Bencana di Balik Pembangunan Industri Ekstraktif

Selasa (27/9) Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) dan Trend Asia yang tergabung dalam Koalisi Bersihkan Indonesia meluncurkan laporan berjudul “Bencana Yang Diundang: Bagaimana Potret Awal Investasi Ekstraktif-Energi Kotor dan Keselamatan Rakyat di Kawasan Resiko Bencana Indonesia,” melaui platform Zoom Meeting dan Youtube.

Konferensi pers dan diskusi peluncuran laporan masih bertepatan dengan momentum Hari Kesiapsiagaan Bencana yang diperingati satu hari sebelumnya pada 26 April 2021.

Diskusi dan laporan ini membahas mengenai PLTU (Pembangkit Listrik Tenaga Uap), pertambangan dan smelter yang dibangun di kawasan rawan bencana baik gempa bumi, banjir dan tanah longsor.

Ahmad Ashof (Direktur Program Trend Asia) memaparkan temuannya bahwa sebanyak 131 izin pertambangan berada di daerah rawan gempa bumi, 2.104 konsensi pertambangan rawan terhadap banjir, 744 konsensi pertambangan berisiko terdampak tanah longsor, 57 PLTU rawan risiko gempa bumi, dan sebanyak 41 smelter yang direncanakan dan telah dibangun berada pada daerah beresiko tinggi bencana. 

Menurut Merah Johansyah (Koordinator JATAM) keberadaan industri pada kawasan rawan bencana berakibat pada peningkatan kerentanan warga terhadap resiko yang ditimbulkan oleh bencana alam, non alam, dan perubahan lingkungan.

Merah juga menyampaikan tuntutan dan desakan kepada pemerintah.

“Audit industri ekstraktif yang beroperasi, atau hendak beroperasi di dalam atau di sekitar kawasan beresiko bencana; Hentikan proyek ekstraktif yang masih berada di tahap awal eksplorasi/pembangunan yang terletak di kawasan berisiko bencana; Secara cepat, bertahap, dan berkeadilan menghentikan proyek ekstraktif yang telah beroperasi di Kawasan Beresiko bencana; Pemulihan dan tanggung jawab hukum; Batalkan dan revisi keputusan perencanaan berdampak Panjang khususnya di bidang energi,” tuntut Merah.

Dalam diskusi tersebut hadir warga Panau, Palu yaitu Arzad Hasan masyarakat yang terdampak langsung adanya PLTU di daerahnya.

Arzad menyampaikan PLTU berdampak pada pencemaran udara dan membuat air tanah di daerah tersebut sudah tidak layak untuk dikonsumsi.

Ditambah lagi setelah adanya bencana tsunami di Palu pada 28 September 2018 membuat limbah hasil pembakaran batu bara (fly ash and bottom ash/FABA) mengendap di dasar sungai, mencemari lingkungan dan justru menambah persoalan baru bagi masyarakat pasca bencana.

Masyarakat lain juga hadir dalam diskusi tersebut Mukti (Warga Wadas) yang menolak pembangunan tambang quarry batuan andesit di desanya.

Menurut Mukti dengan adanya tambang tersebut berpotensi merampas sumber penghidupan warga dan berdampak pada kerusakan lingkungan bahkan bencana alam, mengingat desa tersebut memiliki riwayat rawan terhadap bencana tanah longsor.

“Sudah pernah, Pak, dulu sebelum tahun 90-an terjadi bencana tanah longsor yang sangat mengerikan dan banyak korban jiwa,” ungkap Mukti menjawab pertanyaan mengenai kekhawatiran potensi bencana alam dampak tambang quarry di Wadas.

Penulis: Ikhwan

Penyunting: Airlangga

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *