Sam Bimbo
Enam belas tahun silam tragedi ini terjadi. Tanggal 13 November 1998. Jembatan semanggi dalam keremangan malam, di bawah bayang-bayang baur peluru berdesingan. Di antara desing peluru, gas airmata, lemparan batu, molotov, berbaur jerit lolongan massa yang bermodal moral semata yang berhadapan dengan aparat bersenjata lengkap. Empat belas November 1998 tercatat 11 orang meninggal dan ratusan orang mengalami luka-luka.
Tragedi semanggi dilatar belakangi oleh kondisi politik pasca lengsernya Soeharto yang belum stabil, B J Habibie yang saat itu mengantikan Soeharto dianggap belum mampu untuk membentuk reformasi sebagai bentuk demokrasi ideal, selain penolakan akan sidang istimewa untuk menentukan pemilu berikutnya dan membahas agenda-agenda pemerintahan yang akan dilakukan BJ Habibie. Mahasiswa bergolak kembali karena mereka tidak mengakui pemerintahan BJ Habibie dan tidak percaya dengan para anggota DPR/MPR Orde Baru. Mereka juga mendesak untuk menyingkirkan militer dari politik serta pembersihan pemerintahan dari orang-orang orde baru.
Tragedi semanggi memberikan gambaran jelas akan peran mahasiswa yang tampil berani dan memperliatkan perjuangannya yang murni, kendati harus mengorbakan nyawa. Karena bagi mereka jelas reformasi harus menghasilkan demokrasi untuk menuju keadaan bangsa dan negara yang lebih baik. Meski mereka berada di wadah yang berbeda, dan dalamkelompok yang berbeda tetapi visi dan misi mereka sama, memperjuangkan rakyat, membuat kepemerintahan yang bersih dan membuat bangsa dan negara menjadi lebih baik. Meski telah jatuh korban, para akvitis tak mengenal takut. Mereka melakukan perlawanan dengan berbagai cara, poster besar di UI Salemba, demontrasi, goresan pena, dan pernyataan sikap serta pengawalan atas kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintahan.
Dari UI, UKI, UNAS, TRISAKTI, MERCUBUANA, ATMAJAYA, ITB, YAI, STIE, USU, UMSU, IKIP, NOMENSEN, IPB, PAKUAN BOGOR, mahasiswa Malang, Banjarmasin, Jember dan Yogyakarta yang lain saling mendukung dan membahu untuk menolak sidang istimewa, pencabutan dwi fungsi ABRI dan kepemerintahan BJ Habibie. Dukungan pun juga datang dari Rektor ITB, dan PR III UI, “Demonstrasi adalah hak mahasiswa dalam menyuarakan aspirasinya. Karena itu, UI takakan melarang mahasiswanya melakukan aksi unjuk rasa, selama mereka menyuarakan aspirasi rakyat dan menurut mereka adalah benar, mengapa tindakan mereka harus dilarang.
Dari tragedi semanggi dapat dijadikan refleksi seberapa getol mahasiswa saat ini peduli terhadap rakyat, dan kondisi perpolitikan bangsa. Peran mahasiswa sebagai agent of intelectual masih dan terus diperlukan guna membantu membuat kondisi bangsa dan negara ini lebih baik lagi. Semangat dalam mengenang sejarah bangsa, terlebih perjuangan mahasiswa perlu selalu diingat dan selalu didiskusikan untuk menambah semangat dan memahami pemikiran mahasiswa jaman dahulu yang selalu berjuang untuk rakyat, bangsa, dan negara.
Nanang Yuniantoro