Melihat lebih jauh pemaknaan Orientasi Studi dan Pengenalan Kampus (ospek), saat ini hanya sebagai ajang seremonial belaka. Bukan lagi studi dan pengenalan, tetapi lebih pada senioritas dan pencitraan kampus-lah tujuan utama seremonial ini. Ajang seremonial yang bisa dibilang “kuno” ini kerap menggerogoti nyali mahasiswa baru (maba). Mengapa maba mesti menciut nyalinya, toh senior-senior yang mendampingi adalah mahasiswa biasa. Ospek dijejali dengan feodalisme senioritas bagi maba.
Kegagalan sistem penyambutan maba ini muncul di berbagai perguruan tinggi. Contohnya adalah kejadian beberapa tahun silam, Wahyu Hidayat, mahasiswa Sekolah Tinggi Pendidikan Dalam Negeri (STPDN) yang tewas karena preseden real dari “keisengan” para seniornya. Kemudian masih ada kasus serupa yang lain, praktis itu semua sangat bertentangan dengan notabene mahasiswa yang katanya berjiwa intelektual. Paham senioritas tersebut ada beberapa alasan yang melatarbelakangi, pertama paham senioritas masih dalam ambang kewajaran. Jadi peraturan populernya adalah, peraturan pertama senior tidak pernah salah, peraturan kedua, kalau pun salah kembali ke peraturan pertama. Hal ini tentu membuat jurang pemisah antara senior dan junior semakin lebar.
Kedua, terkadang dalam jiwa senior mempraktikan paham kesempatan dalam kesempitan. Balas dendam kerap menjadi pemicu tradisi ospek di kalangan senior. Ketiga, tidak adanya kepekaan untuk mengubah (sense or reform). Maba saat ini sulit dalam mengubah pola pikir mereka, pola pikir yang menjadi identitas mahasiswa, intelektual, kreatif, serta peka terhadap kondisi sosial. Memang mustahil jika ospek yang hanya beberapa hari dapat mengubah pola pikir maba yang beragam. Perlu proses serta kelanjutan dari seremonial ini, untuk mengukur tingkat keberhasilannya.
Selain senioritas, ospek selalu menjadi ajang pencitraan kampus. Orang-orang yang terlibat dalam seremonial ospek, digadang-gadang sebagai icon kampus. Panitia ospek, pemandu, dan lainnya yang terlibat dalam ospek sudah dihardik dan menjalankannya sesuai dengan keinginan birokrasi. Ideologi mahasiswa saat ini sudah dimanipulasi dengan politik kekuasaan dan jabatan semata. Sehingga birokrasi tidak ada kontrol dari mahasiwa.
Mengarah pada ospek yang lebih baik, ada beberapa cara untuk melakukan ajang penyambutan maba tersebut. Pertama, membuang jauh-jauh paham senioritas untuk maba. Pada hakikatnya semua itu sama, mahasiswa. Kedua, membangun komunikasi yang intens antara junior dan senior, karena komunikasi merupakan tolok ukur keberhasilan suatu hubungan. Ketiga, senior harus berjiwa besar ketika dikritik. Menerima kritik tersebut, dan mencoba untuk mengubahnya dengan solusi terbaik.
Keempat, tidak hanya mahasiswa senior yang menyesuaikan kondisi juniornya. Mahasiswa junior juga harus bersikap sopan pada senior, tidak mungkin tercipta keharmonisan saat ospek jika junior dan senior tidak saling menghargai. Kelima sekaligus terakhir, menghadirkan acara berkualitas yang mengarah pada pola pikir baru sebagai mahasiwa. Acara ini hendaknya mampu membangun jiwa spiritual (SQ), kecerdasan nalar (IQ), serta kecerdasan emosi (EQ). Beberapa solusi tersebut semoga dapat terealisasikan menghadapai ospek yang sudah didepan mata. Sehingga ada re-generasi tonggak estafet mahasiswa yang mampu mengubah jiwa bangsa Indonesia untuk menjadi lebih baik.
Oleh: Hesti Ariyani