Perjalanan ke Magelang Utara: Pembelajaran Daring di SDN Ketunggeng 1 dan Sepotong Kisah Seorang Pendidik

Teko air sudah mengeluarkan bunyi, tanda air telah matang. Saat kopi dan susu kental manis telah masuk dalam gelas dan tinggal menuangkan air panas, suara knalpot motor matic terdengar. Pimpinanku tiba dahulu.

“Yang lain mana?”

“Ngaret.”

Selang setengah jam, yang ditunggu tiba. Kopiku telah tandas dan kretek pimpinan hanya menunggu untuk hisapan terakhir yang nikmat. Setelah asap terakhir dihamburkan, kami pun memulai perjalanan menyusuri jalan Magelang yang lenggang.

Tiga puluh menit kami menghabiskan waktu untuk menuju Sekolah Dasar (SD) Ketunggeng 1. Sekolah yang terletak di Kecamatan Dukun itu sangatlah tenang tidak terlihat seperti sekolah pada umumnya yang berisik dengan hiruk pikuknya siswa.

Guru yang masuk hari itu dapat dihitung jari. Dari bilik jendela, terdengar sayup dangdut koplo dengan guru yang sedang duduk sambil menatap laptop ataupun gawainya masing-masing. Setelah kami parkirkan kendaraan, seorang guru keluar dari salah satu ruang kelas dan menyambut kami dengan senyuman hangat. Dibawanya kami oleh Sri, guru tetap kelas 6 di SD tersebut. Sebelum kami memulai dialog, seorang wali murid datang dengan menenteng buku

“Bu ini tugas dari anak saya yang minggu kemarin,”

“Ya, pak taruh sana saja,” jawab Sri dan kembali memfokuskan dirinya pada kami.

Mengajar dengan konsep Luring

Semenjak pandemi, pendidikan di Indonesia berubah total. Murid dirumahkan agar terhindar dari virus. Hal ini menjelaskan mengapa suasana sekolah menjadi sangat tenang.

“Untuk anak-anak itu tidak boleh menginjak kesekolahan, karena di Magelang sangat rawan,” ujar Sri.

Intruksi Pemerintah untuk mengubah metode belajar siswa dari tatap muka menjadi daring dilakukan serentak di Indonesia. SDN Ketunggeng 1 sendiri juga melaksanakan intruksi tersebut. Namun diakui Sri, bahwa pembelajaran daring tidak bisa diterapkan 100 persen oleh sekolahnya. Hal ini karena kuota internet yang dibebankan kepada pengajar dan siswa. Ditambah para pengajar disini masih berusaha mencari jalan terbaik dalam pemberian materi ke siswa dengan daring.

“Kalau dari pihak sekolah juga merasakan keberatan dalam kuota internetnya maupun dalam pemberian materi kepada siswa. Wali murid juga sudah complain untuk paketannya sangat boros,” tutur Sri.

Potret Literasi dari Lereng Merapi

Terkait pemilihan aplikasi untuk pembelajaran, pengajar di SD Ketunggeng menggunakan WhatsApp (WA). Dipilihnya WA sebagai media pembelajaranya adalah bentuk usaha bersama guru menghadapi intruksi pembelajaran daring.

“Ini murni usaha dari guru-guru sendiri, jadi kenapa banyak guru hanya menggunakan WA, karena selain WA itu kita tidak bisa”

Terkait aplikasi lain yang digunakan pengajar, itu hanya inisiatif pribadi dan bukan dari pelatihan atau intruksi dari pemerintah. Sri sendiri menggunakan media daring tambahan google form untuk membantu ujian murid.

“Kemarin hanya ada pelatihan Microsoft 365. Tapi, itu pribadi, tidak dari pemerintah atau dari sekolah,” Sri melanjutkan ilmu yang dia punya belum bisa diturunkan kepada teman-temanya sesama pengajar.

Demi memaksimalkan pembelajaran siswa di masa pandemi dan sebagai jalan keluar atas keluhan wali murid perihal kuota internet, pihak sekolah juga melakukan pembelajaran secara luring. Metode luring ini memaksa orang tua untuk turut berperan aktif. Terkait teknis pelaksanaan metode ini, guru meminta wali murid untuk mengambil serta mengumpulkan tugas yang akan dan sudah dikerjakan oleh anaknya.

“Akhirnya daring dibersamai dengan luring. Jadi daringnya melalui WA dan luringnya diambil oleh wali murid disini (di sekolah),”

Sri menceritakan juga bahwa ujian tengah semester kemarin banyak guru yang memilih mengujikannya dengan metode luring daripada daring.

Dedikasi

Sekolah telah menjalankan pembelajaran daring selama tujuh bulan. Selama itu, guru merasakan manis dan pahit mendidik siswa dengan metode pendidikan ini. Banyak kendala yang dihadapi para guru ketika mengajar. Sri mengisahkan ketika ada wali murid yang datang padanya. Berkeluh kesah tentang mendampingi anaknya belajar dirumah.

“Kemarin ada wali murid datang. Ketika pelajaran matematika, pecahan. Pecahan bagi orang tua yang pekerjaannya buruh tani atau hanya dirumah kan tidak tahu pecahan itu apa. Padahal anaknya sebenarnya sudah tahu. Nilainya saja bagus.”

Lanjutnya, wali murid tersebut mengemukakan keresahannya dalam membagi waktu pekerjaan dan mendampingi anaknya.

“Pusing saya seperti ini, saya sendiri yang bekerja, yang makan lima, sekarang paketannya Ya Allah, terus pripun?” Ujar Sri menirukan perkataan wali muridnya.

Terkait tanggapannya terhadap pembelajaran daring ini, dianggapnya susah dan merasa tidak puas.

“Susah saya, susahnya begini tidak maksimal dalam mengajar. Saya kecewa kalau seperti ini. Sebenarnya, saya punya kewajiban untuk menjelaskan sejelas-jelasnya semua materi yang ada tapi tidak bisa akhirnya tidak sedikit pandangan negatif orang tua kepada guru,” lanjutnya menirukan pandangan wali murid yang ia dengar “ Ehmm Ra mulang bayaran (Tidak mengajar, gajian).”

Padahal diakuinya beliau tetap melakukan tahapan pendidikan. Seperti menyusun Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), administrasi, dan penilaian siswa hanya saja secara tidak langsung. Beban kerjanya bertambah karena dirumah pun masih mengurus kegiatan sekolah, seperti menjawab apabila ada wali murid yang bertanya. Bahkan diakuinya ada wali murid yang mengirimkan pesan tentang soal anaknya pada jam 12 malam.

Suara tenang dengan intonasi jelas pada tiap kalimat yang dilanturkannnya, pembicaraan yang santai, kadang tertawa bersama, dan kesan-kesan yang biasa timbul ketika seorang ibu berbicara pada anaknya, membuktikan 23 tahun pengabdiannya memang terlihat.

Penulis : Airlangga

Editor : Fairuz

0 Responses

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *