Politik, Seks, dan Sara

Oleh Farchan Riyadi

 

Menggapai daulat politik, seks, dan sara dalam il principe.

 

        Ada sebuah terminologi atau istilah “no politik, seks, dan sara” untuk menyatakan tutup, dan jangan berdiskusi tentang tiga hal itu. Namun, jika diperhatikan dinamika kehidupan manusia tidak lepas dari politik, seks, dan sara (sara dan kontra sara). Secara harfiah politik dapat diwakili uang, seks untuk nafsu dan hubungan kelamin, serta sara mengacu pada kepercayaan spiritual.

        Saling berkaitan apabila melihat suguhan keseharian di Republik ini. Tentu ironi bila misalnya agama dipakai untuk merebut pengaruh dan kekuasaan lewat politik dan berujung untuk memenuhi hawa nafsu. Politik perebutan kekuasaan untuk uang (praktik begal), kemudian jadi punya dua-tiga istri dan simpanan jamak terjadi.

        Kemudian, simak saja bagaimana konflik di partai politik akibat dualisme kepemimpinan yang justru kontra produktif. Tetapi mungkin itu wajar saja, karena tidak ada kawan dan lawan dalam politik, yang ada kepentingan. Atau penentuan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Jakarta yang alot, akibat ada indikasi pembegalan rencana anggaran lewat ruang-ruang politik. Sebagai catatan itu di Jakarta yang terekspose media, lalu di daerah yang kurang terekspose bagaimana? Reportase in depth ala metro realitas dapat dijadikan rujukan, akan bagaimana politik, seks, dan sara menjadi lingkaran setan.

        Dinamika hidup di tingkat akar rumput sebenarnya juga tidak kalah seram. Fenomena terkini misalnya begal, predator anak, dan geng remaja, itu semua dapat berawal dari kebutuhan mendesak akan uang dan nafsu manusia. Jadi oknum pelaku bisa jadi karena lapar, atau mencari hasrat kepuasan.

        Akibat pemainan politik negatif di tataran high level politic, rakyat bisa saling hantam. Kemudian kepercayaan spiritual yang harusnya bisa dipakai sebagi rem, hanya jadi alat dan komoditas fanatisme sempit. Bisa dilihat, isu sara mudah saja di-goreng untuk membangkitkan sentimen negatif terhadap umat tertentu.

        Kondisi ini persis seperti apa yang diceritakan Niccolo Machiavelli dalam Il Principe. Menggunakan segala cara untuk mendapat kekuasaan. “Membunuh sahabat seperjuangan, menghianati teman-teman sendiri, tidak memiliki iman, tidak memiliki rasa kasihan, dan tidak memiliki agama. Kesemua hal ini tidak dapat digolongkan sebagai tindakan yang bermoral, namun dapat memberikan kekuatan”.

        Bahwa setiap harapan-harapan surga dari seorang pemimpin akan lebih baik dari pendahulunya belum tentu terjadi. Banyak faktor, misal kecewanya rakyat akibat tidak kunjung mendapat kehidupan yang lebih baik. Hal itu akibat proses politik yang orintasi politik kekuasaan untuk uang. Agak mengherankan bila buku awal abad ke-16 masih sangat relevan dengan kondisi bangsa saat ini.

        Kejadian yang menimpa, Boris Nemtsov seorang politisi oposisi Rusia yang tewas terbunuh 27/2 lalu sebagai bukti. Melanggengkan kekuasaan akan lebih efektif dengan menebar ketakutan dibanding dicintai. Apa yang terjadi pada Jesef Stalin yang tak teradili hingga akhir hayat atas periode teror uni soviet, mungkin begitu monumental dan jadi perumpamaan wujud setan dalam tubuh manusia.

        Jadi kisah mitologi yunani Erysichthon nampak nyata. Erysichthon adalah si tukang kayu yang dikutuk akibat serakah. Dia dikutuk agar terus merasa lapar, semakin makan, semakin lapar, hingga akhirnya memakan dirinya sendiri. Apa yang terjadi bagi orang serakah adalah tidak pernah ada kata cukup. Terus-terus menggali, mencari namun hasrat tidak terpuaskan, sampai keserakahan menghancurkan diri sendiri. Atau berhenti jika mati untuk mencari daulat politik, seks, dan sara.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *