Penulis : Naufalda Zaina H.
Sepulang dari meminta ditemani membeli senar gitar, Baruna pria yang begitu bangga dengan namanya yang berarti samudra membujuk kembali Shada untuk menemaninya membeli es doger. Shada mengiyakan ajakannya.
Warung yang dituju mereka berada di dekat bengkel kereta api tua, Balai Yasa.
Baruna hendak menawarkan seporsi batagor atau siomay untuk Shada. Namun perempuan itu menolak halus, katanya sudah ada rencana makan lotek di warung dekat rumahnya nanti.
Usai memesan, mereka duduk di salah satu kursi yang tersedia. Tidak menunggu lama pesanan mereka datang. Binar kebahagian memancar di mata Shada ketika menatap dua gelas es doger yang datang. Kebahagiannya tercipta dengan sebab yang terlalu sederhana.
“Kalau masih gak suka, roti tawarnya kasih ke aku ya,” seru Shada. Ia mengacungkan sendoknya ke arah gelas Baruna.
Baruna tidak lagi kaget mendengar perempuan itu berterus terang soal keinginannya itu. Termasuk meminta potongan roti tawar es doger dari gelas Baruna. Ia mengangguk dengan ekspresi meniru ekspresi semangat Shada yang hendak mengambil paksa potongan roti tawar miliknya.
“Gimana sekarang?” tanya Baruna sambil meletakkan potongan roti tawar terakhir dari gelasnya ke gelas Shada.
“Soal apa? Kesibukan atau perasaan?”
“Soal rambut saya,”
“Bagus kok. OK pokoknya. Apalagi kalau dikucir begitu mirip dengan rambutnya Abdur Stand Up Comedy.”
“Kayaknya rambut si Abdur dipotong pendek dan nyaris botak deh.”
Shada terseyum kemudian terdiam, pikirannya berkelana kemana-mana mengingat jawaban Baruna tadi. Kata “rambut”, “Abdur”, dan “botak” membawa pikiran Shada mengingat kembali peristiwa awal yang terjadi saat mereka berkenalan.
Perkenalan itu terjadi hampir dua tahun lalu. Berawal dari pertemuan pertama mereka yang biasa saja. Tidak ada adegan tabrakan sambil membawa buku atau rasa kagum yang tiba-tiba muncul dan meledak di dalam hati seperti adegan film cintaremaja.
Mereka hanya dua manusia yang secara kebetulan meneduh dari hujan yang lebat waktu itu di salah satu gedung kampus biru. Mereka sering bertukar pandang sekilas namun tidak juga ada inisiatif bertukar suara.
Setelah pertemuan itu mereka sempat bertemu beberapa kali di berbagai tempat di kampus biru, namun dengan tatap mata yang sama dan seakan berkata, “kami tidak saling kenal, jadi cukup mengangguk, atau minimal tidak memasang wajah ketus saat berpapasan. Tidak perlu menyapa ramah dan basa-basi mengungkit pernah bertemu saat sama-sama menunggu hujan, seolah momen itu adalah peristiwa yang tidak bisa dilupakan.”
Waktu berselang dan mereka dipertemukan kembali oleh hujan yang menyuruh mereka untuk kembali berteduh. Lokasi mereka berteduh berbeda dengan lokasi yang pertama, tapi masih di kawasan kampus biru.
Matanya cukup jeli untuk menyadari bahwa perempuan di sampingnya beberapa kali mencuri pandang ke arahnya.
“Kenapa rambut saya aneh?” Baruna memulai percakapan. Dia agak was-was kalau Shada akan menjawabnya ketus atau marah karena merasa tertuduh.
Beberapa detik Shada terdiam dan terus menatap ke arah rambut Baruna. Mata Baruna menatap kearahnya. Alisnya digerakan naik turun seolah menanyakan apakah ada yang aneh pada penampilannya.
Sebenarnya sejak Baruna berdiri disampingnya, Shada tidak pernah memiliki fokus dengan rambut keriting yang sedikit mengembang itu, dia lebih tertarik dengan parfum beraroma kopi yang sangat ia suka karena bukan jenis yang menyengat dan menusuk hidung.
Shada masih terdiam menatap rambut Baruna, dan bingung harus menjawab apa. Baruna akhirnya membuka mulut lagi. Suara Baruna yang sedikit serak itu membuat suasana hening yang diantara mereka pergi.
“Ha? Enggak kok, bagus kayak punya Abdur Stand Up Comedy,” jawab Shada sedikit gugup.
“Oh.., pernah nonton, dia potong nyaris botak seingatku.”
“E… Rambutnya sekarang, coba deh dilihat di internet,” Shada menyuruh Baruna mengecek di situs pencaharian tentang bentuk rambut komedian itu. Keduanya kembali terdiam sama-sama hanya menatap hujan dan mengusap siku tangan masing-masing.
“Dari Prodi apa?” tanya Shada basa-basi.
“Prodi yang ada mahasiswanya, kamu prodi apa?”
“Prodi yang ada dosennya.”
Baca juga :
Baruna tertawa kecil, mengulurkan tangannya dan memperkenalkan diri. Shada menyambut tangan itu dengan senyum ramah dan tambahan keterangan bahwa dia menolak dipanggil Shasa atau pun Sasa. Baruna mengangguk tanda setuju.
Setelah perkenalan itu keduanya terdiam, suasanya berubah canggung. Shada berharap hujan lekas berhenti, jadi dia bisa menutup perbincangan dengan kalimat yang tidak mengantung, contohnya kalimat pamit pergi duluan.
Di tengah kehingan itu Baruna mengucir rambutnya ke belakang membuat Shada yang diam-diam melirik kembali dan teringat lagi soal pertanyaan Baruna terkait rambut.
“Tadi saya betulan gak ngelihatin rambutmu,” ucap Shada spontan saat memperhatikan Baruna mengucir rambut. Klarifikasi yang tidak perlu sebenarnya, tapi terlanjur dilontarkan. Sekarang rambut Baruna benar-benar terlihat persis seperti milik Abdur Stand Up Comedy.
“Sama saya juga gak ngelihatin rambutmu.”
“Lah kalau lihat brati saya pakek topi, bukan kerudung.”
Kenangan percakapan itu tidak berlanjut. Lamunan Shada akan ingatan itu tiba-tiba buyar ketika Baruna membentak kearahnya. Kemudian percakapan kembali di warung es doger.
“Serius Sha,” seru Baruna.
“Wah, aku carinya yang duarius, tigarius, atau empatrius.”
“Kalau tidak bisa, bilang saja Sha, terus terang kayak waktu kamu minta potongan roti tawarku.”
“Aku tidak suka, soal hubungan yang seolah terikat padahal tidak ada talinya,” Shada menjawab dengan nada tegas tapi pelan. “Kalau dari awal tidak mau ada hubungan lebih, seharusnya tidak perlu bicara perasaan.”
“Aku cuma nggak mau, suatu hari nanti harus merubah kamu menjadi bagian dari masalaluku karena gagal aku pertahankan.”
“Berarti kamu saja yang belum benar-benar jatuh cinta,” jawab Shada sambil diam-diam menahan degupan bahagia dan sakit dalam hatinya.
“Kalau kamu sendiri? Adakah kamu mencintaiku?”
“Ada, tapi hari ini berkurang” Shada tersenyum dengan senyuman paling terpaksa.
“Sepertinya aku harus meminta maaf untuk diriku sendiri, Sha”
“Kenapa?”
“Karena sudah membuat cinta darimu berkurang”
Penyunting : Airlangga