Keindahan, Kontribusi Bagi Kemanusiaan, Sampai Keabadian Puisi

Sumber gambar: yenglis.wordpress.com

Oleh Ita Aprilia

Selamat hari puisi sedunia yang ke-17 kawan-kawan, terlambat memang. Sebab world poetry day atau hari pusisi sedunia jatuh pada tanggal 21 Maret, seperti yang di tetapkan UNESCO sejak tahun 2000 silam. Tetapi tak apa, keterlambatan juga memiliki keindahannya sendiri, bukankah lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali?

Dikutip dari fajaronline.com, tanggal 21 Maret bertepatan dengan dirayakannya hari penghapusan diskriminasi dan ras. Puisi dianggap telah memberi kontribusi untuk meningkatkan jiwa kemanusiaan, meningkatkan solidaritas, dan kesadaran diri tanpa terikat apapun. Namun kali ini, saya ingin membahas mengenai puisi itu sendiri serta penyair-penyair besar yang karyanya masih abadi hingga hari ini.

Tanggal 21 Maret sebagai hari puisi sedunia, hanya selisih satu hari dengan hari lahir bapak puisi kita, Sapardi Djoko Damono. Beliau genap berusia 77 tahun pada 20 Maret tahun ini, bulan ini pula beliau menerbitkan 7 buku kumpulan puisinya yang baru. Usia beliau memang sudah tidak muda lagi, namun mantan guru besar sastra UI ini tidak pernah kehilangan semangat berkaryanya. Karya beliau, buku puisi “Perahu Kertas” sudah dinyatakan sebagai buku puisi terbaik, Ia juga banyak menggondol penghargaan dari Malaysia kala itu. Namun sampai hari ini, belaiu tetap melahirkan karya sastra yang begitu menawan, seakan tiada puas, lelah, dan bosannya.

Bagi saya, membaca puisi beliau seperti menemukan kebahagiaan, tidak bosan saya mengulang membacanya lagi dan lagi. Dan semakin ke sini saya semakin menyadari bahwa saya adalah penganggum karya-karyanya. Seperti yang jamak dikatakan, bahwa saat kita menyukai suatu puisi kita akan merasa bahagia. Entah bagaimana, puisi yang baik adalah yang menggetarkan hati dan tak pudar keindahannya meski berulang kali dibaca. Puisi tidak harus sulit dipahami, menurut saya ia adalah keindahan yang ada dibaliknya. Namun jelas, pilihan kata dan ritme diperhitungkan benar oleh setiap penyair.

Menarik sejarah lebih jauh lagi, tentu kita tahu benar bagaimana karya-karya besar Chairil Anwar, Taufik Ismail, W.S Rendra, Sitor Situmorang, Goenawan Muhammad, Amir Hamzah, Abdul Hadi W. M. dan penyair besar Indonesia lainnya masa lampau. Mereka melahirkan karya-karya besar sehingga tetap abadi sampai saat ini. Benar petuah Pramoedya, menulislah sehingga engkau akan abadi. Tentunya bukan asal menulis, tidak semua tulisan akan membuat penulisnya abadi. Bukan sekadar menulis apa yang diinginkan pembaca, melainkan menulis dengan segenap hati, mungkin seperti itu kurang lebih maknanya.

Sebuah tulisan akan menggambarkan bagaimana kerangka berpikir pengarangnya. Apakah ia menulis dengan hatinya, atau dengan otaknya. Terutama dalam puisi, bagi saya puisi adalah karya sastra yang paling indah, sedang sastra sendiri adalah muara segala keindahan. Jadi dapat disimpulkan bahwa puisi adalah keindahan yang maha indah, atau keindahan yang tak terbantahkan.

Dalam puisi kita bisa melihat bagaimana penyair itu menemukan gayanya sendiri. Seperti kata Subinjantoro Atmosuwito, Ia menilai Abdul Hadi lebih sering bersenandung mengenai alam, sedangkan Goenawan Muhammad biasanya bersajak tentang sang waktu, Tuhan, serta maut dengan tema epik Mahabarata, tema sejarah politik atau budaya. Berbeda pula dengan Sapardi Djoko Damono yang memadukan mistik ala Amir Hamzah (bersenandung sunyi-sepi karena merasa jauh dengan Tuhan) dengan condition humaine, kemudian dijalinnya dengan lirisme yang ampuh. Bisa dikatakan ketiga penyair di atas memiliki tipe neo-romantik.

Membaca puisi akan membuat kita berpikir, bagaimana penyair mampu menciptakan karya sastra yang hebat itu. Layaknya makanan, puisi juga memiliki gayanya masing-masing, sedangkan pembaca tentu memiliki seleranya masing-masing juga. Entah puisi yang berbau religius atau puisi yang penuh romantisme. Mudah dipahami atau susah dipahami karena penuh perumpamaan, hal semacam itu juga merupakan selera.

Dari setiap karya dapat dilihat seberapa kematangan seorang penyair. H.B Jassin pernah mengatakan, banyak pengarang menganjurkan supaya tulisan kita berbobot maka perlu mendalami filsafat. Orang yang mampu membuat puisi adalah yang benar-benar memahami hidup, salah satunya adalah dari filsafat.

Membaca dan memaknai puisi tidak akan ada habisnya, selalu lahir para penyair muda dengan gayanya masing-masing yang akan menjadi penerus kesustraan Indonesia. Tetapi untuk melahirkan karya besar nan abadi seperti puisi Sapardi Djoko Damono penyair muda tentunya masih perlu mendalami hidup lebih dalam lagi.

1 Response

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *