Potensi Budidaya Ikan Nila di Waduk Gajah Mungkur

Sumber gambar: Wikipedia

Waduk Gajah Mungkur berjarak 6 km dari pusat Kabupaten Wonogiri. Dalam perjalanan menuju waduk, kita disuguhkan pemandangan waduk yang indah dari atas tebing termasuk beberapa deret kapal nelayan.

Selain itu, kita juga akan melihat pemandangan kabupaten Wonogiri dari atas karena memang untuk mencapai ke pusat waduk kita harus berkendara lebih jauh dari pusat kota. Untuk melihat panorama waduk secara lebih jelas, kita harus melewati beberapa tebing. Namun, tenang saja, akses jalan menuju objek wisata sangat memadai.

Pemandangan lain yang tak kalah menarik adalah banyaknya masyarakat sekitar yang menjual ikan segar, olahan ikan maupun ikan-ikanan kering. Ikan yang dijual biasanya adalah jenis ikan air tawar. Ya, selain sebagai objek wisata panorama, Waduk Gajah Mungkur juga mendatangkan pencaharian baru bagi warga sekitar. Salah satunya, yaitu budidaya ikan nila.

Nekat Usaha Karamba Nila di Awal Masa Pandemi

Muhammad Shofbarodi (19) atau biasa dipanggil Odi, berbagi pengalaman pribadinya dalam memulai usaha budidaya ikan nila. Odi melakukan budidaya ikan dengan membuat karamba ikan di tengah waduk, dan ia memilih membudidayakan ikan nila karena dinilai memiliki nilai profit yang tinggi di wilayahnya.

Odi mengawali bisnis karamba budidaya ikan nila sekitar dua tahun lalu, pada masa awal pandemi Covid-19 menghampiri tanah air. Pada saat itu, Odi masih duduk di kelas 2 SMA. Tak seperti kebanyakan orang yang kehilangan pekerjaannya pada saat adanya pandemi, Odi malah memberanikan diri membuka usaha karamba ikan.

Awalnya, ia membuka usaha budidaya ikan nila hanya untuk mengisi waktu luangnya─karena pada saat pandemi, teknis pembelajaran di sekolah dialihkan menjadi pembelajaran daring. Dengan bantuan beberapa anggota keluarganya, Odi lantas mantap memutuskan untuk menjalankan bisnisnya.

Odi tak menampik bahwa modal utama untuk memulai bisnisnya memang tidak sedikit. Ia bahkan berani mengambil risiko untuk berhutang kepada bank. Selain itu, menurutnya, modal yang tak kalah penting adalah ilmu tentang pembudidayaan ikan nila yang ia pelajari kapanpun ia mempunyai waktu luang. Walaupun, ia menegaskan bahwa ilmu tersebut akan selalu didapat seiring waktu menjalankan roda usaha.

Pembiasaan dan praktik lapangan menjadi modal penting dalam menggeluti bisnis budidaya ikan nila, kata Odi. Selain itu, hal yang juga cukup sulit dalam mengelola karamba ini adalah sistem manajemen setelah nanti ikannya siap panen. Meskipun, dalam hal teknis operasionalnya tergolong mudah karena hanya sekadar menebar bibit ikan nila, seleksi ukuran, lalu panen.

Baca juga: Batik Ciprat, Pengrajin Difabel, dan Desa Wisata Pucung

Dilema Tengkulak dan Problem Peralihan Musim

Guna mendukung laju bisnisnya, Odi bergabung dalam suatu paguyuban nelayan. Dari sana, ia mendapatkan banyak koneksi dan informasi seputar pembibitan dan hal-ihwal budidaya ikan nila lainnya. Bersama nelayan-nelayan yang lain, ia membeli bibit ikan nilai dengan skala besar, yang didapatkan dari Gunungkidul, Yogyakarta.

Setelah itu, ia melakukan seleksi ukuran pada bibit ikan nila tersebut dengan cara yang sederhana sekali, yakni menggunakan ember cat bekas yang dilubangi sesuai dengan ukuran nila yang diinginkan.

Ikan nila yang memenuhi syarat ukuran akan tertahan pada ember dan ikan nila yang terlalu kecil akan menerobos lubang, begitulah filtrasinya. Ikan nila yang sudah sesuai dengan ideal ukuran yang diinginkan, akan dipindahkan ke kolam kosong. Sedangkan, ikan yang belum memenuhi syarat juga akan dipisahkan dan diwadahkan ke dalam kolam khusus.

Dalam pemindahan dan seleksi ukuran bibit ini sebaiknya jangan dilakukan pada tengah hari dan jangan terlalu banyak gerakan dalam memindahkan ikan ke kolam karena nila dapat mengalami stres. Setelah itu, barulah pemanenan ikan nila dilangsungkan.

Potret karamba milik Odi (Dokumentasi Penulis)

Standar ukuran pemanenan apabila telah mencapai ukuran 4-5 ekor per kilogramnya. Setelah itu, ikan nila akan diambil oleh tengkulak. Ikan nila yang siap panen akan ditimbang di karamba oleh tengkulak itu sendiri.

Odi pernah mencoba menjual ikannya pada pedagang ikan biasa, keuntungan yang didapatkannya lebih besar daripada harus menjual pada tengkulak. Akan tetapi, pedagang ikan hanya mengambil ikan dalam kuantitas kecil dan menyisakan ikan nila di karamba sehingga Odi harus mengeluarkan biaya pakan lagi untuk ikan yang masih tersisa tersebut.

Dalam memanen ikan, Odi tidak bisa memastikan momentum konstannya dan bisa sangat relatif bergantung pertumbuhan ikannya. Namun, periode panen biasa terjadi dalam 4-6 bulan sekali. Kini, dengan sepuluh kolam karamba yang ia miliki, Odi bisa menuai 1-1,5 kuintal dalam sekali panen.

Satu hal khusus yang harus diperhatikan dalam hal budidaya ikan nila, yaitu momen peralihan musim dari kemarau ke musim penghujan.

Hujan yang deras dapat menyebabkan lumpur yang berada di dasar waduk meluap dan bercampur dengan air yang berada di dekat permukaan sehingga dapat menyebabkan ikan kekurangan oksigen untuk bernapas. Oleh karena itu, saat musim penghujan, lumpur harus dipompa dari dalam sumber lumpur menggunakan mesin diesel agar lumpur dapat sekaligus keluar ke permukaan air dan membentuk gelembung udara sehingga dapat membantu pernapasan ikan.

Dari sedikit cerita dan pengalaman Odi dalam mengelola karamba ikan nila, menampilkan fakta bahwa Waduk Gajah Mungkur bukan semata pariwisata belaka. Namun, ternyata juga dapat berguna bagi masyarakat untuk membuka lahan usaha yang dapat menunjang perekonomian. Selain menunjang perekonomian, karamba ikan nila juga menjadi sebuah ikon wisata yang menguntungkan bagi Kabupaten Wonogiri, terlebih bagi wisatawan yang juga ingin belajar seputar dunia budidaya perikanan.

Baca juga: Mengenang Kartini dalam Museum, Ngaji Posonan Gagrag Kaliopak, dan liputan menarik lainnya di rubrik Liputan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *