Ihwal Sepakbola dan Seluk-semeluk Jejak Historisnya

Sumber gambar: mojokstore

Judul: Mengapa Sebelas Lawan Sebelas? Dan Serba-serbi Sejarah Sepak Bola Lainnya

Penulis: Luciano Wernicke

Penerjemah: Mahir Pradana

Penerbit: Marjin Kiri

Cetak: Cettakan pertama, September 2019

Tebal: i-x + 175 hlm

ISBN: 978-979-1260-91-6

Tahun 2022 telah menjadi salah satu tahun yang akan dikenang oleh penggemar bola tanah air. Tahun ini juga nantinya akan diungkit oleh siapapun sebagai sebuah jawaban apabila ada yang bertanya, “Kapan terakhir kali Timnas sepakbola Indonesia berlaga di Piala Asia?”

Waktu lima belas tahun itu memang hanya sebatas angka, tapi bukan hal yang sepele jika itu dikaitkan dengan sebuah penantian. Lebih lagi jika penantian itu juga disisipi harapan. Meskipun penantian tersebut membuahkan hasil, tetapi juga terdapat rasa sakit yang sangat menyayat dalam rentangnya. Dan bulan Juni―bulannya para Gemini dan Cancer―fans sepakbola Merah Putih, apapun zodiaknya, sedang bersukacita.

Para fans timnas, atau mungkin warga biasa yang tidak suka sepakbola tetapi seorang nasionalis, mencurahan perasaan bahagianya pada beranda media sosialnya terkait lolosnya tim sepakbola Indonesia. PSSI selaku lembaga sah sepakbola tanah air melakukan hal serupa dengan membuat ulasan singkat tentang lolosnya timnas.

Banyak sekali ulasan yang ada dalam situs resminya, tetapi ada sebuah ulasan yang sempat membuat ramai. Ulasan itu terkait kemenangan Indonesia atas Kuwait pada pertandingan pertama penyisihan Grup A ajang Kualifikasi Piala Asia 2023. Kemenangan ini selain menjadi salah satu faktor lolosnya Indonesia ke Piala Asia, juga terdapat hal menarik yaitu kemenangan ini terjadi setelah menunggu selama 42 tahun.

Namun, alih-alih dibaca untuk memompa semangat mendukung timnas, para pembaca malah mengkritisi ulasan ini. Ulasan yang berjudul “Pecahnya Rekor 42 Tahun” itu, menurut saya, dan juga mayoritas pembaca yang saya lihat di media sosial, terkesan janggal. Alih-alih mengulas pemain, pelatih, taktik bermain, ataupun riwayat head-to-head versus Kuwait, ulasan ini malah membahas kepemimpinan Ketum PSSI dan apa yang ia lakukan―atau yang hendak dilakukan.

Sampai sekarang, saya sendiri, dan mungkin juga pembaca juga menyadarinya, belum menemukan korelasi antara judul dengan isinya. Malah terkesan seperti ulasan “pesanan” untuk kebutuhan seorang yang haus pengakuan―untuk tidak menyebut pengkultusan.

Respon kritis atas keanehan dari ulasan di situs resmi PSSI oleh warga penggemar sepakbola tanah air menunjukan bahwa sepakbola bukan hanya menang, kalah, atau pemujaan satu-dua individu tertentu saja. Sepakbola dapat dinikmati dari sisi yang lain. Bisa dikaitkan dengan politik, keetisan, sejarah, dan lain sebagainya.

Bagaimana agar bisa menikmati sepakbola dengan aneka sudut pandang? Jawabannya dengan karya-karya tulis para penggemar sepakbola. Dan dari situlah kejujuran atau kebohongan dapat diraba bahkan dibuktikan.

Era sekarang banyak sekali ulasan di web atau buku yang membahas tentang sepakbola, baik itu produk lokal ataupun produk terjemahan. Saya akan menyarankan sebuah buku, yang baiknya hendaklah didahulukan dibaca dari bacaan yang lain.

Mengapa saya sampai berkata seperti itu? Karena dalam buku ini, hal-hal dasar mengenai sepakbola bermula. Hal-hal dasar ini ada kaitannya dengan sejarah sepakbola selama ini. Judul buku tersebut adalah Mengapa Sebelas Lawan Sebelas? Dan Serba-serbi Sejarah Sepak Bola Lainnya.

Buku ini ditulis oleh Luciano Wernicke, seorang jurnalis kelahiran Argentina yang mencintai sepakbola. Dalam pengantar dari penerjemah, terdapat sebuah pernyataan yang menarik. Pernyataan berikut tertulis, “…sebuah karya asyik dan ringan yang akan menghibur semua penggemar sepakbola sedunia.”

Dan setelah membaca buku ini, saya sepakat dengannya. Buku ini menyajikan jawaban atas pertayaan-pertanyan mendasar terkait dunia kulit bundar. Pertanyaan-pertanyaan ini, jika  diibaratkan seperti pertanyaan seorang mahasiswa filsafat mempertanyakan hidup, tapi dalam dunia sepakbola. Benar-benar sebuah pertanyaan dasar seperti: Siapa penemu jaring gawang? Siapa penemu adu penalti? Asal usul “mencetak gol”, “derby”, “liga”, dan “hooligan”, dan masih banyak lagi. Totalnya ada 100 pertanyaan.

Luciano Wernicke menjawab pertanyaan-pertanyaan berikut bukan dengan angan-angan ataupun  bualan. Tetapi dengan menganalisis secara mendalam bukti-bukti yang ia temukan dari surat kabar, buku-buku, dan dokumen perpustakaan dari seluruh dunia. Rangkuman tersebut ia tuliskan dalam bentuk esai.

Saking dalam dan gigih, Luciano dapat menemukan catatan tentang pembunuhan yang terjadi akibat bermain bola pada abad ke 13. Catatan dari sebuah perpustakaan gereja di Northumbeland, Inggris, tentang sebuah kasus bertarik waktu 1280 yang mendokumentasikan terbunuhnya seorang pemain sepakbola akibat ditikam lawan bermainnya saat pertandingan berlangsung.

Pada awal abad 13, permainan bola belum seperti jaman sekarang, masih menggunakan kaki dan tangan. Bahkan menghalalkan cara apapun untuk merebut bola. Permainan tersebut dinamakan Shrovetide Football, sebuah permainan yang juga menjadi cikal bakal sepakbola modern.

Selain itu, Luciano dengan ketelitiannya dapat menemukan sebuah ungkapan yang berhubungan dengan sepakbola dalam drama karya Shakespare yang berjudul King Lear. Ungkpan tersebut ditujukan untuk menghina bangsawan pada masa itu.

Contoh lainnya adalah ketika Luciano membahas tentang adakah tim sepakbola yang memenangkan kejuaraan tanpa bertanding? Jawabannya ada, tepatnya pernah dialami oleh tim Ibukota Islandia bernama Knattspyrnufélagið Fram yang memenangkan liga nasional sebanyak enam kali berturut-turut dari 1913-1918.

Keenam gelar tersebut benar-benar didapat secara cuma-cuma. Dua gelar pertama (1913 dan 1914) didapat karena tidak ada lawan bertanding, dan sisanya, empat gelar didapat dengan bertanding seadanya.

Sejarah sepakbola juga menunjukan bahwa sepakbola memiliki keterikatan atau bahkan mempengaruhi kebijakan sebuah kekuasaan masa lalu. Di Inggris, yang sekarang liganya dapat dikatakan sebagai liga elite daripada liga-liga lainnya, bahkan punya jargon yang fenomenal untuk tim nasionalnya yaitu “Footbal is coming home” pernah kolot  sekali melarang adanya permainan sepakbola.

Dijelaskan dalam buku ini, pada tahun 1314, Wali Kota London pernah melarang pertandingan sepakbola di kota karena dianggap merusak fasilitas umum. Raja Edward III bahkan pernah memveto barang siapa yang bermain sepakbola akan dimasukan ke dalam penjara.

Sang raja beralasan bahwa sepakbola adalah “permainan konyol yang tidak ada gunanya”. Pada era itu, telah terpampang 30 hukum kerajaan dan kedaerahan untuk menangkal permainan ini. Dan masih banyak lagi uraian menarik tentang sepakbola.

Dengan membaca buku ini, kita dapat mengetahui bahwa eksistensi sepakbola itu ternyata sudah sangat lama dan menyimpan hal-hal menakjubkan. Selain itu, dengan membaca uraian-uraian bertemakan sejarah sepakbola ini, dapat membangkitkan nalar kritis penggemar sepakbola, setidaknya, sejarah, dalam hal ini, sebagai alat pembanding.

Saya membayangkan jika suatu esok di masa depan, ada yang merangkum sejarah sepakbola Indonesia dan menemukan uraian berjudul “Pecahnya rekor 42 tahun” yang diterbitkan di situs resmi PSSI, bagaimana ya tanggapannya?

Wallahualam bissawab.

Penulis: Airlangga Wibisono

Penyunting: Lindu A.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *