Kasus pemberedelan pers mahasiswa kembali terjadi, kali ini LPM Pendapa yang menjadi korban pengekangan kebebasan berekspresi yang dilakukan oleh birokrat Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa (UST) Yogyakarta. Kasus inilah yang melatarbelakangi Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia Dewan Kota (PPMI DK) Yogyakarta menyelenggarakan diskusi bertema “Kebebasan Berekspresi Dalam Perspektif Tamansiswa” pada Selasa (22/11) kemarin di Pendopo Agung Tamansiswa. Diskusi dipandu oleh Taufik Nurhidayat, Sekretaris Jenderal (Sekjen) PPMI DK Yogyakarta dengan menghadirkan dua pembicara utama yaitu Rama Prambudhi Dikimara dari Dewantara Institute dan Cahyo Purnomo Edi dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Yogyakarta.
Rama Prambudhi dalam diskusi ini mengungkapkan bahwa kasus pembekuan LPM Pendapa ini dilatarbelakangi adanya pola relasi yang salah dari birokrat UST. Menurutnya pola relasi yang dipakai berkarakter fasis yang anti kritik, bukan seperti ideologi Tamansiswa yang menggunakan sistem pamong. Selain itu, Ia juga mengungkapkan bahwa seharusnya birokrasi UST menjadikan mahasiswa sebagai partner strategis untuk mengembangkan kampus, bukan malah membatasi ruang geraknya. “Komunikasi atau pola relasi yang dipakai rektorat harusnya menjadikan UKM sebagai partner strategis untuk mengembangkan kampus,” ujar Rama.
Rama Prambudhi juga mengecam perilaku represif yang dilakukan oleh birokrasi UST, menurutnya jika pola relasi yang dipakai tidak diubah, maka Tamansiswa tinggal menunggu kehancurannya saja. Birokrasi UST juga dinilainya tidak paham dengan ke-Tamansiswa-an, banyak di antara mereka yang bukan kader Tamansiswa, sehingga tidak ada rasa memiliki. “Saya yakin rektorat tidak paham dengan ke-Tamansiswa-an,” tambah Rama.
Selain itu, Rama Prambudhi juga menilai tindakan pengekangan ini merupakan tindakan NKK/BKK yang subur di era orde baru. “Mereka (birokrat UST-red) hidup di zaman Soeharto yang melakukan pola bagaimana supaya kampus adem ayem,” ujarnya.
Sementara itu, menanggapi kasus ini Cahyo Purnomo Edi mengatakan bahwa AJI Yogyakarta sudah menyampaikannya kepada Dewan Pers. Ia juga mengimbau kepada pers mahasiswa supaya dapat mengolah isu pembredelan ini menjadi isu yang lebih luas sehingga dapat menggerakkan banyak masa. Ia berharap kasus ini dapat menjadi pembelajaran pers mahasiswa dalam melakukan cara pergerakan yang baru. “Menjadikan Tamansiswa dan kasus ini menjadi wadah pergerakan atau cara demonstrasi yang baru,” ujar Cahyo.
Senada dengan Taufik Nurhidayat yang mengimbau supaya kasus ini tidak hanya menjadi euforia semata, tetapi dapat menjada ajang pembelajaran bersama. “Jangan hanya jadi euforia saja,” tutup Taufik. [Widi]