Rabu (4/5) kemarin, saya diajak teman ikut ngopi di warung yang kebetulan baru pertama kali saya datangi. Ternyata disana sudah banyak mahasiswa yang juga ikut berkumpul. Jelas saja mereka tampak asing, karena saya memang jarang mengikuti kegiatan Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI). Pada kesempatan itu mereka sedang berdiskusi terkait nasib Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Poros yang diberedel secara sepihak. Satu per satu anggota LPM se-Jogja pun berdatangan, jadi makin ramai.
Sesuai kronologi yang diungkap pihak Poros, yang diwakili oleh Bintang selaku Pimpinan Umum benar-benar terasa ironi, namun inilah kenyataannya. Tindakan pembekuan terhadap persma Poros UAD yang dilakukan birokrasi setempat merupakan tindakan kekanak-kanakan (baper) saya rasa. Sebagai pejabat pendidikan tentu mengetahui alur dan prosedur dalam bersikap. Membekukan Poros secara sepihak tanpa adanya SK keluar seperti halnya terpidana penjara tanpa adanya putusan pengadilan. Terkesan sewenang-wenang.
Makin gawat, karena pemberedelan pers mahasiswa (persma) tidak hanya terjadi kali ini saja. Kampus tempat dimana persma bernaung jelas kurang memberi ruang dalam kebebasan berpendapat. Padahal di kampus itu tempat lahirnya prinsip-prinsip kebebasan berpendapat dalam kaitannya perang gagasan dan logika. Poros disini, sebenarnya sedang menguji kebijakan kampusnya. Menariknya persma memang selalu bisa mengambil perspektif dari sudut padang lain, yang kebetulan tidak dilihat pejabat birokrasi disana.
Kalimat yang bagus “diberedel karena berita”, ada berita menuntut transparasi dikira berita negatif-negatif. Berita fasilitas kampus yang kurang, dikira lembaga yang tidak ada manfaat bagi kampus. Berita tempat parkir bagi mahasiswa yang semprawut dikira keterlaluan, dan tidak tahu diuntung kalau sudah dijatah uang tetapi malah membuat berita yang jelek-jelek terus.
Bukankah itu memang tugas persma, yang lagi-lagi disalah artikan sebagai humas. Persma didanai memang karena fungsinya sebagai kontrol kebijakan kampus. Mengingatkan lewat berita bila dirasa kebijakan tidak sesuai harapan, sehingga bisa segera dievaluasi, bila perlu segera juga ditindaklanjuti. Bila terkait uang, bukankah itu juga uang yang terkumpul dari mahasiswa. Kalaupun mahasiswa menuntut perbaikan fasilitas, ya saya rasa sah-sah saja. Mendapatkan fasilitas dan pelayanan yang layak merupakan hak bagi mahasiswa. Pihak birokrasi sebagai pemegang kewenangan seharusnya dapat menampung segala aspirasi dari mahasiswa secara terbuka. Bukan malah memberikan teguran dengan membekukan LPM secara sepihak dengan menilai LPM tidak ada untungnya karena memberitakan keburukan kampusnya.
Baiklah kejadian sudah terjadi, dan kalangan persma Jogja bahkan Indonesia bahu-membahu menuntut keadilan, karena memang keadilan harus dicari di negeri ini. Jadi Jumat (6/5) kemarin kawan-kawan LPM Jogja menggelar aksi di gedung dewan perwakilan PP Muhammadiyah Yogyakarta. Bukan mau tawuran, demo anarkis, merusak fasilitas negara, atau bikin aneh-aneh seperti ormas mahasiswa yang juga lagi heboh kemarin-kemarin. Tetapi bersuara dan bikin pengajian untuk rasa keperihatinan melihat kawan-kawan Poros yang jelas diperlakukan tidak adil. Berjajar, berbaris rapi, berdoa, dan tidak ada niat untuk kontak fisik dengan pak polisi yang juga ikut datang. Ya masa bersholawat dan beristigfar juga mau dibekukan juga.
Dalam aksi tersebut Aliansi Solidaritas Poros UAD menuntut:
1. Menolak diskriminasi kepada Pers Mahasiswa di Kampus
2. Menolak Pers Mahasiswa Poros UAD diberedel, karena mengancam kebebasan beraspirasi bagi intelektual kampus dan mengancam tentang keterbukaan informasi intra kampus.
3. Membatalkan SK pembekuan Pers Mahasiswa Poros UAD
4. Pimpinan Pusat Muhamadiyah harus menegur birokrat UAD, karena birokrat kampus telah melakukan perilaku yang mencoreng citra intelektual para kaum akademisi
5. Birokrat UAD harus minta maaf kepada Persma Poros UAD.
Kelima poin tersebutlah yang disuarakan kepada Pimpinan Pusat Muhammasiyah agar dapat ditanggapi dan ditangani secara bijaksana.
Namun hingga saat ini belum jelas keberlanjutan nasib LPM Poros. Pendekatan melalui audiensi pun terkesan belum ada hasilnya. Jika birokrasi nekad mengeluarkan surat SK Pembekuan LPM Poros. Saya jamin, seluruh LPM dan mahasiswa yang ada di Indonesia akan melakukan aksi yang jauh lebih besar.
Harapan saya bagi seluruh LPM mari bersama-sama saling bergandeng tangan bersama-sama tetap menyuarakan kebenaran. Karena kebenaran tak akan hilang dengan adanya beredel. Poros merupakan salah satu korban ‘beredel karena berita’ dari tindakan kekanak-kanakan pihak birokrasi. Ini baru Poros, jika kita tetap membiarkan kejadian ini terjadi. Entah LPM mana lagi yang akan diberedel dengan ke-sewenang-wenangan birokrasi. Mari berdoa untuk kawan-kawan kita di Poros UAD agar diberi kekuatan dan tetap berani menyuarakan kebenaran. Amin.