Masa Lalu Terjatuh ke Dalam Senyumanmu

Senin (25/02), telah berlangsung launching buku kumpulan puisi berjudul Masa Lalu yang Tenggelam ke Dalam Senyumanmu dari penyair Kedung Dharma berjudul Masa Lalu Terjatuh ke Dalam Senyumanmu. Launching tersebut juga turut dihadiri Joko Pinurbo atau akrab disapa Jokpin, dimoderatori oleh Asef Saeful Anwar, menghadirkan Teuku Rifnu Wikana serta Gunawan Maryanto yang tampil membacakan puisi-puisi karya Kedung dalam bukunya tersebut..  Jokpin penulis kumpulan puisi berjudul Celana membuka acara tersebut dengan pengantar tentang isi buku. Acara berlangsung di ruang  seminar Taman Budaya Yogyakarta yang dihadiri kurang lebih seratus peserta dari berbagai komunitas dan pecinta sastra.

Membaca puisi memang berbeda dengan membaca prosa. Jokpin sendiri menceritakan bahwa untuk membaca kumpulan puisi, . Pembaca harus menemukan kesadaran dan kreativitas dalam membaca buku kumpulan puisi, harus menemukan pintu masuk, sehingga akan menemukan kerangka dari buku kumpulan puisi.

Kumpulan puisi tersebut diawali dengan judul Kereta Terakhir dan diakhiri dengan Kalau. Menurut Jokpin, “kumpulan puisi ini adalah semacam perjalan, penemuan jati diri atau lainnya. Tetapi untuk judulnya saya tidak akan menguraikan apa-apa sebab judul itu multi makna. Baiknya diterima begitu saja, seperti orang-orang kita yang punya banyak masa lalu yang menyakitkan, maka biarkan ia tenggelam dalam senyummu.”

Kereta terakhir bercerita tentang kerinduan, seperti liriknya petugas melubangi rindu dikarcismu. “Rindu itu sekali pakai, harus diperbarui. Seperti tiket kereta yang hanya juga sekali pakai,”  ujar Jokpin. Dalam puisi lainnya Jokpin banyak menemukan kata-kata yang banyak dipakai seperti imaji basah, membasahi, menetes, melelah, dan kata basah. Maka dalam intereptasi  Jokpin, rindu yang baik adalah rindu yang begitu menetes, meleleh, tidak tetap, sebab tidak ada rindu yang pasti, kaku atau begitu saja.

Masih dalam penuturan imaji basah menurut Jokpin, Sapardi Djoko Damono adalah profesor hujan yang lris dan lembut. “Saya dulu pernah berkata, jangan menulis puisi hujan, kalian akan kalah dengan profesor hujan. Tapi hari ini saya akan menarik ucapan saya,” ucapnya. Dalam puisi-puisinya Kedung mampu menghadirkan hujan dalam sudut pandang yang lain. Bisa dibilang hujannya kaum proletar, tentang atap dan kenangan bocor yang menunjukkan hujan kaum menengah ke bawah. Berbeda dengan hujannya Sapardi yang mengetuk-ngetuk. “Bagi calon penulis, yaitu untuk belajar dari karya-karya sebelumnya. Dengan begitu penulis akan kaya, dan bisa membuat sesuatu dengan lebih dalam,” tutup Jokpin.

Tidak banyak yang diungkap Kedung malam itu. Baginya, Jokpin sudah cukup banyak untuk menginterprestasikan kumpulan puisinya tersebut. Yang jelas puisi-puisi tersebut ia tulis ketika awal berproses sebagai penyair waktu masih menjadi mahasiswa semester tiga jurusan Sastra Indonesia di Universitas Negeri Yogyakarta sampai tahun 2017.

Kedung mengaku bahwa ia memang tipikal orang yang susah menulis puisi kalau tidak benar-benar ada momen puitik yang menampol kepalanya. ”Itu bagian dari proses kreatif dari mulai 2004 sampai 2017 yang saya rangkum,” pungkas Kedung.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *