Tsukuru Tazaki Tanpa Warna dan Tahun Ziarahnya: Cerita tentang Sedalam-dalamnya Rasa Kehilangan

Sumber gambar: Dok. Pribadi (Resti/Wartafeno)

Judul Buku: Tsukuru Tazaki Tanpa Warna dan Tahun Ziarahnya
Pengarang: Haruki Murakami
Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia
Tahun Terbit: 2018
Genre: Realisme novel, Bildungsroman
Bahasa: Indonesia
Tebal: 352 halaman

*

Hati seseorang dan hati orang lain terikat tak hanya oleh harmoni. Bahkan terikat dalam-dalam oleh luka dan luka. Terhubung oleh rasa sakit dan rasa sakit, kerapuhan dan kerapuhan. Tidak ada keheningan yang tak mengandung jeritan memilukan, tidak ada ampunan yang tak melelehkan darah ke atas bumi, dan tidak ada penerimaan yang tak melewati kehilangan yang menyakitkan.

Begitulah Tsukuru Tazaki, pria 36 tahun si penggila stasiun yang menyadari tentang kemelut perasaannya sejak 16 tahun yang lalu. Semenjak bertemu Sara, seorang wanita alpha—barangkali kekasih, yang usianya 2 tahun lebih tua dari Tsukuru, masa lalunya yang terus ia pendam dan meninggalkan luka, perlahan mulai terbuka.

Cerita kesakitan dan kehilangan Tsukuru dimulai saat dirinya memasuki tahun kedua di bangku kuliah. Empat sahabat karibnya semasa SMA, Akamatsu, Oumi, Shiro, dan Kuro tiba-tiba memutus kontak dengan Tsukuru tanpa alasan yang jelas. Tak mau bicara dan tak mau bertemu dengannya. Selama-lamanya. Tsukuru pun tak pernah menanyakan sebab dirinya dikeluarkan dari lingkar pertemanan mereka.

Mereka menyingkirkan Tsukuru bahkan hanya melalui sambungan telepon.

Tak mungkin sesederhana karena nama Tsukuru Tazaki yang tak memiliki warna, sebab Akamatsu berarti ‘pinus merah’ sekaligus sang pencerah, Oumi yang berarti ‘laut biru’ si cerdas berkacamata, Shiro yang berarti putih, si pianis ramping nan cantik yang bercita-cita masuk kedokteran, maupun Kuro si ‘hitam’ yang sifatnya seperti perempuan khas gemini, lincah dan mudah bergaul. Bagi Tsukuru, kepergian mereka meninggalkan luka yang mendalam untuknya sampai-sampai ia berpikir lebih baik untuk bunuh diri saja.

Atau mungkin karena dirinyalah satu-satunya orang yang berani meninggalkan kampung halamannya di Nagoya, untuk pergi ke Universitas di Tokyo, pikirnya. Namun, benarkah keputusan berkuliah di Universitas Tokyo lantas membuatnya diperlakukan bengis oleh sahabat-sahabatnya itu?

Bukan tanpa alasan, ia berani berhijrah demi mengejar cita-cita atas kegilaannya dengan stasiun. Ya, Tsukuru, pemuda lajang 36 tahun yang besar dari keluarga kaya raya hari ini adalah seorang insinyur, atau pembuat stasiun lebih tepatnya.

Tahun demi tahun, Tsukuru terus dibayangi sosok mereka. 16 tahun telah berlalu dengan pertanyaan “mengapa” yang tak pernah terjawab. Ia bisa saja menanyakan, tetapi ia enggan. Membayangkan ia diputuskan dari pertemanan saja sudah tidak kuat menurutnya.

Kisah hidup Tsukuru mulai berubah semenjak bertemu Sara. Sara selalu melihat sorot mata Tsukuru yang layu. Tekanan dari Sara membuat Tsukuru perlahan sadar, di lubuk hatinya yang paling dalam, ia sangat—barangkali tidak tertahankan, ingin mengetahui alasan keempat sahabatnya membuangnya begitu saja.

Ingatan mungkin dapat disembunyikan atau dihilangkan, tetapi sejarah yang diciptakan tak bisa dihapus.

Itulah kalimat dari Sara yang selalu diingat oleh Tsukuru.

Perjalanan demi perjalanan ia lalui untuk mencari sebuah jawaban. Nagoya, Tokyo, hingga Finlandia ialah saksi bisu perjuangannya dalam berkelana. Hingga datang hari dimana Tsukuru bertemu dengan sahabat-sahabatnya. Dan Kuro menjelaskan semuanya, segala jawaban yang selama ini ingin Tsukuru dengar.

Tsukuru hanyalah korban.

Novel karya sastrawan Jepang, Haruki Murakami ini benar-benar membuat siapapun pembacanya masuk ke dalam pikiran Tsukuru yang digambarkan penuh kehilangan dan hidup yang dibayangi pertanyaan. Alur cerita dan bahasanya disusun sedemikian rupa sehingga mudah dipahami pembaca awam sekalipun. Murakami membawa pembaca untuk memahami hakikat kehidupan yang pedih dan dalam. 

Setelah Tsukuru tahu kebenaran dirinya hanyalah korban, ia kembali dihadapkan dengan kegundahan dan kecemburuan atas kekasihnya, Sara. Tsukuru benar-benar tak siap jika kebenarannya adalah Sara tidak bisa jadi miliknya sepenuhnya. Haruskah ia hidup dalam kepedihan yang tiada ujung?

Memangnya, siapa orang di dunia ini yang sanggup menahan kesedihan saat dirinya tiba-tiba disingkirkan tanpa alasan?

Pengulas: Resti Damayanti

Penyunting: Elshinta Adelia

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *