Oportunisme

Gerakan setiap pengurus terkesan cepat namun tidak terhubung. Perumpaannya mirip gir dengan gerak rotasi, namun tak memutarkan obyek lain. Seakan gir menggerakan dirinya sendiri. Tanpa kepentingan berarti tak ada gerakan, ogah berpartisipasi akademik, apalagi ikut sumbangsih. Berlindung dengan iba kawan sepermainan, seakan menjadi ciri khas menaklukan kolega agar bungkam. Tak peduli tua muda, miskin pengalaman hingga profesional selalu takluk akan iba yang dimanfaatkan generasi oportunis dengan pikiran how make me profit?-nya. Pasti selalu dijumpai dan banyak, di kelas maupun organisasi.

Perjalanan baru kini telah dimulai. Masa peralihan siswa menjadi mahasiswa terasa diawal karena orasi kakak tingkat tentang tanggungjawab mahasiswa yang tidak hanya dalam kelas. “Agent of Change, Iron Stock!” teriakan orator berulang-ulang saat masa orientasi hingga telinga berdengung, kepala penuh, dan membara didada. Semacam doktrin wajib untuk mahasiswa baru. Terbukti, ribuan mahasiswa baru di kampus kala itu jadi berani mengepalkan tangan dan diangkatnya keatas sembari mengucap sumpah serapah yang mirip dibuat orator. Dahulu saya juga ikut terpancing, ujungnya suara serak perlahan menghilang. Usai orientasi, saya termenung sejenak di kamar kos sebelum tidur. Teriakan yang sudah ikut menyumbang gema itu seakan menjadi sia-sia jika tidak diikuti tindakan nyata, jadi saya putuskan masuk organisasi.

Organisasi memang menjadi salah satu tempat belajar selain di ruang kelas, bahkan terkadang disebut rumah kedua bagi mahasiswa perantauan. Belajar apapun, bersosial, kepemimpinan, tanggungjawab, bahkan politik pun jadi santapan. Berbagai latar belakang menjadi fitur khas individu saat menjadi calon pegiat. Mereka bersatu atas dasar kepentingan organisasi, karena merasa selaras, cocok dengan kulturnya hingga memiliki misi pribadi yang ingin disematkan. Semua orang pasti memiliki kepentingan individu dan itu mutlak.

Awal tahun menjadi tonggak paling berkesan, bisa dikatakan momen puncak semangat. Gagasan ideal dilontarkan tanpa berpikir realitas, bak hidup mengambang diatas tanah. Diskusi tak terbantahkan, tentunya agar gagasan-gagasan yang ditelurkan penuh kematangan, bukan karbidan. Kemudian kesepakatan lahir dalam bulir-bulir program dengan kelengkapan penanggungjawab dan tersusun pada dokumen bertajuk matrikulasi. Mantap menatap masa depan, perjalanan pun dimulai.

Kondisi awal mayoritas sudah bergerak serempak, saling membahu menuntaskan perjuangan organisasi. Ada juga sebenarnya yang sudah muncul dengan metode oportunisnya, lalai akan tanggungjawab sosial organisasi dan fokus dengan urusan pribadi berkedok kelompok. Program yang dijalankan pun kini terasa memiliki nilai akibat orientasi yang digeser, biasa berkemelut dengan kawan sejawat satu atap berganti ke orang-orang gedung putih di depan. Semata-mata demi mewujudkan iklim ideal lingkungan kampus, mengembalikan lagi itikad melayani kepada orang-orang yang percaya dan menjadi sumber pemasukan dan obyek penyelenggaraan. Resiko terasa meningkat dari sebelumnya, tapi hal seperti itu bukan sesuatu yang menjatuhkan rekan-rekan.

Pertengahan menuju akhir, suasana mulai menjadi-jadi, tidak ada penguatan secara individu untuk mengefektifkan kerjasama. Lagi-lagi alasan berkutat dengan personal problem menjadi sebab. Fenomena terunik, ada segelintir orang yang menimbang-nimbang pada pemilihan posisi dari segi besarnya tanggungan, seakan itu menjadi masalahnya sendiri. Kultur membentuk kualitas dengan menempa antar satu dengan yang lain agar menjadi berlian bernilai tinggi pun mulai memudar. Akibatnya, kini terlihat jelas sekat-sekat dengan alasan beda kepentingan yang menjadi budaya walau program berjalan tersendat-sendat. Saya pun sempat terseret arus populis hingga tenggelam, membuat kecewa banyak orang karena alasan kelelahan. Jujur, ingin rasanya mengucapkan maaf, dan lewat tulisanlah kepantasan pesan akan ada.

Pola pikir pekerjaan kelompok dan individu pun sempat muncul dan menjadi pembeda dalam menjalankan organisasi. Jika memandang konsepnya, memang kenyataan berbicara, tetapi tidak secara sosial. Semua adalah urusan bersama atau kelompok karena obyek yang dirugikan adalah organisasi, bukan individu. Idealnya, perlu ditanam konsep segitiga sama sisi bagi diri kita aktivis organisasi. Tiga elemen urgent yang harus sama sisi, lingkungan, sosial, dan disiplin ilmu organisasi agar perkembangan berkelanjutan berjalan.

Masalah paham oportunisme memang akan berbahaya jika tidak segera dibabat habis. Perlu ketegasan dan empati dari semua belah pihak, tidak hanya dari simbol ketua saja, karena semua individu adalah pemimpin bagi dirinya. Tujuannya jelas agar fitrah organisasi kembali ditegakkan. Anda bukanlah apa-apa jika tanpa orang lain, sebaliknya orang lain bukanlah apa-apa tanpa uluran dari anda. Berlomba-lombalah dalam kebaikan, salam perjuangan!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *