Pahlawan merupakan orang yang menonjol karena keberanian dan pengorbanannya dalam membela kebenaran. Saat ini, pahlawan bukan hanya sekedar sebutan untuk para tokoh yang memperjuangkan kemerdekaan Indonesia, namun bisa diartikan lebih daripada itu, seperti yang saya temukan di sudut Condongcatur ini.
Jendelist adalah sebutan untuk para relawan dalam Komunitas Jendela. Minggu lalu, ditemani gerimis, saya mengobrol santai dengan teman-teman Jendelist Jogja di sebuah kedai kopi kekinian daerah Condongcatur, Depok, Sleman, D.I. Yogyakarta. Semakin sore, hiruk-pikuk di sini semakin terasa. Terlebih saat itu sedang weekend, banyak orang memilih menghabiskan waktu dengan bersantai. Namun, keramaian di sini tidak membuat kami terganggu. Justru membuat suasana di sini semakin hangat hingga banyak hal yang kami bahas saat itu.
“Awal mulanya, dari sekumpulan mahasiswa yang lagi ada project di kaki Gunung Merapi pada tahun 2010. Saat itu lagi ada erupsi, jadi banyak donasi datang berupa pakaian, makanan, dan lain sebagainya. Tapi, sayangnya enggak ada bantuan yang difokuskan buat anak-anak di sana. Padahal, anak-anak di sana pasti juga punya rasa trauma. Maka dari itu, dibuat project buat membantu proses trauma healing. Nah, karena project itu berhasil, kok jadi ketagihan dan pengen buat sesuatu yang baru. Akhirnya, dibentuklah Komunitas Jendela pada tahun 2011,” Uta mulai bercerita.
Awal mula yang tak terduga, pikirku. Hanya berawal dari rasa kepedulian antar sesama, khususnya anak-anak. Mereka berhasil membuat suatu perubahan, tentunya perubahan menuju lebih baik bukan malah sebaliknya. Mereka rela berjuang untuk membantu anak-anak yang tidak seberuntung kita. Bahkan, mereka rela mengorbankan waktunya untuk mencari target desa binaan, membuat program kurikulum agar acara berjalan lancar, mencari donasi buku, memikirkan cara agar anak-anak binaannya tidak bosan saat berada di perpustakaan, dan lain sebagainya tanpa mengharapkan imbalan sepeser pun.
Baca Juga:
Batik Tasik: Warisan Budaya Indonesia yang Harus Dilestarikan
Seperti yang diketahui, Kota Yogyakarta akrab dengan sapaan Kota Pelajar. Banyak mahasiswa dari luar kota bahkan luar Pulau Jawa rela merantau ke Kota Yogyakarta hanya untuk melanjutkan studi. Hal itu, membuat para Jendelist yang berasal dari luar Yogyakarta terinspirasi untuk membuat kegiatan yang sama di daerah mereka masing-masing. Melihat situasi di daerah mereka yang cocok menjadi target kegiatan Jendela, mereka akhirnya membuat Komunitas Jendela dengan nama sesuai wilayah masing-masing. Berkat perjuangan para Jendelist yang berasal dari luar Kota Yogyakarta itu, saat ini Komunitas Jendela tidak hanya berada di Kota Yogyakarta saja. Namun, sudah tersebar di beberapa wilayah seperti, Bandung, Jakarta, Malang, Lampung, dan Bengkalis.
Kegiatan Jendela memiliki dua tujuan. Pertama, untuk mengenalkan buku pada anak-anak. Kedua, untuk menumbuhkan rasa nyaman pada anak saat berada di perpustakaan. Maka dari itu, para Jendelist harus berpikir kreatif agar anak-anak binaannya senang mengikuti kegiatan tersebut. Biasanya, anak-anak akan dibebaskan membaca selama 30 menit terlebih dahulu. Jika mereka terlihat sudah mulai bosan, akan dilakukan ice breaking, lalu dilanjutkan acara inti. Acara inti biasanya dapat berupa mewarnai dan permainan harta karun. Di akhir acara, mereka akan diberikan reward berupa alat tulis atau makanan ringan. Mereka juga menambahkan berbagai macam mainan seperti puzzle, dakon / congklak, dan buku mewarnai di dalam perpustakaan agar anak binaannya merasa nyaman.
Selama ini, antusias anak binaannya bagus. Namun, kadang terkendala dengan jumlah anak-anak yang lebih banyak daripada jumlah relawannya ataupun sebaliknya. Kendala lainnya, sampai sekarang belum menemukan formula hari yang tepat untuk kegiatan itu karena biasanya dilakukan setiap hari Sabtu dan Minggu. Padahal, hari-hari itu biasanya digunakan untuk bersantai dengan keluarga. Meskipun masih ada beberapa kendala, hal itu tidak menurunkan semangat belajar pada diri anak-anak binaanya. Seperti kisah yang diceritakan oleh Uta sore itu.
Dua tahun yang lalu, di sekretariat Komunitas Jendela Jogja daerah Monjali, ada salah satu anak binaannya yang masih berusia lima tahun. Dia datang ke perpustakaan berniat untuk meminjam buku.
“Mas, aku pinjam buku tapi kalau bisa yang ukuran hurufnya besar-besar,” ujar anak itu polos.
“Loh, memangnya kenapa?” jawab Uta terheran.
“Kalau ukuran hurufnya kecil-kecil, Ibuku enggak bias baca Mas,” anak itu menjelaskan.
Baca Juga:
Anak itu meminjam buku setiap dua hari sekali di perpustakaan untuk dibawa pulang. Usianya masih lima tahun, belum bisa membaca, bahkan di rumahnya tidak tersedia buku cerita, namun dia sudah punya inisiatif untuk meminjam buku dan meminta tolong kepada Ibunya untuk membacakan buku pinjamannya. Hal tersebut, menggambarkan betapa besar semangat belajar pada diri anak binaan di sana. Bahkan, saat ini yang mengelola perpustakaan di sana adalah anak binaannya dulu. Setelah masuk SMP, dia mulai menjadi Jendelist di daerahnya sendiri.
Kisah lainnya berasal dari Desa Turgo, anak-anak di sana terlahir dari orang tua yang dari segi pendidikannya masih tertinggal dibanding desa lain di sekitarnya. Di sana anak-anak dibebaskan berbuat apapun, asalkan mereka bekerja. Miris memang, biasanya anak seusia mereka giat belajar ke sekolah, namun karena kondisi ekonomi mereka terpaksa mencari uang sendiri. Kurangnya dari segi pendidikan di sana membuat anak-anak di sana menjadi tidak terarah. Mereka tumbuh menjadi anak-anak semi / tanggung atau anak-anak tidak tergolong dewasa, namun juga tidak tergolong kecil. Mereka bebas minum-minuman keras. Jadi, para Jendelist berupaya untuk memisahkan anak-anak tanggung itu dengan anak binaannya agar memiliki masa depan yang lebih baik daripada orang tuanya.
Dua kisah menarik tadi hanyalah sedikit contoh, masih banyak kisah menarik lainnya yang dapat kita temui di luar sana. Di momen hari pahlawan, orang-orang seperti teman-teman Jendelist dan ribuan relawan di luar sana juga patut disebut pahlawan. Mereka rela berjuang dan berkorban hanya untuk menumbuhkan minat baca anak di desa-desa yang tertinggal dan belum terfasilitasi buku. Hanya saja kisah-kisah perjuangan mereka belum banyak terekspos pada khalayak, jadi banyak diantara kita yang masih belum mengenal mereka.
Penulis: Ratna
Editor: Akbar Farhatani
0 Responses