Politik Figur

 

Oleh Farchan Riyadi

Organisasi tentunya memiliki tujuan dan kepentingan. Apabila tujuan itu tercapai, organisasi tersebut tentu akan eksis dan memiliki manfaat yang bisa diambil, minimal ya bagi anggotanya sendiri. Bagi partai politik sama saja, tentu ada kepentingan yang dibawa. Menurut undang-undangnya partai politik (parpol) memiliki tujuan dan fungsi sebagai sarana pendidikan politik bagi anggota dan masyarakat luas, penciptaan iklim kondusif dan sarana pemersatu bangsa, serta penyalur aspirasi dan partisipasi politik bagi warga negara.

        Intinya kepentingan partai politik adalah untuk kepentingan rakyat. Jadi hadir dari kalangan rakyat, untuk membahas semangat kemajuan dan persatuan bangsa. Namun, partai politik kini memainkan maneuver-manuver tidak pas. Apa yang terjadi dengan partai kabah (PPP) dan pohon beringin (Golkar) adalah contohnya. Dimana, hingga kini tidak kunjung islah, padahal sebentar lagi pilkada serentak bakal dilaksanakan.

        Manuver politik yang dianggap tidak mencerminkan partisipasi itu ada pada politik figur. Karena figur itu-itu saja yang memimpin, sebut saja partai penguasa PDI-P dengan Megawati sebagai ketua partai, lalu SBY dengan Demokrat, tidak ada regenerasi. Tetapi sekali kena regenerasi stabilitas di organ parpol terkait, langsung goyah. Studi kasusnya seperti di partai Golkar. Pacsa reformasi golkar memunculkan Hanura, Gerindra, dan Nasional Demokrat. Dimana, para ketua umumnya kini, adalah yang kalah dalam pencalonan ketua umum Golkar.

        Politik figur jelas terlihat saat partai ingin menjaring suara rakyat saat pemilu. Misal saja artis dan tokoh masyarakat yang nyaleg, yang celakanya belum tentu paham tata negara dan politik. Tetapi toh lumayan ampuh menambah persentase keterwakilan di jajaran anggota dewan.

        Melalui politik figur, partai terkait seperti menyiapkan bom waktunya sendiri. Disaat nanti figur sentral tersebut masanya habis, bakal dipastikan partai politik tersebut bakal tumbang. Banyak contohnya, dimana parpol itu akan seperti ameba yang membelah diri. Bisa diterka, sebenarnya banyak kader yang berhasrat jadi pentolan, namun terhalang personal elite-elite partai. Kurang ada mekanisme untuk menampung bakat dan inovasi kader-kader itu, sehingga disaat yang tepat mereka seolah akan muncul sebagai pembangkang.

        Belum lagi politik dinasti yang dijalankan sekelompok keluarga dalam tubuh parpol, salah satu tujuannya mengumpulkan kapital untuk terus memegang kekuasaan. Politik semacam ini tentu membatasi hak-hak politik warga negara, dimana parpol seharusnya menjadi tempat pembelajaran dan partisipasi politik.

        Jadi sudah saatnya kembali pada politik ideologi, menggangkat figur tertentu tanpa visi dan misi yang benar-benar berpihak pada rakyat, pada saatnya akan tumbang, ketika sang figur itu sudah tidak lagi menjual. Banyak contoh dimasa-masa terdahulu, bahwa anggota malah sibuk berebut jabatan, namun lupa pada konstituen yang sudah mempercayakan suara pada partai tersebut. Tapi tenang hukuman pasti menanti di pemilu berikutnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *