Oleh: Widi Hermawan
Orang bilang ada yang kurang dari mahasiswa, apabila belum ikuti organisasi kampus. Mengingat image mahasiswa sebagai seorang intelektual tentunya. Oleh karena itu, banyak mahasiswa bergabung dengan organisasi kampus macam Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM), Dewan Perwakilan Mahasiswa (DPM), Himpunan Mahasiswa (Hima), sampai Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM). Namun, dengan menjadi aktivis kampus kerja studi akan menjadi lebih berat, karena harus mampu berbagi peran.
Hal itulah yang membuat mahasiswa hanya memiliki waktu efektif untuk berorganisasi hanya pada malam hari. Aktivis kampus benar-benar membutuhkan waktu dan tempat yang optimal sebagai wadah dalam menjalankan segala kegiatannya.
Fasilitas telah diberikan Universitas, salah satunya menyediakan tempat beraktivitas, seperti di teknik UNY ada gedung Pusat Kegiatan Mahasiswa (PKM). Sayangnya gedung PKM kurang berfungsi secara optimal, pasalnya pihak dekanat telah memberikan peraturan yang ketat mengenai batas waktu penggunaan gedung PKM.
Adanya batasan waktu tersebut berdampak pada singkatnya aktivitas mahasiswa pasca kuliah. Tentunya juga akan membatasi mahasiswa dalam berekspresi dan berkreasi. Pasalnya banyak ormawa yang kegiatannya bisa sampai larut malam. Sementara itu, apabila mahasiswa melakukan kegiatan di luar kampus, tidak ada yang bisa menjamin mengenai keamanannya. Seperti yang telah kita ketahui bersama, bahwasanya akhir-akhir ini sedang marak terjadi tindak-tindak kriminal di daerah Yogyakarta seperti begal dan klitih yang sempat menjadi isu seram.
Kemudian, DPM FT yang digadang-gadang sebagai penyalur suara dan aspirasi mahasiswa tidak terlihat perannya dalam konteks ini. Bahkan banyak yang menilai DPM justru lebih memihak pada birokrasi kampus (dekanat). DPM terkesan nurut saja dengan kebijakan-kebijakan dekanat, walaupun kebijakan tersebut tidak berpihak pada kemaslahatan mahasiswa.
Sangat diharapkan DPM akan benar-benar menjalankan fungsinya dengan baik, yakni tidak lain sebagai perwakilan mahasiswa untuk birokrasi kampus. Sesuai dengan namanya, mereka seharusnya dapat menjadi wakil mahasiswa dalam menyalurkan aspirasinya kepada birokrasi. Bukan hanya nurut saja pada kebijakan kampus, atau tidak hanya menjadi tukang stempel proposal saja. Sangat perlu disadari, bahwa mereka adalah Dewan Perwakilan Mahasiswa (DPM) bukan Dewan Perwakilan Dekanat (DPD).