Membaca Borobudur

Candi Borobudur merupakan salah satu cagar budaya paling populer baik di kalangan masyarakat kota maupun yang berada di pelosok desa. Candi peninggalan Dinasti Syailendra ini menjadi bukti sejarah bahwa Bangsa Indonesia pernah mengalami masa kejayaan, bahkan sampai disebut-sebut sebagai negeri Atlantis yang hilang. Tercatat sejak 13 Desember 1991 Candi Borobudur diakui sebagai warisan dunia oleh UNESCO termasuk Candi Mendut dan Pawon di dalamnya.

Untuk meningkatkan kepedulian masyarakat melestarikan Candi Borobudur, Balai Konservasi Borobudur kembali menggelar pameran bertajuk “Terawang Borobudur Abad X” sejak (14–26/3) lalu. Pameran yang bertempat di Jogja Gallery, Jalan Alun-Alun Utara No. 7 Prawirodirjan, Gondomanan, Yogyakarta ini menyuguhkan kondisi candi pada abad ke-X mulai dari relief candi, relief alat musik serta lukisan tentang Borobudur abad ke-X. Terdapat juga beberapa foto prasati, foto kunjungan tokoh nasional maupun dunia seperti Ganjar Prabowo, Jokowi, sampai Che Guevara serta arsip-arsip pemugaraan candi tahap I dan II. Pengunjung juga dapat melihat beberapa arca secara langsung seperti arca Budha utuh maupun yang belum selesai, Kala Relung, dan batu-batu temuan lainya.

Pameran juga dimeriahkan dengan diskusi dan bedah film “360° World Heritage: Borobudur” produksi National Geographic menggandeng Komunitas Malam Museum pada Jumat (24/3) mulai 19.00 sampai 21.00. Diskusi ini diikuti sekitar 50 peserta mulai dari mahasiswa, komunitas, sampai masyarakat sekitar. Sebelumnya pernah digelar diskusi serupa di Benteng Vrederbrug, namun peserta yang hadir tak lebih dari 20 orang. Diskusi malam itu diawali dengan pemutaran film tentang sisi lain Borobudur, seperti ditutupnya Borobudur selama tiga bulan karena hujan abu vulkanik erupsi Gunung Merapi dan Kelud beberapa tahun silam. Tentang pembersihan dan pengelolaan candi, pemasangan beberapa arca yang runtuh akibat bom, penelitian menjaga keutuhan batu candi, sampai tantangan pengelola menghadapi ulah pengunjung yang dapat merusak candi. Setelah film selesai, acara dilanjutkan dengan diskusi bersama dua pembicara dari pengelola Borobudur yaitu Linda dan Yadi yang dimoderatori oleh Erwin dari Komunitas Malam Museum.

Pengunjung sering kali hanya menikmati indahnya kemegahan candi, tapi lupa untuk mengetahui awal mula berdirinya. Menurut beberapa thesis, saat ditemukan Candi Borobudur dalam keadaan runtuh, entah akibat bencana alam atau perang oleh anak buah Thomas Raffles. Dalam buku History of Java juga dituliskan keadaan candi pada tahun 1800-an. Sementara menurut arsitek dari Perancis, J. Dumarcay Candi Borobudur yang kita lihat sekarang merupakan hasil pembangunan tahap ke 5. Awalnya Candi Borobudur hanya berupa pagar atau teras, kemudian sekitar 792 M mengalami penambahan berupa stupa besar yang dikelilingi pagar berbentuk lingkaran di bagian atas candi. Namun karena penambahan itu justru menyebabkan beban berat akhirnya dipecah menjadi tiga buah teras dan stupa yang lebih kecil dari sebelumnya. Perubahan terakhir dilakukan pada kaki candi dan relief Kamawibangga yang ditutup dengan blok batu kurang lebih dua meter karena ada indikasi beban berat. Menurut Linda keaslian batuan pada candi saat ini sekitar 80 persen, sisanya menggunakan batu penggati. Sebagai rekaman generasi selanjutnya pada batu baru diberi tanda dengan menaruh paku, untuk membedakan batu candi asli dan pengganti,

Sisi lain dibangunnya candi ialah sebagai tempat ruh dewa bersemayam yang disimpan dalam peripih. Biasanya berbentuk emas, perak, atau perunggu dengan tulisan kuno yang tertanam dalam inti candi. Inti candi ini dianggap sebagai tempat paling sakral, sebab di situlah ruh dewa bersemayam. Hal ini terbukti pada pembongkaran kedua tahun 1974, ditemukan beberapa artefak arkeologi berupa lempengan emas bertulis kuno di dalam suatu guci.  Selain itu, ada juga nampan perunggu, lempengan perak dan emas bertulis kuno serta lempengan prasasti dari timah.

Dibahas juga tentang batu candi yang dapat aus dan terkikis karena gesekan alas kaki pengunjung. Kajian keausan tanah telah dilalukan pada tahun 2007, sedangkan tahun 2014 dilakukan upaya penanggulan seperti menyedikan keset di tangga masuk untuk menghilangkan pasir serta pelapisan beberapa bagian lantai dengan kayu atau karet untuk uji coba tingkat keausan. Ancaman selanjutnya ialah pengikisan akibat air hujan, karena itu dilakukan pemugaraan kedua untuk memasang pipa saluran air. Saluran air sebelumnya sudah tidak relevan, air yang seharusnya keluar dari perut relief malah keluar dari dalam ke permukaan sehingga dapat merusak batu. Karena dapat menyebabkan kerusakan jika air tidak dikeluarkan, maka dibuat saluran air di dalam candi yang tidak terlihat oleh pengunjung. Candi Borobudur yang berdiri di atas bukit kecil juga menjadi ancaman tersendiri seperti longsor atau amblas karena air hujan serta tekanan beban yang terlalu berat.

Diskusi juga mengarah pada permasalahan nyata Candi Borobudur, yaitu saat menghadapi pengunjung musim liburan. Yadi mengungkapkan pada satu hari lebaran jumlah pengunjung dapat mencapai 50 ribu jiwa, padahal menurut penelitian kapasitas maksimal dalam waktu bersamaan hanya boleh 258 orang. Terlebih Menteri Pariwisata juga merencanakan Borobudur sebagai destinasi wisata kedua setelah Bali. Munurut Erwin, Menteri hanya membicarakan target pemasukan saja, mereka tidak melihat beratnya pengelola merawat dan menjaga kelestarian Borobudur. Untuk menangani masalah itu, saat ini area Borobudur sedang dikembangkan titik-titik yang bisa membagi pengunjung, sehingga tidak terpusat pada Candi Borobudur saja. Beberapa arkelog juga bercita-cita supaya wisatawan hanya diperbolehkan menikmati pemandangan candi, tanpa menginjak-injak tempat beribadatan.

“Ada rencana ke depan, lihat candi dari luar saja, kalo semakin ke dalam masuknya makin mahal. Sehingga beban candi semakin sedikit. Berdiri di atas monumen itu tidak terlalu penting, yang paling penting mengetahui nilai sejarahnya, dan cukup bisa melihat aslinya tanpa menginjak-injak tempat suci,” tutup Linda.

Notes: Sepertinya kita memang perlu mengagendakan ke Borobudur sebelum ditutup untuk umum.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *