Menengok Eksistensi Orang-Orang Indo di Kota Magelang

Sumber gambar: Instagram

Identitas Buku

Judul: Dalam Bayang-Bayang Modernitas “Orang-Orang Indo di Kota Magelang pada Akhir Masa Kolonial”

Penulis: Tedy Harnawan

Penerbit: Penerbit Terang

Kota Terbit: Bangkalan, Jawa Timur

Tebal: 176 halaman

Cetakan Pertama, Oktober 2021

*

Sebagai orang yang lahir dan besar di Magelang, Tedy menelisik tanya yang melintas di benaknya kala memandang beragam fenomena-fenomena kolonial yang masih “eksis” dalam wujud simbol-simbol yang kasat mata: bangunan-bangunan lama.

Kawasan kuliner “De Tuin van Java”, watertoren (menara air) di alun-alun, daerah pecinan, basis kemiliteran, hingga bekas bangunan bernuansa Eropa cukup memantik rasa penasarannya untuk mengulik lebih dalam mengenai eksistensi masyarakat yang hidup di Kota Magelang pada masa sebelum Indonesia merdeka.

Buku berjudul Dalam Bayang-Bayang Modernitas: Orang-Orang Indo di Kota Magelang pada Akhir Masa Kolonial ini merupakan hasil riset dari skripsi yang disusun Tedy Harnawan saat menempuh studi Ilmu Sejarah di UGM pada 2013 silam. Menjadi langkah tindak lanjut dari upaya menggali dan menyebarluaskan historisitas Kota Magelang.

Kota Garnisun, Misionarisme, dan Planologi Kota Praja

Tedy membagi pembahasan dalam buku ini menjadi tiga babak: pengenalan Magelang sebagai kota modern kolonial, kedatangan dan persebaran orang Indo di Magelang, dan potret sosiokultural orang Indo di Magelang pada masa itu. Rentang bahasan historisnya sejak 1906 sampai 1942, tepatnya semenjak Magelang ditetapkan sebagai gementee (kota praja) setelah sebelumnya sempat berada di bawah Karesidenan Pekalongan.

Bab pertama dalam buku ini dibuka dengan onomastika sekilas mengenai toponimi “Magelang”. Kemudian berlanjut membahas seputar Magelang sebagai kota garnisun. Mulai dari penangkapan monumental Pangeran Diponegoro pada 28 Maret 1830 yang diabadikan dalam lukisan terkenal Raden Saleh hingga ketika Magelang menjadi sentral afdeling militer Jawa bersama Cimahi dan Malang di barat dan timur pulau.

Magelang juga menjadi pijakan pertama gerakan misionarisme di Pulau Jawa. Adalah Romo Van Lith yang mempelopori penyebaran agama Katholik di Jawa dengan Muntilan sebagai Bethlehem-nya. Di “kota kecil” ini pulalah, pada 1911, berdiri seminari pertama di Pulau Jawa bernama Kolese Xaverius Muntilan, yang kini telah bertransformasi menjadi SMA Pangudi Luhur Van Lith Muntilan.

Salah dua frater dari generasi pertama seminari ini sukses menjalani novisiat di Belanda. Mereka adalah Fransiskus Xaverius Satiman dan Petrus Darmasepoetra. Kepulangan keduanya ke Muntilan menjadi angin segar bagi gerakan misionarisme di Jawa. Bahkan banyak surat kabar misi menyebut mereka dengan De Eerste Javaansche Priest (Pendeta Jawa pertama).

Dua nama misionaris lain yang tak kalah pentingnya adalah Romo Merkelijn dan Johannes van der Steur. Romo Merkelijn menyebarkan ajaran Kristiani melalui beragam upaya. Mulai dari kursus bahasa Belanda dalam sesi rutin bertajuk “kumpulan” yang disisipi khotbah alkitabiah, mendirikan surat kabar misi Mardihardja, sampai mendirikan “rumah miskin” di daerah Blondo. Sementara itu, ‘Pa’ Steur, yang semula hanyalah seorang soldaten-pastoor (pastor tentara) justru bergerak lebih intens dengan mendirikan Yayasan Oranje Nassau.

Sejak menjadi kota praja, Magelang terus melakukan “modernisasi” tata kota. Pembangunan infrastruktur mulai digenjot. Alun-alun menjadi sentra—unit-unit bisnis, fasilitas umum, dan gedung-gedung administrasi kolonial melingkarinya—yang melahirkan konstruksi sosiokultural yang sistemis sekaligus kategoris.

Anak Kolong dan Budaya Indis

Memasuki bab kedua, buku ini mulai merunut keberadaan orang-orang Indo (peranakan Eropa dengan pribumi) di Kota Magelang. Dengan adanya klasifikasi kelas sosial oleh pemerintah kolonial—Eropa Totok (Europeanen), Timur Asing (Vreemde Oosterlingen), dan pribumi (Inlanders)—orang-orang Indo mengalami dilema identitas.

Darah campuran yang mengalir dalam tubuh seorang Indo membuatnya ter-pribumi-kan (verindischen). Dibilang Eropa Totok, bukan; disebut pribumi, juga enggan. Ironisnya lagi, di dalam lingkar internal masyarakat Indo, ada perbedaan kelas sosial lagi antara si Indo miskin dan si Indo kaya.

Hal ini bisa terjadi karena perbedaan pola asuh orang tua mereka, mengingat, sebagian besar keturunan Indo lahir dari pasangan ayah Eropa dan ibu pribumi. Sayangnya, banyak dari anak-anak Indo ini yang ditelantarkan begitu saja oleh ayah Eropa mereka.

Praktik pergundikan semacam inilah yang membuat banyak anak hasil hubungan di luar pernikahan lahir di dalam tangsi-tangsi militer. Anak-anak inilah yang dikenal dengan sebutan “anak kolong”.

Ada kaitan erat antara tangsi militer dan misionarisme di Kota Magelang. Tautan keduanya terjalin lantaran pada dua ranah itulah orang-orang Eropa datang ke Magelang.

Sebagian besar “orang-orang kecil Eropa” berminat direkrut menjadi serdadu karena tergiur bayaran tinggi. Sayangnya, para tentara Eropa di Kota Magelang adalah laki-laki penyuka minuman keras ilegal dan gemar singgah ke rumah bordil.

Fenomena mengiris hati inilah yang membuat Van der Steur bertolak ke Hindia Belanda. Perjuangan tanpa henti terus dilakukannya hingga berdirilah panti asuhan Oranje Nassau, yang dalam majalah Nederlandsch Indie Oud en Nieuw tahun 1916 mencatat bahwa ada 747 anak kolong yang tinggal di dalamnya.

Lalu, karena berdarah campuran, keturunan Indo inipun lantas hidup dengan melahirkan budayanya sendiri, yakni budaya Indis. Meski tidak sama sekali baru, akulturasi yang terjadi turut mencirikan bagaimana orang-orang Indo hidup di zaman itu.

Supremasi budaya Eropa yang dibawa bangsa kolonial masih menjadi kiblat orang-orang Indo untuk mendapatkan derajat yang sama dengan orang Eropa totok. Status sosial juga jadi kunci meraih superioritas yang sama dengan bangsa Eropa totok.

Orang-orang Indo berusaha keras untuk menjadi “Eropa” dengan makan roti dan mengikuti tren mode busana Eropa terkini. Bahkan, dalam Staatsblad van Nederlandsch Indie tahun 1938, ada dua orang Indo di Magelang bernama George Eduard Lapre dan Johanna Maria Magdalena Tamaela yang mengajukan “permohonan” untuk (diakui) menjadi orang Eropa ke Dewan Hindia dan dikabulkan.

Pada fiksi, penggambaran apa yang terjadi di Magelang ini juga dapat ditemukan dalam novel George Orwell yang berjudul Burmese Day yang berlatar tempat di Burma (Myanmar) saat masih dijajah Inggris.

Fakta ini tentu menunjukkan betapa signifikannya status keeropaan dalam meningkatkan taraf kehidupan individu kala itu di negeri jajahan. Tak dipungkiri, relasi Totok-Indo zaman itu ialah potret rasisme yang telah mengakar pada lingkungan masyarakat kolonial bertahun-tahun lamanya.

Modernitas dan Keunggulan

Transformasi sosiokultural masyarakat Indo terjadi juga dipengaruhi oleh urbanisasi kota yang dibangun berdasarkan inspirasi dan imajinasi modernitas Barat. Ditambah, kedatangan orang-orang Eropa totok yang kian masif membuat masyarakat Indo harus menyembunyikan budaya Indis mereka ke ruang privat. Hal ini semata-mata agar mereka tidak dinilai inferior di hadapan kelompok Belanda totok.

Salah satu yang paling kentara adalah lahirnya bahasa petjok, yakni bahasa campuran Melayu-Belanda yang berdaptasi dari bahasa pijin zaman itu. Orang-orang Indo akan menggunakan bahasa petjok ini hanya saat di rumah untuk berkomunikasi dengan baboe ataupun kokkie mereka. Di dalam societeit atau perkumpulan sesama orang Indo lainnya, mereka cenderung berkomunikasi menggunakan bahasa Belanda guna menunjukkan eksklusivitas diri.

Namun, dalam hal kehidupan sehari-hari, romantisme iklim tropis turut menuntut orang-orang Indo beradaptasi. Mereka memilah pakaian musim semi untuk menyesuaikan dengan iklim di Magelang yang sejuk dan mandi dua kali sehari menggunakan gayung.

Kees van Dijk dalam Cleanliness and Culture: Indonesian Histories menyebut bahwa kebiasaan mandi dengan sabun wangi juga merupakan sebentuk upaya orang Indo untuk menjadi kulit putih seperti orang Eropa totok. Sebegitu mengakarnya supremasi kaum Eropa murni di benak orang-orang Indo.

Di lingkungan sekolah pun, anak-anak Indo, utamanya yang laki-laki juga sering diganggu oleh anak-anak Eropa totok. Meskipun, memang anak laki-laki Indo pandai menjaga diri, mahir berkelahi, dan cukup solid. Sedangkan jalinan harmonis berupa persahabatan justru lebih mungkin terjadi antara anak perempuan Indo dengan anak perempuan Eropa totok. Mereka kerap datang saat teman Eropa totok mereka berulang tahun, walaupun hal sebaliknya tidak terjadi.

Di akhir buku, Tedy juga menuliskan lampiran khusus mengenai sosok Andries Schell de Nijs. Seorang Indo kelahiran Magelang yang menjadi narasumber utamanya dalam menggarap buku ini, yang kini tinggal menetap di Barcelona, Spanyol.

Andries mengingat dengan penuh haru bagaimana masa kecilnya selama di Magelang. Mengenang momen-momen pahit saat Jepang datang menginvasi lalu Indonesia merdeka dan orang-orang Indo direpatriasi ke Belanda.

Uniknya, tujuh tahun lalu, Andries berkesempatan mengunjungi kembali tanah kelahirannya setelah 74 tahun tak menginjakkan kaki. Bersama Bagus Priyana (Koordinator Komunitas Kota Toea Magelang), putra John Schell de Nijs itu menapaktilasi tempat tinggalnya dulu. Menyusuri jalan setapak berkeliling hingga ia terhenyak menatap sebuah rumah masa kecilnya dulu.

Air matanya jatuh di tempat yang sama seperti tujuh dekade lalu.

Pengulas: Lindu Ariansyah

Penyunting: Airlangga W.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *