Oleh : Teguh Iman Perdana
“Sebaik-baiknya menyimpan bangkai, pasti baunya akan tercium juga,” sebuah pepatah untuk menggambarkan fenomena yang belakangan ini sempat jadi perbincangan, yaitu kasus pelecehan seksual dosen terhadap mahasiswinya. Sebenarnya isu ini sudah sejak lama jadi perbincangan, namun karena tak pernah mendapatkan perhatian serius, semakin banyak saja yang menjadi korban ganasnya penjahat kelamin di dalam kampus. Korban pun lebih banyak memilih diam, dengan alasan malu atau enggan memperpanjang masalah.
sumber gambar : line
Saya mencoba berselancar di dunia maya, untuk mencari referensi terkait isu ini. Ada berbagai macam kasus pelecehan seksual yang biasa terjadi, bisa dalam bentuk verbal, catcalling, perilaku mesum, sampai pada tindak pencabulan atau pemerkosaan. Sayangnya banyak dari korban pelecehan tersebut yang tidak menyadari bahwa dirinya sedang dilecehkan. Adapun yang telah menyadari namun memilih tutup mulut dengan alasan seperti tadi, malu. Walhasil kasus pelecehan seksual di dalam kampus terus tumbuh subur. Namun tidak semuanya memilih diam, menurut informasi yang saya dapat, beberapa dari korban pelecehan seksual ada juga yang bersuara lantang, sayangnya tanggapan dari pihak kampus justru menyedihkan. Kampus hanya menganggap laporan korban hanya bualan belaka, bahkan ada juga yang diancam akan drop out jika dia berani menyebarkan berita tersebut ke pihak luar. Ada juga korban yang melaporkan kasus pelecehan kepada kepolisian, namun sang korban justru dianggap lebay. “Dicium aja kok lapor, kalau diperkosa baru, kalau gini kan mbak nya yang jadi repot,” kata petugas kepolisian menurut pernyataan korban. Halloo!! Bapak, coba sini, biar istri atau anak perempuan bapak saya cium, bagaimana perasaan Bapak? Apa harus menunggu diperkosa dulu baru boleh lapor?
Bagi kampus-kampus ternama, apalagi menempati peringkat atas, tentu kasus-kasus seperti ini akan menodai reputasi kampus. Namun apalah arti nama besar jika di dalamnya banyak predator-predator kelamin yang siap menerkam mahasiswinya kapan saja? Padahal nama besar dan peringkat kampus yang baik tidak pernah lepas dari faktor mahasiswa. Mahasiswa ibarat roda, yang akan membawa kampus mencapai tujuan yang diinginkannya. Sayangnya sekencang-kencangnya roda berputar, dia akan tetap berada di bawah. Sama seperti mahasiswa.
Dilansir oleh Tirto.id, bahwa pelecehan yang dilakukan oleh dosen laki-laki terhadap mahasisiwinya semakin ke sini semakin banyak, keberanian para dosen lelaki yang melakukanya tidak lepas dari longgarnya aturan kampus yang mengatur akan hal itu. Meski sudah ada kode etik di dalam kampus, namun kode etik tersebut tidak dapat dijadikan tiang pegangan, sebab tidak ada petunjuk pelaksanaannya. Sehingga jikadigunakan sebagai dasar pembuatan sanksi tidak akan kuat.
Selain itu, tidak adanya data komprehensif yang memuat berbagai kejahatan seksual, baik oleh siapa dilakukan dan siapa korbanya membuatnya menjadi sulit untuk mengusut kasus ini sampai ke akar-akarnya. Relasi kuasa yang dimiliki dosen tentu menjadi faktor tersendiri mengapa pelecehan seksual terus saja berlangsung. Bagaimanapun dosen memiliki kewenangan dan otoritas untuk mengajar, menilai, dan membimbing. Kuasa inilah yang kerap disalahgunakan untuk menekan mahasiswi agar tidak melaporkan perbuatan bejatnya. Belum lagi jika dosen mengancam akan mempersulit studi yang dijalani sang mahasiswi, makin pusing dah.
Pihak kampus harus mulai membuka mata seiring dengan semakin banyaknya kasus-kasus pelecehan seksual yang mencuat ke permukaan. Kampus harus semakin ketat dalam membuat aturan sekaligus dalam pengawasannya, jangan sampai jatuh korban-korban selanjutnya. Kampus harus bersikap tegas pada siapapun yang melakukan kejahatan seksual, termasuk terhadap dosen. Tak penting lagi nama besar kampus kalau di dalamnya hanya berisi predator-predator kelamin yang siap memangsa siapa saja. Ini kampus, kawah candradimukanya para intelektual, Bung! Jangan lagi tutup-tutupi perbuatan binatang yang kurang ajar itu.
Jika kampus berani memecat mahasiswanya hanya karena demonstrasi, menyalurkan aspirasinya sebagai warga negara melalui jalan yang legal, kenapa kampus tak berani bersikap tegas pada dosen yang tidak bisa menjaga kemaluannya? Ingat kata Pram! Bersikaplah adil sejak dalam pikiran! Aksi demonstrasi mungkin akan cepat dilupakan hanya dalam beberapa bulan, tapi tndakan pelecehan seksual akan selalu diingat oleh siapapun korbannya sampai seumur hidup. Bisa saja pelecehan tersebut akan membuat si korban depresi, lalu bunuh diri, hilang satu lagi harapan bangsa ini.
Aset yang sangat penting ini harus dijaga sebaik-baiknya. Apalagi kasus pelecehan seksual kebanyakan dialami oleh perempuan yang kelak akan melahirkan generasi-generasi selanjutnya. Kemenristekdikti sebagai pemegang kekuasaan atas kampus-kampus di Indonesia juga sangat diharapkan perannya dalam menanggulangi persoalan ini. Kemenristekdikti harus tegas dalam mendalami dan mengusut tuntas kasus pelecehan seksual, khususnya di dalam lingkungan kampus. Mahasiswa harus bisa merasa aman dan nyaman berada di dalam kampus supaya dapat menyerap berbagai ilmu. Tapi jika para predator kelamin masih saja dibiarkan bebas berkeliaran di dalam kampus, bagaimana rasa nyaman dan aman itu dapat terwujud?