Tepat hari Rabu, 1 Juni 2016, 71 tahun sudah usia Pancasila bersemayam pada bangsa Indonesia. Pancasila sebagai ideologi bangsa merupakan cita-cita mulia yang dirumuskan pejuang kemerdekaan. Proses menelurkannya pun diwarnai diskusi antar pencetus gagasan hingga mendapat protes dari warga Indonesia timur kala itu.
Musyawarah dijadikan cara pengambilan keputusan saat menciptakan dasar negara Indonesia. Bukti nyata bahwa karakter bangsa Indonesia dalam mencari mufakat melalui musyawarah pun dibuahkan pada sila keempat Pancasila. Sila keempat merumuskan tentang negara berkedaulatan rakyat menjadi landasan mutlak daripada sifat demokrasi Indonesia merupakan penjelmaan dalam dasar politik.
Halili, selaku dosen Pendidikan Kewarganegaraan dan Hukum (PKNH) UNY mengutarakan bahwa sila keempat secara politik bermakna demokrasi merupakan pilihan sistem yang bersifat final. Namun demikian, harus tetap dinyatakan bahwa demokrasi yang kita anut bersifat kontekstual dan melibatkan partikularitas Indonesia sebagai sebuah masyarakat dan entitas politik. Hasrat untuk mengintroduksi kekhasan ke-Indonesia-an itu dapat dilihat pada konsep, khususnya “permusyawaratan”.
Makna musyawarah bagi Azmiati Latifa, pegiat Kamasetra UNY merupakan pembahasan yang dilakukan bersama untuk mencapai keputusan sebagai solusi atas permasalahan. Teknisnya, semua gagasan harus tertampung terlebih dahulu agar dapat dicari keputusan yang dapat diterima bersama. Senada dengan Azmiati, Yopi Novanda selaku Ketua BEM Fakultas Bahasa dan Seni (FBS) UNY juga menuturkan “Musyawarah itu ya duduk bareng-bareng, berdiskusi bareng-bareng untuk mencetuskan mufakat.”
Mufakat secara literal berarti kesepakatan atau persetujuan bersama. Secara konseptual, mufakat yang dikehendaki dalam konteks “musyawarah mufakat” tentu bukan semata-mata kesepakatan sebagian besar orang terlibat. Konteks itu lebih sebagai hasil dari sebuah proses menggali apa, bagaimana, dan mengapa sebuah urusan harus menjadi kesepakatan bersama. Artinya, mendapat persetujuan untuk menjadi kepentingan bersama yang harus diatur sedemikian rupa guna kebaikan semua. “Mufakat ya bersama-sama untuk membuat keputusan,” ujar Permadi Suntama selaku pegiat pers mahasiswa LPPM Kreativa FBS.
Era modernisasi yang serba instan kini berdampak pada keadaan budaya musyawarah dalam pengambilan keputusan sesuai sila keempat Pancasila. Di lingkup kampus, menurut pengamatan Halili, Implementasi ideal yang terkandung dalam sila keempat belum tampak, atau paling tidak, belum ada kalangan khusus di level politik kampus yang membangun kultur atau minimal regulasi untuk melaksanakan pesan eksplisit sila keempat. Beliau beralasan bahwa merebaknya budaya instan di kalangan anak-anak muda perguruan tinggi membuat musyawarah sebagai arena yang mempertarungkan gagasan-gagasan yang rasional di atas basis kekayaan intelektual menjadi suatu hal yang tidak menarik.
Menanggapi pernyataan Halili, Umi Sarimanah selaku mahasiswa UNY mengatakan belum tentu semua mahasiswa tidak suka musyawarah. Sependapat dengan Umi, Yopi juga menuturkan bahwa budaya musyawarah dalam pengambilan keputusan di lingkup mahasiswa masih ada. Sebagai ketua BEM, dia juga mengatakan lebih mengedepankan musyawarah dalam pengambilan keputusan di organisasinya. Tujuannya jelas, agar semua gagasan dari peserta musyawarah dapat tertampung dengan baik dan keputusan final dapat diterima semua khalayak.
Sementara itu, menurut Umi, musyawarah terkadang juga memakan waktu yang lama dalam mencapai mufakat. Tama juga menimpali hal serupa, bagi dia musyawarah saat deadlock harus ada salah satu pihak yang mengalah, bisa dengan cara pengambilan keputusan voting atau sejenisnya. “Daripada muter-muter pada satu permasalahan terus tanpa ada penyelesaian yang cepat,” ujar Tama. Proses bermusyawarah barangkali dianggap sebagai prosedur yang terlalu bertele-tele. Halili berpendapat, bukan dalam makna “tidak efektif dan efisien”, akan tetapi lebih karena memunggungi budaya instan yang sudah merasuk dalam peradaban kontemporer kita.
Walhasil, kini budaya voting pun akrab di kalangan mahasiswa ketika mufakat tak kunjung tercapai. Demi kecepatan penyelesaian, mahasiswa kini lebih kompromi dalam bersikap. Bagi Azmiati, memang voting yang biasa dilakukan ketika tidak mencapai titik temu sedikit menciderai sila keempat Pancasila. “Lagi-lagi kita harus cepat menyelesaikannya mbak,” ungkap Azmiati.
Budaya voting dalam mencapai mufakat memang diperbolehkan. Dalam sila ke-4 pun menurut Halili, dijelaskan voting dapat dilakukan apabila sudah melalui musyawarah terlebih dahulu dan kesepakatan kuorum. Kelemahannya, dari segi humanis voting kurang ketimbang musyawarah. Halili menerangkan, “Voting kan layaknya memandang manusia sebagai angka bukan sebagai makhluk yang memiliki akal.”
Efek voting
Proses pengambilan keputusan menggunakan cara voting memiliki berbagai dampak, dari segi positif hingga negatif ditawarkan. Kecepatan mencapai mufakat menjadi andalan cara voting. Selebihnya, seperti elaborasi atas masalah menjadi dangkal, sulit berkembang dalam hal kognitif pada konteks pengambilan keputusan, serta terbentuknya cara pandang bersikap atas dasar mayoritas daripada urgensi bakal terasa jika kita terus-terusan tak pernah turun dalam arena pergulatan intelektual.
Harapan Halili untuk implementasi sila keempat, ada semacam restorasi kultural/kebudayaan berkaitan dengan hal-hal ideal sesuai kehendak. Restorasi yang dimaksud tentu pemulihan situasi dan kebiasaan berinteraksi secara kritis dalam aneka diskursus dalam kegiatan kemahasiswaan atau dalam aktivitas pembelajaran. Jadi, hal paling mendasar dalam kegagalan mengimplementasikan demokrasi deliberative di dunia kampus terpengaruh oleh kegagalan kultural untuk membuka dan memberi ruang-ruang publik yang bersifat equal atau setara dan kritis. [Edwin]