The Jacatra Secret, Jejak Freemason di Tubuh Indonesia

Cover Buku
Cover Buku

Judul Buku    : The Jacatra Secret, misteri Simbol Satanic di Jakarta

Penulis             : Rizki Ridyasmara

Penerbit          : Bentang Pustaka

Tahun terbit  : Cetakan pertama, Juli 2013

Tebal                : x + 438 hlm; 20,5 cm

 “Indonesia Raya merdeka merdeka, hiduplah Indonesia Raya..” Penggalan lagu kebangsaan Indonesia Raya tersebut hampir setiap hari kita dengar. Tapi sebenarnya, seberapa jauh kita mengenal bangsa kita sendiri? Apakah sefasih saat kita mengumandangkan lagu tersebut?Ataukah hanya sekedar di mulut saja, dan tidak sepenuhnya memahami apa yang dikandungnya.

 Sebuah novel yang berjudul The Jacatra Secret, misteri Simbol Satanic di Jakarta berhasil menguak rahasia sejarah Indonesia yang sebenarnya. Kejadian di masa penjajahan, pemerintahan era Soekarno, kekuasaan era Soeharto, hingga era reformasi saat ini  berantai secara rapi membentuk untaian sejarah yang sengaja tak disampaikan oleh para pembangunnya.  Novel pertama karya Rizki Ridyasmara tersebut merupakan cerita fiksi namun berlatar belakang sejarah yang sebenarnya. Riset lapangan yang dilakukan selama tiga bulan membuat novel ini mampu menguraikan sejarah, tata ruang kota, monumen, prasasti, serta berbagai bangunan lain yang ada di kota Jakarta secara akurat.

Dengan latar waktu cerita yang dibuat sangat singkat, novel ini memberikan kesan yang sangat mendalam karena selalu menyisipkan sejarah dan perjalanan freemasonry di setiap alurnya. Pembaca dibawa untuk menelusuri jejak-jejak para freemason di tanah air, khususnya di ibu kota Jakarta.

Untuk memperkuat alur cerita penulis menampilkan tokoh-tokoh yang karakternya sesuai dengan keadaan Indonesia saat ini. Tidak hanya menampilkan sosok kaum pribumi, disini penulis mengambil tokoh utama seorang berkebangsaan Amerika bernama Dr John Grant. Dr Grant yang merupakan pakar simbolog terkemuka, awalnya mengunjungi Indonesia untuk menjadi pembicara dalam pertemuan komunitas penggemar teori konspirasi. Dari sanalah ia mengenal seorang gadis berdarah campuran Indonesia-Perancis bernama Angelina Demitriea. Tanpa disangka, keduanya justru terlibat pemecahan kasus pembunuhan seorang anggota komunitas yang  merupakan seorang pejabat pemerintahan bernama Profesor Sudrajat.

Lewat beberapa petunjuk yang diberikan Profesor Sudrajat sebelum terbunuh, John Grant dan Angelina menelusuri apa yang sebenarnya terjadi. Puncaknya adalah ketika mereka sadar bahwa kematian tersebut tidak hanya kasus biasa, melainkan menyangkut masa depan Indonesia dan berhubungan erat dengan gerakan masonik dunia. Bangsa yang saat ini paling berkuasa di dunia, yaitu Amerika menjadi pemegang kendali atas semua yang terjadi. Salah satu kutipan novel tersebut menegaskan “Washington, kota Masonik itu merupakan pengendali imperialisme dunia, yang menjajah negeri-negeri selatan seperti Indonesia dan merampok habis kekayaan alamnya untuk menciptakan apa yang ditulis dalam lambang Negara Amerika : Novus Ordo Seclorum. Tata Dunia Baru yang Sekuler”.

Melalui sebuah medallion tanda anggota Freemason, sebuah rekaman video, serta anagram yang dibuat Sudrajat sebelum meninggal, menjadi bukti tak terbantahkan dari penjajahan terselubung tersebut. Selain Dr Grant dan Angelina, beberapa karakter pencerminan baik dan buruk Indonesia juga muncul, seperti Sally Kostova, gadis asal Uzbekistan yang merupakan kekasih gelap Profesor Sudrajat. Muhammad Kasturi yang merupakan pensiunan petinggi angkatan udara yang turut memecahkan kasus, Luthfi Assamiri sebagai komandan polisi yang bekerjanya hanya demi pencitraan, serta beberapa tokoh lainnya.

Seperti novel-novel bernuansa sejarah lainnya, The Jacatra Secret memiliki gaya bahasa yang cenderung berat, apalagi banyak terdapat istilah Belanda dalam penguraiannya. Namun kelihaian penstrukturan kalimat yang dibuat Rizky Ridyasmara membuat pembaca tak ingin melewatkan sedikitpun untaian sejarahnya.

Sayangnya, ada beberapa uraian mengenai Masonik yang terlalu panjang dan diletakkan kurang tepat di beberapa alur inti cerita. Di akhir ceritapun ada bagian yang sedikit kurang memuaskan, yaitu pemecahan isi medallion yang dijelaskan secara langsung dari sudut pandang penulis bukan masuk dalam alur cerita, sehingga membuat cerita sedikit menggantung.

Terlepas dari beberapa kekurangan tersebut, novel ini sangat direkomendasikan untuk dibaca. Banyak fakta-fakta sejarah yang sebelumnya hanya kita dengar lewat isu-isu di masyarakat, ternyata mampu diuraikan secara luwes lewat novel ini. Mengutip kalimat sang penulis, “sebuah novel kadangkala sering lebih jujur bertutur tentang sejarah ketimbang buku-buku teks di sekolah-sekolah resmi”.

 Oleh Latifa Dwike A.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *