Nyentriknya Kebijakan KKN-PK-Magang UNY

“KKN Berbasis Ikhlas”

“Ka Ke eN POLAH”

“KKN: TOP UP PAHALA”

Mahasiswa memang selalu lihai untuk mengutarakan isi hati atas seluruh kebijakan KKN, PK, dan Magang di UNY tahun ini, terlebih kebijakan tersebut memang ngenabanget. Pembekalan KKN, PK, dan Magang yang awalnya berjalan kondusif di awal, pada akhirnya penuh dengan curhatan atas kebijakannya yang tidak lumrah.

Perihal Durasi dan Ketimpangan Lokasi

Sebagai mahasiswa yang mengenal kehidupan kampus secara penuh tidak sampai dua semester dan besok dipaksa terjun ke masyarakat, durasi enam bulan sangatlah memusingkan.

Yo opo iki rek, lokasi KKN sama PK jauh gini mana kampus ga cover uang transport lagi :’) Pls ini dosen rapat di hotel yang cuma <10 menit dari kampus aja dapet uang transport, masa iya mahasiswa pergi PK nempuh 20km++ cuma dikasih sangu 50k di awal?.”

Sambatan dari sang pengirim pada kolom “Fenomena Open Sambat” ini cukup dapat dipahami dan dirasakan mahasiswa KKN–PK yang katanya diusahakan jarak antara keduanya tidak terlalu jauh. Bagi saya sih, 20 km itu jauh, ya, apalagi mengingat durasinya terpadu selama setengah tahun. Yo, klenger.

Ketimpangan lokasi ini memang sangat kontroversial. Bagaimana tidak, kebijakan 3 hari KKN-3 hari PK itu tidak efektif dan efisien, meskipun, seperti yang sudah dijelaskan, mahasiswa boleh memodifikasi durasi sesuai dengan kebutuhan kelompok. Ya kalau boleh dimodifikasi, bukankah akan lebih baik jika UNY merevisi timeline penarikan?

Maksud saya begini, jika saja timeline penarikan KKN-PK dipisah, itu sangat memudahkan mahasiswa banget, lho. Pun dari sisi lain, Bapak/Ibu tidak usah repot-repot pusing plotting lokasi PK. Toh, kemarin dari kami sudah mengadakan observasi sekolah, yang tentu saja kami sudah sangat paham kondisi sekaligus tenaga pendidik di dalamnya.

Lalu apa benefit yang akan kamu dapatkan?

Pertama, jika saja penarikan KKN pendidikan disamakan dengan KKN non-kependidikan yaitu bulan Juli–Oktober, kita tentu tidak terlalu menyusahkan warga setempat. Bak simbiosis mutualisme, kami numpangtidur, warga setempat mendapat insight secara fokus atas proker yang dibuat selama tiga bulan berturut-turut.

Kedua, mahasiswa dapat lebih menerima perihal PK ini karena saya yakin, lebih baik mencari mandiri karena sebelumnya ada kegiatan observasi, ketimbang plotting yang justru menimbulkan masalah baru seperti jarak yang jauh tetapi tidak diakomodasi dengan cukup. Ditambah, posisi mahasiswa masih numpangdi posko KKN. Nggak enak hati, pasti.

Sialnya, sudah terlambat. Pembekalan menandakan semuanya terfiksasi.

Uang Saku dan UKT yang Digrusa-grusu

Kabar simpang siur tentang uang saku 50 ribu sebelum pembekalan dapat dikatakan sebagai kebijakan paling tidak masuk akal. Sampai-sampai, kolom sambatan dipenuhi dengan curhat mahasiswa yang sangat keberatan dengan uang saku ini. Contohnya:

“… kalau misal kita diberi 50k untuk 6 bulan itu buat kebutuhan PK dan KKN, mengkis-mengkis Pak/Bu, apalagi belum kita yang PK jaraknya lumayan jauh. Lalu buat KKN yang kita tahu kebutuhan KKN juga banyak. Nanti kalau modal 50k buat makan 6 bulan terus makan apa, indomie? Telur? Telur mehong sekarang, semua kebutuhan sekarang naik, terus 50k buat 6 bulan? Pulang-pulang saya usus buntu, tambah kurus kering, takutnya orang tua saya sampai nggak ngenalin saya…” (VNH)

Adakah yang sudah memiliki ide program kerja dengan biaya 400 ribu ini selama 6 bulan? Tentu saja bukan saya orangnya.

Tidak adanya keringanan UKT disertai uang saku minim ini menjadi tanda tanya semua mahasiswa, kemanakah UKT yang telah dibayar bahkan sampai digrusa-grusu jika feedback yang diterima tidak sampai seperempat nominalnya?

Ada benarnya juga, “KKN berbasis ikhlas” ini layak digaungkan sebagai sebuah tagar.

SOP Teknis Oke, SOP Penaganan Kekerasan Seksual?

Tentu saja saya tidak mengamini akan ada kasus kekerasan seksual selama kegiatan KKN, PK, maupun magang. Tetapi sebagai seorang perempuan, kerentanan tersebut seolah tetap menjadi sebuah kekhawatiran. Tentu saja Standard Operating Procedure mengenai penaganan kasus kekerasan seksual ini harus benar-benar ditegaskan oleh pihak birokrasi. Kepada jajaran birokrasi, kami membutuhkan jaminan penanganan yang terpadu, baik untuk korban maupun si pelaku.

Sayangnya, penjelasan SOP Penanganan Kekerasan Seksual ini justru tidak menjadi highlight mereka. Di samping perihal UKT, biaya hidup, dan durasi yang menduduki puncak pada keyword pembekalan hari ini, kekerasan seksual tetap harus diwaspadai.

Pertanyaan mengenai SOP Penanganan Kekerasan Seksual pun enteng dijawab dengan “ada di file”, tanpa dijelaskan secara spesifik, minimal poin penting apa di dalamnya.

Setelah ditelisik secara mandiri dan mendalam, memang ada ayat terkait. Namun, sayangnya, pada Bagian Keempat “Tata Cara Penanganan” Peraturan Rektor tidak terdapat SOP berupa alur teknis pelaporan yang ilustratif dan sistemik. Sekadar ada saja, tanpa ada bimbingan jelas mengenai alur kasus.

Begitulah sedikit kenyentrikan kebijakan tahun ini. Selamat menjalankan ibadah mengabdi, kawan-kawan sejawatku. Marilah bersama-sama belajar merealisasikan “Nrimo ing pandum” sebagai mahasiswa domisili Yogyakarta.

Tabik!

Penulis: Resti Damayanti

Sumber gambar: Pixabay

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *