Oleh Widi Hermawan
Bisa dibilang saya cukup terlambat mengenal sosok Pramoedya Ananta Toer dan karya-karya fenomenalnya. Baru di bangku kuliah saya membaca bukunya. Itupun setelah di-cekoki oleh senior saya di pers mahasiswa. Sejak kecil saya memang bukan pembaca yang baik. Sampai lulus sekolah tingkat atas, buku bacaan yang habis saya baca bisa dihitung jari. Saya bisa sangat lama membaca sebuah buku, bahkan yang tebalnya tidak sampai 200 halaman. Begitu juga dengan buku Bumi Manusia, buku Pram pertama yang saya baca. Hampir satu tahun waktu yang saya butuhkan untuk menyelesaikan membaca buku itu. Bagaimana tidak lama, setiap membaca dua halaman saya selalu tertidur. Itulah penyakit saya, selalu mengantuk ketika membaca. Dari situ saya mulai suka mengoleksi buku, bukan untuk menambah wawasan, tapi untuk obat tidur ketika dilanda insomnia di tengah malam yang sunyi.
Buku Pram yang pertama saya baca benar-benar membuat saya kecewa. Saya kecewa dengan diri sendiri, mengapa baru setua ini saya membaca karyanya. Tapi orang bijak bilang, lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali. Pepatah itu juga yang membuat saya kerap salat subuh jam delapan. Jika Hanung Bramantyo mengatakan inti dari Bumi Manusia adalah kisah asmara antar dua anak muda bernama Minke dan Annelies, saya justru melihat lain. Mungkin karena terlalu lama tak merasakan api asmara membuat hati saya beku, hingga tak begitu tertarik dengan kisah asmara yang diceritakan Pram di Bumi Manusia. Saya lebih tertarik pada tokoh wanita di dalamnya. Siapa saja yang pernah membaca Bumi Manusia tentu mengetahui tokoh bernama Nyai Ontosoroh. Wanita revolusioner bernama asli Sanikem inilah yang paling berkesan bagi saya di dalam Bumi Manusia. Dengar Hanung, Nyai Ontosoroh, bukan Annelies!
Sumber gambar : pictasite.com
Nyai Ontosoroh alias Sanikem sangat tepat untuk dijadikan teladan bagi wanita-wanita pribumi. Jika selama ini stereotipe yang digambarkan pada wanita jawa hanya sisi kelemahlembutannya saja, harus menurut pada suami apapun yang diperintahkannya, sekadar mengurusi urusan dapur, sumur, dan kasur, Pram mampu membongkar semua pandangan itu. Pram menggambarkan Nyai Ontosoroh sebagai wanita Jawa yang tidak hanya lemah lembut, tapi juga gagah berani, bak Srikandi dalam kisah Mahabharata.
Seperti kata pepatah, pelaut yang ulung tak pernah lahir dari lautan yang tenang. Begitu juga Nyai Ontosoroh. Ia menjelma menjadi wanita luar biasa juga melalui proses yang tragis, tak sekonyong-konyong terlahir dengan segala kecerdasan, kekuatan, dan keteguhannya. Di usia belia, Dia dijual oleh ayahnya, Sastro Kassier, seorang juru tulis pabrik gula di Tulangan, Sidoarjo kepada seorang Eropa pada usia 14 tahun demi sebuah jabatan. Karena itulah kebencian terhadap sang ayah membatu dalam hatinya. Meski sempat terpuruk, namun Nyai Ontosoroh mampu untuk bangkit, berkat tuannya.
Awal mula menjadi Gundik, Sanikem diperlakukan bak ratu di sebuah kerajaan. Gadis belia ini begitu dimanjakan oleh Herman Melemma, pria Belanda yang mempergundiknya. Tidak hanya itu, Sanikem muda juga diajari bagaimana bersikap seperti wanita Eropa yang terdidik, dia diajari membaca, berhitung, berbahasa Belanda dan Melayu, hingga seiring berjalannya waktu, Sanikem muda berubah menjadi Nyai Ontosoroh dewasa yang tidak hanya mandiri, tapi juga lihai mengurus perusahaan. Ia dapat mengerjakan pekerjaan-pekerjaan kantor yang bahkan para pria di masa itu jarang bisa melakukannya. Bahkan kondisi berbalik, bukan lagi Nyai Ontosoroh, tapi tuannya, Herman Melemma yang bergantung pada sang gundik. Hal ini ditunjukkan oleh Pram melalui sebuah percakapan antara Nyai Ontosoroh dan Herman Melemma pada Bumi Manusia halaman 93 ketika ayah Nyai Ontosoroh hendak mengunjungi rumah mereka.
“Aku memang ada ayah, dulu, sekarang tidak. Kalau dia bukan tamu tuan, sudah aku usir”
“Jangan,” tegah Tuan.
“Lebih baik pergi dari sini daripada menemuinya”
“Kalau pergi, bagaimana aku? Bagaimana sapi-sapi itu? Tak ada yang bisa mengurusnya”
“Banyak orang bisa disewa buat mengurusnya”
“Sapi-sapi itu hanya mengenal kau”
Bahkan Nyai Ontosoroh tak gentar mengusir tuannya, Herman Melemma dari rumahnya sendiri ketika Melemma mulai kehilangan akal warasnya. Melemma menjadi pemabuk berat, jarang pulang karena terjebak di tempat pelacuran milik seorang Tionghoa. Hingga akhirnya Melemma tewas dalam keadaan mengenaskan.
Nyai Ontosoroh menjadi sosok wanita idealis nan revolusioner yang selangkah lebih maju ketimbang zamannya. Dia tak ragu menentang kolonialisme ketika hak-haknya direbut paksa. Dalam sebuah pengadilan yang tengah mengurusi sengketa antara Nyai Ontosoroh dan Maurits Melemma, anak Herman Melemma di Belanda, Nyai Ontosoroh berkata pada Minke.
”Biarpun tanpa ahli hukum, kita akan jadi pribumi pertama melawan pengadilan putih, Nak”
Saat itu, melawan hukum kolonial sama saja bunuh diri. Sekuat apa pun argumen dan data yang dimiliki seorang pribumi, di depan hukum kolonial mereka tak punya kekuatan apa-apa. Meski sudah dipastikan kalah, namun Nyai Ontosoroh tak patah semangat, api perlawanannya terus membara.
“Dengan melawan kita tak akan sepenuh kalah,” kata Nyai Ontosoroh pada Minke.
Minke sendiri menjadi orang paling beruntung yang belajar langsung pada wanita revolusioner itu, bahkan menjadi menantunya. Tanpa Nyai Ontosoroh, Minke tak akan menjadi pembangkang kolonial yang ulung. Atas bantuan Nyai Ontosoroh juga akhirnya Minke dapat mendirikan Medan Priyayi, perusahaan media pribumi pertama yang begitu keras mengkritik kekuasaan kolonial.
Pram seolah ingin berkata pada setiap pembacanya, “begini lho wanita pribumi seharusnya”. Memang hampir semua tokoh wanita pribumi digambarkan oleh Pram memiliki karakter yang begitu kuat, bahkan di buku-buku selanjutnya. Sebut saja istri ketiga Minke, Princess Kasiruta, juga Siti Soendari, murid Minke. Tidak hanya di Tetralogi Pulau Buru, di buku lainnya seperti Gadis Pantai, Larasati, Panggil Aku Kartini Saja, dan buku-buku lainnya hampir semua menggambarkan sosok wanita pribumi dengan karakter kuat sehingga begitu melekat dan sulit dilupakan.
Meski begitu, bagaimanapun Nyai Ontosoroh adalah seorang wanita dengan segala kelembutan kasih dan cintanya. Mungkin secara materi dia bisa memenuhi semua kebutuhannya sendiri, tapi dia tetap membutuhkan kasih sayang seorang lelaki. Itu sebabnya akhirnya Ia menerima pinangan Jean Marais, seorang seniman, mantan tentara, sekaligus sahabat Minke.
“Jangan sebut aku perempuan sejati jika hidup hanya berkalang lelaki. Tapi bukan berarti aku tidak butuh lelaki untuk aku cintai,” kata Nyai Ontosoroh yang semakin memperjelas paradoks dalam dirinya. Wanita memang penuh paradoks, sebab itu ia sangat sulit dipahami.
Jika boleh jujur saya sangat kesulitan menggambarkan sosok Nyai Ontosoroh secara utuh seperti yang digambarkan Pram. Saya selalu kesulitan menemukan kata yang bisa menjelaskan seberapa luar biasanya sosok wanita ini. Sosoknya begitu menonjol juga menginspirasi, bahkan di ketiga roman lainnya setelah Bumi Manusia. Tampaknya untuk bisa mendapatkan gambaran yang ideal tentang Nyai Ontosoroh jalan satu-satunya adalah dengan membaca langsung keempat roman Pram dalam Tetralogi Pulau Buru. Bagaimana dengan film yang sedang digarap Hanung? Tak usah berharap lebih jika tak ingin menderita kecewa yang dalam.