Kartini Sebagai Sosok ‘Pemikir’, Bukan Icon Fashion

Oleh : Latifa Dwike Ambarawati

 

Setelah seabad lebih kepergian R.A. Kartini, tepatnya 112 tahun sejak 1904, yang tersisa dari perjuangannya seolah hanya pakaiannya saja. Bagaimana tidak, sejak kecil kita telah akrab dengan perayaan Hari Kartini. Sebuah perayaan baju adat nasional. Alasannya cukup sederhana, karena baju adat (kebaya) adalah busana yang digunakan oleh Kartini. Tapi dibalik itu semua, adakah kita diberi pemahaman tentang pemikiran beliau? bahkan tahap pengertianpun sepertinya belum.

R.A. Kartini, merupakan seorang wanita Jepara keturunan bangsawan. Ayahnya, R.M.A. Sosroningrat merupakan Bupati Jepara saat itu. Ia, seperti halnya perempuan bangsawan lainnya harus hidup dibawah kungkungan adat feodalisme. Beruntung, hampir seluruh keluarganya, yang notabene keturunan P.A. Tjondronegoro sudah sadar pentingnya pendidikan. Sehingga, Kartini bisa mencicipi bangku pendidikan walaupun itu hanya sekolah rendahan. Intelegensi yang tajam, ditambah sentuhan bangku sekolah yang singkat, membuat jiwa Kartini berkembang demikian pesat. Saat berumur 12,5 tahun, Kartini  harus meninggalkan bangku sekolah untuk menjalani kodratnya sebagai gadis bangsawan, yakni dipingit dalam Kabupaten. Adat menyerukan ia tidak boleh berinteraksi dengan dunia luar hingga datang orang yang ditakdirkan sebagai suaminya. Kartini tarus memberontak, melakukan berbagai cara agar dapat keluar dari ‘penjara’ tersebut, namun tetap saja sia-sia.

Sepanjang ‘pengasingan’ ia terus merenung, hingga muncul pertanyaan-pertanyaan dalam diri Kartini, “mengapa wanita, terutama bangsawan harus hidup dalam kurungan? manfaatnya apa? mengapa yang boleh dapat pendidikan hanya kaum lelaki? sampai kapan masyarakat akan patuh terhadap adat yang sebenarnya tiada manfaatnya?”. Tidak hanya mempertanyakan nasib dirinya, Kartini lebih jauh memikirkan nasib rakyatnya. Sebagai bagian dari kaum feodal, bukan berarti ia berpihak pada sistem feodalisme. Rakyat bekerja siang-malam, memenuhi kebutuhan kaum feodal yang jelas-jelas menjadi perantara penjajah Belanda saat itu. Sudah tentu jiwa Kartini menolak mentah-mentah faham tersebut. Di sisi lain, persoalan nasib wanita yang seolah hanya menjadi ‘mesin reproduksi’ tak luput dari sorotannya. Ia sendiri menjadi paham benar karena terlahir dari seorang wanita jelata yang menjadi istri kedua ayahnya.

Keterbatasan akses membuat Kartini memilih pena dan bacaan sebagai temannya. Pengetahuan yang didapat melalui Koran, majalah, hingga buku-buku dari ayahnya digunakan sebagai pustaka dan dihubungkan dengan permasalahan-permasalahan tadi. Walaupun tidak berinteraksi dengan dunia luar, Kartini seolah memahami situasi yang terjadi disana dan dapat dengan persis menawarkan solusi. Tulisan-tulisannya beberapa kali dimuat media massa. Kartinipun mulai intensif berkirim surat kepada teman-teman ayahnya yang memiliki kedudukan dipemerintahan, serta beberapa orang di Holland yang belum sekalipun dijumpainya. Hampir setiap surat Kartini selalu membahas kegelisahan terhadap masa depan dan kebebasan rakyatnya. Pun dipenghujung hidupnya, Kartini tetap lantang menyuarakan kepeduliannya terhadap rakyat. Pada tahun 1911, beberapa surat Kartini diterbitkan dalam sebuah buku berjudul Door Duisternis Tot Licht, oleh Mr.J.H Abendanon, yang ternyata menarik perhatian dunia Internasional. Buku tersebutlah yang kini kita kenal sebagai Habis Gelap Terbitlah Terang.

Namun, baik pemikiran maupun cara berfikir Kartini sudah semakin jauh berbeda dengan pola pikir generasi saat ini. Jika ditarik kebelakang, hal-hal yang digarisbawahi Kartini kebanyakan soal kepekaan dan tugas sosial. Ia berfikir untuk rakyat banyak. Coba bandingkan dengan realita saat ini. Kepekaan sosial dapat dikatakan sangat rendah, karena manusia sekarang telah hidup sendiri-sendiri. Bukan secara harfiah tentunya. Teknologi yang katanya mendekatkan manusia, malah menceraikan jiwa manusia satu sama lain. Siapa sangka Kartini juga pernah meramalkan hal ini pada tahun 1902, dalam suratnya yang berbunyi,” Kami berasa sendiri, sangat sendirian diantara orang-orang yang sama sekali tidak kami kenal…, beginilah bakalnya hidup kita dikemudian hari! Kita hidup seorang diri di tengah-tengah lautan kehidupan yang besar!”. Perbandingan tersebut menunjukkan, bahwa perayaan hari Kartini hanya seremonial belaka. Esensi perjuangan dan kemanusiaannya tidak dipakai. Sedikit banyak, yang dipakai hanya sekadar pakaiannya, alias luarnya saja.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *