Kritis Untuk Perubahan

Saya putuskan bahwa saya akan demonstrasi.

Karena mendiamkan kesalahan adalah kejahatan, Soe Hok Gie – Catatan Seorang Demonstran.

 Kritik biasa disampaikan suatu pihak kepada pihak lain bila tidak sependapat. Atau jamak dilakukan oposisi terhadap pemerintahan berkuasa pada sistem tata negara. Idealnya jelas mengkritik harus disertai solusi atau rekomendasi. Kritik juga tidak selalu harus diterima, itu tergantung konteks dan sudut pandang, serta perspektif masing-masing individu.

Menariknya kritik pada pakem setempat melandasi perubahan fundamental pada sejarah besar dunia, meski terkadang ceritanya berakhir tragis. Sebutlah Socrates, Jostein Gaarder menggambarkan filusuf ini kerap mengkritik dan protes terhadap tatanan negara, masalah hukum dan kepercayaan paganisme masyarakat Athena. Namun, Socrates tetap kukuh dengan pendiriannya, sempat akan diusir, tetapi memilih dihukum minum racun cemara.

Kemudian, Simon S Montefiore lewat Jerusalem The Biography menceritakan khotbah Yesus dari Galilee, Isa Al-Masih, yang berakhir di tiang salib. Khotbah yang disebut Yesus “kabar gembira” membuat marah pemimpin lokal Romawi karena dianggap menghasut masyarakat setempat dan mengancam kekuasaan Romawi atas Jerusalem kala itu. Muhammad pun demikian, diawal berdirinya islam, teror dan intimidasi menjadi bagian perjuangan. Namun berakhir dengan hegemoni islam yang gemilang sampai benua biru eropa.

Tak perlu jauh-jauh, kasus Marsinah dan Munir dapat menjadi contoh kelam di Negeri ini. Dinilai terlalu vokal, Marsinah yang aktif digerakan buruh dan Munir sebagai aktivis HAM mati dibunuh. Ironisnya dalang pembunuhan hingga kini masih samar. Lalu, awak jurnalis juga rentan terhadap kekerasan, karena pemberitaan investigasinya dianggap terlalu berbahaya. Sebut saja, Mochtar Lubis penulis dan pimpinan harian Indonesia Raya, lewat tajuk-tajuk dan pemberitaan seperti, materi politik dalam negeri, sosial, korupsi, ekonomi, pendidikan, generasi muda, hukum dan tentara yang kini terjilid dalam dua buku berakhir dengan diberedelnya harian itu, Mochtar juga di bui sembilan tahun.

Mahasiswa tentu masuk dalam bagian ini, seperti tertulis pada taksonomi bloom. Dimana pada tingkatan tertentu mahasiswa akan mampu mengevaluasi dan menilai untuk selanjutnya menentukan sikap. Dari situlah pola pikiran kritis diharapkan bebas terbentuk. Resiko mengungkapkan pendapat kadang memang keras dan terjal. Sehingga kita dituntut lebih taktis.

Tetapi kenyataan dilapangan benar-benar mengganggu mahasiswa. Apa yang terjadi dengan sistem pendidikan di negeri ini bukan untuk menjadikan seseorang itu cerdas dan kritis, tapi sekedar memproduksi robot-robot yang siap digiring masuk ke dalam mesin besar bernama dunia industri. Terlebih biaya kuliah kini mempersempit kesempatan berpikir lebih dari sekedar menghafal teori-teori materi ajar. Disini jelas, penguasa mengerti benar, mahasiswa berpikir kritis yang bebas akan sangat berbahaya pula.

Pertanyaannya menjadi apakah Anda tertantang untuk kritis bila mendapat kenyataan seperti ini. Dan inilah yang membuat kami menulis, dan itu butuh pertimbangan dan keberanian. “Gie! Seorang intelektual yang bebas adalah seorang pejuang yang sendirian, selalu. Bersedialah menerima nasib ini, kalau kau mau bertahan sebagai seorang intelektual yang merdeka: sendirian, kesepian, penderitaan,” itulah petikan surat sahabat Soe Hok Gie.

Namun siapa sangga dari ketragisan dan keberanian tokoh-tokoh diatas mampu memberi perubahan sekaligus menginspirasi. Bahwa pemimpin modern kini bukanlah pemimpin yang mampu mengerjakan semua hal sendiri, tetapi bagaimana dia mampu menggerakan dan menginspirasi. Selayaknya orang besar bukan dilihat dari apa yang dimilikinya melainkan dari apa yang diperjuangkan dan itu nyata. 

Berkaca pula apa yang menjadi pemikiran Mahatma Gandhi tentang 7 Dosa Sosial. Ke kayaan tanpa kerja. Kenikmatan tanpa nurani. Ilmu tanpa kemanusiaan. Pendidikan tanpa karakter. Politik tanpa prinsip. Bisnis tanpa moralitas. Ibadah tanpa pengorbanan. Tentu semua hal itu perlu dihindari, dan sudah masuk kebagian mana diri ini, tentu Anda semua yang mampu menjawab. Salam Pers Mahasiswa Indonesia.

  Oleh Farchan Riyadi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *