(Sumber: mediasrikandi.wordpress.com)
Dalam budaya patriarki, perempuan dianggap lebih rendah daripada laki-laki. Mereka juga diperlakukan secara buruk. Alasannya karena menjamurnya takhayul, pendekatan tanpa nalar dan tidak masuk akal yang disuburkan, serta spekulasi juga cara berpikir irasional lainnya, hingga perempuan dianggap inferior. Lewat konflik rumit berujung taruhan nyawa, kini perempuan dapat bekerja atau memperoleh pendidikan sama halnya laki-laki.
Menurut pikiran-pikiran modern, pemberian status sederajat kepada perempuan bermakna menarik mereka keluar rumah agar berdiri berhadap-hadapan dengan laki-laki dalam semua aspek kehidupan. Kenyataannya, usaha “modern” hampir tidak membuahkan hasil manis dalam memuliakan status perempuan. Peradaban yang telah mendorong perempuan keluar dari rumah lewat slogan “Jangan membuat kopi, buatlah keputusan” dalam prakteknya malah membuat perempuan menjadi lebih rendah.
Konsep persamaan mutlak milik peradaban barat menempatkan laki-laki dan perempuan dalam bidang yang sama. Jelas perempuan tidak dapat mengejar laki-laki dengan anugerah Tuhan berupa bakat alam untuk mengerjakan suatu hal lebih baik. Akibatnya, status perempuan justru runtuh di hadapan laki-laki. Meski demikian, sekarang ini perempuan di berbagai negara secara legal telah disamakan dengan laki-laki. Tingkat pendidikan perempuan pun sudah membaik, hingga mereka mulai terlibat dipusaran arena politik dan ekonomi, walau dalam teknisnya perbedaan gender tetap ada pengaruh pada keputusan masyarakat.
Riset yang dilakukan oleh lapisan masyarakat dari berbagai bidang membuktikan pembawaan dominan sebagai penyebab munculnya perbedaan. Artinya pembawaan bersifat biologis, berkah yang memang dibawa oleh perempuan sejak lahir, dan tidak bisa dihapuskan oleh undang-undang atau ditelurkan oleh sentimen umum. Jadi, alam yang menjadi penyebab utama perbedaan, bukan lingkungan.
Kita bisa melihat sejak awal kehidupan, bakat dan minat laki-laki dengan perempuan berbeda. Anak perempuan biasanya kurang cakap dibanding laki-laki dalam bidang matematika dan dalil geometris, tetapi lebih dini belajar menghitung, serta berbicara. Ada sebuah paradoks tentang banyaknya jumlah perempuan berpendidikan, namun untuk mengisi pekerjaan yang secara tradisional merupakan profesi laki-laki tingkatannya masih rendah. Psikolog Harvard University, Matina Morner, meyelidiki dan menemukan bahwa perempuan takut bekompetisi, mereka mengalami rasa khawatir yang tinggi. Sedangkan laki-laki, justru memperlihatkan dorongan motivasi dalam berkompetisi.
“Akankah suatu hari nanti terdapat masyarakat “berkelamin tunggal, yang tidak membedakan laki-laki dan perempuan kecuali pembedaan anatomi?” tanya majalah Time. Tampaknya mustahil menurut ahli ilmu jiwa Theresa Benedek yang berujar “Biologi mendahului Kepribadian”.
Kita semua merupakan manusia, dan dalam pengertian ini kondisinya sejajar. Akan tetapi, perempuan dan laki-laki tetap berbeda, sebab persamaan seharusnya diterapkan bukan pada tempat kerja, melainkan status. Setiap orang harus dipandang dengan kehormatan sejajar, dan harus menerima perlakuan sama secara moral dan legal. Dalam kehidupan nyata laki-laki tetap lebih unggul dari perempuan, bukan karena dibentuk oleh masyarakat tetapi akibat biologis dan psikologis. Tuhan menciptakan laki-laki dan perempuan dengan sifat khusus masing-masing dan mereka dapat menjalani hidup yang seharusnya ketika bertindak sesuai dengan sifat pembawaan itu.
Ketika mereka keluar dari jalan yang seharusnya, mereka akan dicampakkan oleh alam, seperti kisah dalam novel The Lonely Lady, karya Harold Robbins. Seorang perempuan muda cantik di Amerika yang terpesona akan gemerlap dunia film hingga menanggalkan kehidupan pernikahannya demi jadi seorang artis. Sifat kewanitaan yang sempurna membantu dirinya menaiki tangga keberhasilan bahkan dengan cepat sampai pada posisi ketenaran dan kekayaan. Dia memiliki kelompok penggemar dan dikelilingi oleh barang mewah, tetapi klimaks kesuksesannya berujung pada keributan. Sekarang dia menemukan kebenaran baru bahwa ketenaran punya jalan untuk pudar. Demikian pula teman-teman memiliki jalan untuk pergi ketika sedang dibutuhkan. Sembari menghela nafas dia berkata, “Hanya perempuan yang mengetahui apakah kesepian itu”.
Persamaan memang sebuah pembebasan besar bagi perempuan. Adanya hari perempuan menandakan kita dapat belajar apa pun yang dahulu hanya diperbolehkan untuk laki-laki. Perempuan bisa memiliki bidang karir sesuai keinginan. Walaupun seorang perempuan tetaplah seorang perempuan, pengurus anak, dan bersifat mendominasi. Perempuan paham terhadap sifat khusus pemberian Tuhan, bahwa ia kelak akan menjadi seorang ibu. Mendidik anak-anaknya untuk kemudian melanjutkan peradaban. [Ithak]
0 Responses