar keinginanku untuk dapat menguasai bahasamu?”. Ya, Kartini sangat ingin menguasai bahasa Belanda. Tidak lain tidak bukan karena ia tahu tujuan tulisan-tulisannya kemana. Ia berfikir, masih sangat sedikit orang pribumi yang dapat membaca, sehingga percuma jika ia menulis dalam bahasa pertiwi. Sedangkan dalam Bahasa Belanda dapat dipastikan pemerintah dan golongan atas akan terpengaruh tulisannya. Kartini berharap jika mereka sedikit dapat digoncangkan, maka pengaruh tersebut bisa menyebar pada rakyatnya. Jadi itu adalah bagian dari strategi perjuangan Kartini. “….Dan selalu menjadi maksudku, untuk mengangkat suara keras-keras, karena hany publikasi saja yang dapat membawakan perbaikan yang kita harapkan atas keadaan yang begitu membutuhkan perbaikan itu”(surat untuk Nyonya Nelly van Kol pada 1902). Dalam sebuah nota iapun menuturkan,”Mingguan dan bulanan, di mana dimuat segala-galanya yang memperluas pengetahuan, memperkembangkan kecerdasan, serta membersihkan kalbu”. Demikian ia menjunjung tinggi fungsi pers.
Namun perjuangan tersebut tak semulus yang diharapkan. Karena ia termasuk golongan bangsawan, dan ayahnya merupakan Bupati Jepara, Kartini tidak boleh sembarangan menerbitkan tulisannya di media massa. Hanya beberapa tulisan yang diizinkan terbit, sehingga sepanjang hidupnya pemikiran Kartini banyak ditumpahkan pada surat-surat dan nota yang ditulis untuk pejabat. Hingga akhirnya Kartini meninggal dunia diusia yang sangat muda, dalam keadaan masih menyimpan harapan akan tugas-tugas sosial yang mampu memperbaiki nasib rakyatnya. Adapun surat-suratnya, setelah diterbitkan menjadi sebuah buku, masih mampu menarik antusiasme Internasional dan menjadi obor penerang bagi pergerakan menuju perbaikan. Bagaimanapun bentuk pembatasan dalam buku Kartini, namun pesan kemanusiaan yang dibawa Katini tetap mengena hingga saat ini, yaitu “tugas manusia ialah menjadi manusia”.
*Artikel di atas ialah berdasar pada Biografi Kartini, “Panggil Aku Kartini Saja” oleh Pramoedya Ananta Toer.