(Sumber Gambar: Pixabay.com)
Pagi dan Sahabat
Ada tiga bayangan yang mengikuti pagimu
Seperti mempelajari bintang, ia berkeliling dengan kehidupanmu
Menari pada setiap lengang tawamu
Berjalan diatas senyummu
Dan kau tentu saja tahu siapa ia atau mereka
Seperti yang kau katakan, matahari terbit tak akan ingkar janji
Kau diam mereka bersuara
Kau membantah mereka menelaah
Kau hancur mereka terkubur
Perempuan dan Ganggang Pintu
Seorang perempuan itu, aku biasa memanggilnya wanita
Ia yang memegang ganggang pintu
Yang dari besi yang dingin itu
Yang kusennya terbuat dari kayu yang sudah dan masih lapuk
Yang terbayang dalam benaknya warna pelangi
Dan satu warna putih yang menggenapkan hati
Yang tidak mengkhiati atau dalam proses mempercayai
Yang tentu saja langkah kakinya dalam keheningan
Dan setiap inci darinya adalah senyap dengan kehangatan
Yang tidak pernah takut pada matahari
Hanya mesti dalam menunduk tanah
Tidak berjarak dengan hujan dan merangkul rerumputan
Setiap pada langkah kecil ia berharap segala alam mempercaiyainya untuk bicara
Lalu memberinya pengharapan
Untuk persamaan seperti yang dijanjikan sejarah
Ganggang pintu itu, ia menaruh sedikit asa
Membenamkannya pada secercah angin
Dan lalu menempatkannya di genggaman tangan
Surga dan Indonesia
Kau bilang dunia kejam padamu
Surga tak memberimu asa
Tapi kau bilang Indonesia nomor satu
Aku bertanya pada anak muda yang jengah
Menatap laut dan angin
Dan ia mulai berkisah
Beribu tahun yang lalu tentang negeri di bawah awan
Dengan angin yang mempercainya, dengan jutaan bintang yang memahaminya
Seperti halnya laut, mereka bebas
Tidak seinci dari laut menyangkalnya terlebih mengkhianatinya
Negeri yang mempercayai saya untuk bangun ketika matahari terbit
Dan negeri yang mendamaikan seluruh hati saya ketika malam datang
Detik yang kita anggap itu berharga tak ubahnya daun yang jatuh diatas tanah gersang ketika aku tak mengharapkan pagimu negeriku
Tapi kau bilang, surga tak memberimu asa
Lalu dari siapa tanah ini?
Tentu saja dari Tuhan, dan aku mengabdi pada-Nya
Bukan untuk surga tanyaku?
Dan saat itu aku sadar
Kita tidak dalam pemikiran yang searah
Ita Aprilia. Mahasiswi Pendidikan Teknik Busana – S1. Pegiat laju dari Bantul ke Sleman setiap harinya demi belajar dan bertemu teman di kampus biru. Menyukai karya milik legend Sapardi Djoko Darmono dan Andrea Hirata. Bisa diajak ngobrol tentang karya sastra lewat akun facebook bernama Ithak.