Sumber gambar: Pexels
Riuh pasar mulai terdengar, tanda langkahnya sebentar lagi akan sampai. Langkahnya itu sudah berapa kali disalip oleh mobil pikap, sepeda motor, bahkan sepeda jengki yang reyot. Langkah yang begitu halus dan bergetar menggigil akibat angin pagi. Walaupun begitu, langkahnya tetap maju, tak iri dengan pihak yang mendahului itu. Langkah majunya beriringan dengan waktu yang berjalan dan hidup.
Setibanya di lingkungan pasar, Nurma beristirahat sejenak di depan sebuah kios yang masih tutup. Maklum, jarak rumahnya dengan pasar lumayan jauh. Angin sejuk pagi benar-benar membuatnya kedinginan. Sweter coklat kusam peninggalan ibunya itu ternyata kurang ampuh untuk menangkis semilir pagi itu. Ia pun merapatkan tubuhnya dan mulai menggosok-gosok kedua tangannya. Tatapannya memandang lurus ke depan, sambil berdoa agar baik hari ini.
Ramai dan hidup. Para distributor sayur mulai menurunkan muatannya. Rolling door pada tiap kios yang sedari malam tidur, pelan-pelan mulai bangun. Pedagang kaki lima mulai menggelar tikar. Nurma juga mulai mendengar kesibukan di kios belakangnya. Tidak menunggu lama ia kembali melangkah. Menuju ke dalam pasar yang lembab dan sedikit riuh.
“Nur, ini ada dua baskom belum dikupas, nanti jam enam mau diambil. Cepat ya!” Perintah Bu Wening.
“Ya, Bu, siap,” sahut Nurma setelah menghela napas sekejap. Tidak lupa ia sertakan pula senyumnya dan mulai bekerja.
Sudah dua tahun ini Nurma bekerja sebagai pengupas telur puyuh dan Bu Wening merupakan satu-satunya juragan telur puyuh di Pasar Resik. Maka wajar jika sudah ada pelanggan sedari awal. Walau pekerjaan ini dianggap sebelah mata, tapi Nurma tetap melakukannya. Memang zaman sekarang untuk orang yang tidak punya ijazah pendidikan dan keahlian khusus, akan susah mendapat pekerjaan yang halus. Adapun kerja itu seperti yang sekarang dilakukan; menjadi buruh kerja kasar. Namun, tidaklah mengapa. Memang haknya si rejeki itu untuk dijemput, dan kewajiban manusialah yang menjemputnya, tidak mengenal kasar ataupun halus.
Tangan Nurma yang kecil dan masih terasa menggigil itu pelan tapi teratur mengupas satu demi satu cangkang telur. Nurma tidak sendiri, ia ditemani dengan dua pekerja lainnya: Bu Darso dan Bu Darsiyah. Di antara mereka bertiga, bisa dibilang raut muka Nurmalah yang paling segar.
“Wah, Bu Wening itu kok enggak nambah pegawai pengupas, ya? Yang ditambah malah stok telurnya, padahal kita kan keteteran terus setiap hari,” kata Bu Darso membuka obrolan.
“Ya gimana mau nambah, Jeng, kalau yang ditawarin pekerjaan ini tidak mau. Saya saja kalau enggak kepepet bantu suami, ya mending ngurus kegiatan rumah,” jawab Bu Darsiyah.
“Kok sampean tahu kalau enggak ada yang mau itu bagaimana dan dari siapa?” timpal Bu Darso.
“Wah, Jeng sih yang kurang aktif gaulnya, aku dapet cerita dari pedagang tetangga. Kemarin, Bu Wening sempat ngajak anak jalanan yang di pojokan pasar buat kerja di sini, eh tapi malah ditolak. Alasannya gengsi, Jeng.”
“Halah, gengsi segala mereka. Udah enggak sekolah; ditawarin pekerjaan, nolak.”
“Ya gimana ya, Jeng, kalau mereka aja setiap hari ngemis-ngamen dari pagi-dzuhur saja sudah bisa bawa uang 150 ribu. Enggak usah banyak tenaga tinggal genjreng gitar, muka melas, dapat duit,” jelas Bu Darsiyah.
“Wah, beneran? Itu sama aja gaji kita ngupas sepuluh baskom, tapi bisa kebas ini tangan. Tapi, kalo saya jadi kayak mereka, harga diri keluargaku jatuh dan kena semprot suami.”
“Iya bener, Jeng. Saya pun juga,” Bu Darsiyah ketawa kesal.
Bu Darso mulai melirik Nurma yang sedari tadi menyimak. “Nur, kamu kok enggak ngemis saja?” Bu Darsiyah menepuk pundak Bu Darso; ia berpikir kalimat yang baru saja kelewatan.
“Wah, tidak, Bu. Selagi saya masih sehat, masih bisa melakukan pekerjaan; saya pantang jadi peminta-minta. Lebih baik saya bekerja seperti ini saja,” jawab Nurma sambil tersenyum memandang Bu Darso kemudian menunduk.
“Walah Nur, zaman sekarang sudah serba cepat, kamu enggak usah mikir ribet. Proses sekarang banyak yang mengkhianati hasil. Lihat saja tuh banyak orang sukses yang banyak uang dengan cara yang santai-santai,” sambung Bu Darso.
“Muka kamu manis lho, Nur, kenapa juga tidak memilih menikah saja? Bukannya si Yayan petugas pasar ini naksir kamu? Nanti kamu tidak usah kerja kayak gini lagi, cukup menagih gajiannya si Yayan itu,” kata Bu Darsiyah yang ikut menyambung.
“Belum kepikiran ke sana, Bu. Saya masih ingin merawat adik. Saya juga mau mengumpulkan uang untuk ambil kejar paket agar dapat ijazah kesetaraan. Buat lamar pekerjaan yang lebih baik, Bu,” balas Nurma.
“Aduh Nur, jangan banyak pengen deh. Zaman sekarang mikirnya gimana cepet bisa hidup nyaman. Cari cara yang cepat bukan yang lama. Toh, kalau kamu menikah, kamu bisa ngurusin adik-adikmu juga nantinya. Nikah itu ngelancarin datangnya rezeki lho, Nur,” sanggah Bu Darsiyah menanggapi Nurma dan menandaskan lagi apa yang diucapkan Bu Darso sebelumnya.
Nurma tertunduk dan senyum tipisnya lamat-lamat terlukis manis kala mendengar jawaban kedua wanita tua itu. Mereka pun mengobrol dengan beragam topik. Nurma kadang juga ikut mengobrol, tapi kebanyakan ia lebih fokus mengupas. Baskom demi baskom pun terselesaikan. Jam tidak terasa sudah menunjuk pukul sepuluh tiga puluh. Suasana dalam pasar sudah mulai senggang. Bu Darsiyah dan Bu Darso meminta upah harian dan pamit pulang dengan Bu Wening. Namun, Nurma berbeda. Ia menunggu, siapa tahu ada pekerjaan tambahan dari Bu Wening untuk menambah pundi rupiahnya yang akan dibawa pulang nanti.
Lima belas menit kemudian datang seorang konsumen. Dia seorang wanita tua berseragam cokelat khas pegawai pemerintahan. Dia memesan dua baskom penuh telur puyuh rebus kupas. Bu Wening menjelaskan bahwa pesanan itu harus ditunggu. Wanita tua itu menyanggupi dan memutuskan untuk berkeliling pasar. Karena tinggal Nurma sendiri yang ada di kios maka ia yang mendapat rezeki itu. Agar mempercepat pekerjaan, Bu Wening juga ikut duduk bersama Nurma mengupas telur pesanan.
“Tahu tidak Nur, pegawai tua itu tadi bolos lho. Padahalkan udah digaji negara, dapat fasilitas kok ya bisa-bisanya masih berani keluyuran pas jam kerja,” ujar Bu Wening memulai obrolan.
“Jangan prasangka buruk dulu, Bu, siapa tau ibu tadi memang ada perlu di luar,” balas Nurma husnuzan.
“Tidak, Nur, dia itu bolos. Aku sudah hapal sifat pegawai tua seperti dia. Kadang aku pun yang sudah tua ini juga ingin seperti itu, kerja santai dan dibayar. Tapi jika aku meninggalkan kios ini kemudian belanja, bisa saja karyawan di sini pergi semua. Lihat itu Bu Darso sama Bu Darsiyah, ada kehadiranku saja pasti pulang duluan, gimana kalau aku tidak ada,” papar Bu Wening penuh keluh kesah.
“Ya dimaklumi saja, Bu, setidaknya mereka masih mau di sini untuk besok, tidak pergi selamanya dari kios ibu,” jawab Nurma sambil tersenyum kemudian menunduk.
“Wah, Nur, kamu tidak paham apa yang aku maksud, tapi biarlah aku masih punya kamu di sini. Kemarin tahu tidak, aku mengajak anak jalanan yang ada di pojok pasar untuk kerja disini…”
Mendengar kalimat Bu Wening itu, Nurma seakan sudah tahu arah pembicaraanya mau dibawa ke mana. Nurma mendengarkan saja dengan menunduk dan tersenyum. Bu Wening bercerita panjang dan detail. Suasana yang santai mengiringi mereka bekerja. Wanita tua itu kembali ke kios, Bu Wening menemuinya dan menyerahkan pesanannya. Ditanyakan mau diapakan telur dua baskom itu. Ternyata telur-telur itu ingin dibuat sate untuk peringatan ulang tahun cucunya, sebagai bentuk ucapan syukur hari kelahirannya. Wanita tua tadi pun meninggalkan kios setelah menyerahkan dua lembar uang berwarna biru. Azan zuhur berkumandang; Bu Wening merapikan kiosnya dan menemui Nurma untuk memberinya upah hariannya.
“Nur, kamu masih betah kerja di sini, ‘kan?” tanya Bu Wening padanya setelah memberi upah harian.
“Ya, Bu, saya masih betah di sini. Semisal saya pergi dari sini, saya juga mau kerja apa. Keahlian saya sekarang hanya bisa mengupas cangkang telur,” jawab Nurma kemudian tersenyum.
Mendengar jawaban itu, Bu Wening tersenyum puas dan berpesan agar hati-hati dalam perjalanan pulang. Nurma pun berpamitan dengan bersalaman. Bu Wening menambahkan sebungkus telur puyuh rebus sisa hari ini dan berpesan untuk dimasak. Nurma berterima kasih lantas senyum terhadap Bu Wening.
Perjalanan Nurma yang melelahkan pun dimulai kembali. Langkah-langkah lembut Nurma yang mengukir jejak kaki, pudar bersamaan peluh yang menetesi kening; perlahan tapi pasti membawanya pulang ke rumah. Di bawah teriknya matahari siang dan langit biru tanpa awan, Nurma si gadis pengupas telur itu, meski lelah, tetap tersenyum. Tersenyum dalam dunia yang semakin sinis.
Penyunting: Lindu A.
Baca juga: Nyenyat Tesman dan Manggut Mahalnya, Hikayat Sopir Sarjana: Memarkir Renjana dalam Kelana, dan cerpen menarik lainnya di rubrik Cerpen.